10 Maret 2013

Waiting


Layaknya sebuah pena, tinta yang kau alirkan mampu memenuhi lembaran-lembaran hidupku. Menuliskan untaian kisah manis. Membuatku terbang, melayang. Menggapai udara tanpa adanya gravitasi. Dan seperti itulah kau, membiarkanku tetap berada di sana. Hingga aku tak dapat kembali, berpijak pada bumiku yang dulu. Kau membiarkanku tergantung, terombang-ambing dalam hamparan angin.

Terkadang mengingat masa lalu itu menyenangkan, namun juga menyakitkan. Apa kau tahu seberapa sakit itu? Seperti mengupas goresan luka dan mengoreknya hingga semakin berdarah. Tindakan yang bodoh, bukan? Ya seperti itulah aku. Kenangan bersamamu adalah luka, karena semuanya kini telah berubah. Dan yang aku sayangkan, aku tidak tahu titik awalnya. Penyebab perubahan ini.
Kau mempunyai kenangan buruk bersamanya. Aku tahu itu. Dia meninggalkanmu, karena ada yang lebih baik daripada kau, bukan? Dan apa sekarang kau ingin mencetak kenyataan yang sama, bersamaku? Aku tahu, aku bukan kekasihmu. Aku hanya temanmu. Mungkin juga bukan hal penting bagimu. Namun yang menjadi hal penting bagiku, kau menyayangiku. Setidaknya itu yang kau katakan padaku, dulu. Kau serius atau tidak? Tentunya aku tidak pernah tahu. Bisa saja kau hanya membodohiku, dan pernyataanmu hanya menjadi suapan angin belaka. Satu hal yang bisa aku tangkap dari matamu saat kau mengucapkannya dulu. Hatiku berkata, kau bersungguh-sungguh.
Kini semuanya berbeda. Kau menjauh dariku begitu saja. Diawali saat ujian semester lalu. Sama sekali tidak ada komunikasi di antara kita. Kau yang memintanya, dengan satu-satunya alasan adalah ujian. Alasan yang baik, bukan? Tentu aku memaklumi, dan menurut apa yang kau minta. Setelah ujian selesai, kukira kau akan kembali. Seperti Prasetya yang kukenal sebelumnya. Yang periang, yang konyol, suka bikin onar, penggombal, sering bikin aku ketawa, penuh tanggung jawab, dan Prasetya yang perhatian. Tapi ternyata salah. Kau lebih parah. Satu minggu tanpa komunikasi, telah membuatmu berubah. Kau seolah menghindar. Bahkan saat kita bertemu, bertegur sapa pun tidak. Tentu aku tidak pernah menegurmu, karena aku tahu kau akan malu pada teman-temanmu, meski entah apa yang membuatmu malu. Sebelumnya kita hanya bertegur sapa melalui sebuah lirikan, hanya kau dan aku yang tahu, manis sekali. Atau mungkin senyum yang tertahan, atau juga dehaman. Dan aku pun akan membalas dehamanmu sambil menahan tawa. Konyol sekali, bukan? Tapi itulah yang membuatku senang. Kau adalah semangatku. Namun sekarang, lihatlah! Kita seperti orang asing. Tidak kenal satu sama lain. Ketika kau berjalan di hadapanku bersama gerombolan temanmu, tak sedikit pun waktu yang kau luangkan untuk menyapaku melalui matamu, ataupun senyummu. Seolah aku hanyut begitu saja ditelan cahaya. Kau membisu.
Kau tahu betul, aku masih menyayangimu. Aku dapat mengingat dengan jelas beberapa waktu lalu saat kutanyakan padamu tentang perubahanmu itu, dan kau menjawabnya, “Entah mengapa aku lebih nyaman dengan keadaan seperti ini. Itu datang begitu saja. Tidak ada perhatian, komunikasi, aku mulai terbiasa.”
Aku hanya bisa tersenyum sumir melihat jawabanmu di layar ponselku saat itu. Kau lebih senang aku seperti orang asing bagimu. Apa itu berarti bahwa selama ini aku hanya menjadi beban? Aku bukan sesuatu yang penting di matamu?
Ada yang masih bisa membuatku bertahan. Yaitu pernyataanmu bahwa kau masih menyayangiku, dan kau takut akan menyayangiku lebih dari sebelumnya. Mungkin kau takut kehilangan sesuatu jika terlalu mencintainya, seperti kau kehilangan kekasihmu dulu, apa seperti itu maksudmu? Apa sempat terpikir di benakmu bahwa aku akan melakukannya, seperti ia melakukannya padamu? Ketahuilah, aku tidak akan melakukannya, selama kau masih seperti Prasetya yang kukenal. Sekali lagi aku memaklumimu. Aku akan terus mencoba memperluas bentang kesabaranku. Namun satu bulan kemudian, ini yang kau ucapkan pada temanku, “Aku tidak tahu bagaimana perasaanku padanya sekarang. Masih labil.”
Apa kau memikirkan perasaanku saat itu? Sakit. Sakit sekali. Kau tahu, seberapa besar aku berlatih untuk sabar? Seberapa besar aku ingin mempertahankanmu? Namun kini kau begitu mudah melepas perasaanku? Melupakan segalanya? Terkadang aku berpikir kesalahan apa yang kulakukan hingga membuatmu seperti ini. Katakan, apa aku salah, Pras? Apa aku salah telah menyayangimu? Kau tahu, beberapa temanku sampai heran padaku, “Mau-maunya kamu diperlakukan seperti itu, Nad?” Dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum pahit. Mereka juga pernah bercerita, jika mereka berada di posisiku, tentu mereka akan menuntut kejelasan padamu. Namun kau lihat, aku hanya bisa diam. Menurutmu, apa aku harus melakukan seperti apa yang mereka katakan? Tidak. Aku menyayangimu. Tentu aku tidak ingin menjadi beban bagimu. Aku ingin melihatmu tersenyum. Aku bahagia melihatmu tertawa. Meski tawamu bukan lagi untukku. Meski senyummu kian memudar ditimbun waktu.
Mungkin ini belum terlalu penting untuk kita. Tentu saja. Seperti yang pernah kau katakan, “Aku ingin jawab ‘iya’ atau ‘tidak’ tentang perasaanku, yang jelas...aku selalu terbayang-bayang tentang UN. Tidak terpikir jauh tentang cinta. Kurasa ini bukan waktu yang tepat.” Sebenarnya kau bisa mengatakannya begitu saja, tapi entah apa alasanmu hingga harus menunggu setelah ujian. Dan sekali lagi kumaklumi penjelasanmu, meski aku benci untuk menunggu. Terkadang aku ingin membencimu, agar mudah melupakan semuanya seperti kau mudah melupakan perasaanmu padaku untuk sementara waktu. Namun entah kenapa, kupikir rasa maafku lebih besar daripada kebencianku.
Mungkin kau benar, sekarang bukan waktu yang tepat. Aku mengerti, dan kuharap kau juga mengerti aku. Setelah ujian nasional...aku menunggu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar