Layaknya sebuah pena, tinta yang kau alirkan
mampu memenuhi lembaran-lembaran hidupku. Menuliskan untaian kisah manis. Membuatku
terbang, melayang. Menggapai udara tanpa adanya gravitasi. Dan seperti itulah
kau, membiarkanku tetap berada di sana. Hingga aku tak dapat kembali, berpijak
pada bumiku yang dulu. Kau membiarkanku tergantung, terombang-ambing dalam
hamparan angin.
Terkadang mengingat masa lalu itu
menyenangkan, namun juga menyakitkan. Apa kau tahu seberapa sakit itu? Seperti
mengupas goresan luka dan mengoreknya hingga semakin berdarah. Tindakan yang
bodoh, bukan? Ya seperti itulah aku. Kenangan bersamamu adalah luka, karena
semuanya kini telah berubah. Dan yang aku sayangkan, aku tidak tahu titik
awalnya. Penyebab perubahan ini.
Kau mempunyai kenangan buruk bersamanya. Aku
tahu itu. Dia meninggalkanmu, karena ada yang lebih baik daripada kau, bukan? Dan
apa sekarang kau ingin mencetak kenyataan yang sama, bersamaku? Aku tahu, aku
bukan kekasihmu. Aku hanya temanmu. Mungkin juga bukan hal penting bagimu.
Namun yang menjadi hal penting bagiku, kau menyayangiku. Setidaknya itu yang
kau katakan padaku, dulu. Kau serius atau tidak? Tentunya aku tidak pernah
tahu. Bisa saja kau hanya membodohiku, dan pernyataanmu hanya menjadi suapan
angin belaka. Satu hal yang bisa aku tangkap dari matamu saat kau
mengucapkannya dulu. Hatiku berkata, kau bersungguh-sungguh.
Kini semuanya berbeda. Kau menjauh dariku
begitu saja. Diawali saat ujian semester lalu. Sama sekali tidak ada komunikasi
di antara kita. Kau yang memintanya, dengan satu-satunya alasan adalah ujian.
Alasan yang baik, bukan? Tentu aku memaklumi, dan menurut apa yang kau minta.
Setelah ujian selesai, kukira kau akan kembali. Seperti Prasetya yang kukenal
sebelumnya. Yang periang, yang konyol, suka bikin onar, penggombal, sering
bikin aku ketawa, penuh tanggung jawab, dan Prasetya yang perhatian. Tapi ternyata
salah. Kau lebih parah. Satu minggu tanpa komunikasi, telah membuatmu berubah. Kau
seolah menghindar. Bahkan saat kita bertemu, bertegur sapa pun tidak. Tentu aku
tidak pernah menegurmu, karena aku tahu kau akan malu pada teman-temanmu, meski
entah apa yang membuatmu malu. Sebelumnya kita hanya bertegur sapa melalui
sebuah lirikan, hanya kau dan aku yang tahu, manis sekali. Atau mungkin senyum
yang tertahan, atau juga dehaman. Dan aku pun akan membalas dehamanmu sambil
menahan tawa. Konyol sekali, bukan? Tapi itulah yang membuatku senang. Kau
adalah semangatku. Namun sekarang, lihatlah! Kita seperti orang asing. Tidak
kenal satu sama lain. Ketika kau berjalan di hadapanku bersama gerombolan
temanmu, tak sedikit pun waktu yang kau luangkan untuk menyapaku melalui
matamu, ataupun senyummu. Seolah aku hanyut begitu saja ditelan cahaya. Kau
membisu.
Kau tahu betul, aku masih menyayangimu. Aku
dapat mengingat dengan jelas beberapa waktu lalu saat kutanyakan padamu tentang
perubahanmu itu, dan kau menjawabnya, “Entah mengapa aku lebih nyaman dengan
keadaan seperti ini. Itu datang begitu saja. Tidak ada perhatian, komunikasi,
aku mulai terbiasa.”
Aku hanya bisa tersenyum sumir melihat
jawabanmu di layar ponselku saat itu. Kau lebih senang aku seperti orang asing
bagimu. Apa itu berarti bahwa selama ini aku hanya menjadi beban? Aku bukan
sesuatu yang penting di matamu?
Ada yang masih bisa membuatku bertahan. Yaitu
pernyataanmu bahwa kau masih menyayangiku, dan kau takut akan menyayangiku
lebih dari sebelumnya. Mungkin kau takut kehilangan sesuatu jika terlalu
mencintainya, seperti kau kehilangan kekasihmu dulu, apa seperti itu maksudmu? Apa
sempat terpikir di benakmu bahwa aku akan melakukannya, seperti ia melakukannya
padamu? Ketahuilah, aku tidak akan melakukannya, selama kau masih seperti
Prasetya yang kukenal. Sekali lagi aku memaklumimu. Aku akan terus mencoba
memperluas bentang kesabaranku. Namun satu bulan kemudian, ini yang kau ucapkan
pada temanku, “Aku tidak tahu bagaimana perasaanku padanya sekarang. Masih
labil.”
Apa kau memikirkan perasaanku saat itu? Sakit.
Sakit sekali. Kau tahu, seberapa besar aku berlatih untuk sabar? Seberapa besar
aku ingin mempertahankanmu? Namun kini kau begitu mudah melepas perasaanku?
Melupakan segalanya? Terkadang aku berpikir kesalahan apa yang kulakukan hingga
membuatmu seperti ini. Katakan, apa aku salah, Pras? Apa aku salah telah
menyayangimu? Kau tahu, beberapa temanku sampai heran padaku, “Mau-maunya kamu
diperlakukan seperti itu, Nad?” Dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum
pahit. Mereka juga pernah bercerita, jika mereka berada di posisiku, tentu
mereka akan menuntut kejelasan padamu. Namun kau lihat, aku hanya bisa diam.
Menurutmu, apa aku harus melakukan seperti apa yang mereka katakan? Tidak. Aku
menyayangimu. Tentu aku tidak ingin menjadi beban bagimu. Aku ingin melihatmu
tersenyum. Aku bahagia melihatmu tertawa. Meski tawamu bukan lagi untukku.
Meski senyummu kian memudar ditimbun waktu.
Mungkin ini belum terlalu penting untuk kita. Tentu
saja. Seperti yang pernah kau katakan, “Aku ingin jawab ‘iya’ atau ‘tidak’
tentang perasaanku, yang jelas...aku selalu terbayang-bayang tentang UN. Tidak
terpikir jauh tentang cinta. Kurasa ini bukan waktu yang tepat.” Sebenarnya kau
bisa mengatakannya begitu saja, tapi entah apa alasanmu hingga harus menunggu
setelah ujian. Dan sekali lagi kumaklumi penjelasanmu, meski aku benci untuk
menunggu. Terkadang aku ingin membencimu, agar mudah melupakan semuanya seperti
kau mudah melupakan perasaanmu padaku untuk sementara waktu. Namun entah
kenapa, kupikir rasa maafku lebih besar daripada kebencianku.
Mungkin kau benar, sekarang bukan waktu yang
tepat. Aku mengerti, dan kuharap kau juga mengerti aku. Setelah ujian
nasional...aku menunggu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar