10 Maret 2013

Try


Mawar menutup diarynya. Pandangannya kembali kosong. Sejenak ia menghela napas. Sementara pikirannya mengambang di antara kata “iya” dan “tidak”. Ah, Mawar! Jangan terlalu banyak berharap. Kau tahu betul Ari sangat mencintai Ify. Bagaimana mungkin dia akan mencintaimu? Kalau pun iya tentu itu bukanlah cinta. Melainkan hanya sekadar sayang, sebagai seorang teman lebih tepatnya. Adakah sebuah hati yang terbagi menjadi dua? Kalau pun iya, tentu tidak akan sama rata. Dan jelas sudah Ify lah menjadi pilihan pertamanya, paruhan hati yang lebih besar. Pilihan yang diutamakan. Dan kau akan menjadi yang kedua.
***

“Enak nggak sih?”
Dua tegukan ia habiskan, tangan kanannya segera menutup botol, lalu mengangguk cepat. “He em. Rasa apelnya asli.” jawab Mawar mantap seraya kembali melangkah.
Arum mendengus. “Yakin lo? Minuman murah kek gitu lo sebut asli? Beuh!” Tersungging sebuah cengiran di bibirnya. “Inget pelajaran kimia kagak sih? Itu mah cuma essens, aroma buah. Terbuat dari senyawa ester.”
Seiring kaki Mawar yang tiba-tiba berhenti melangkah, matanya melebar. “He?!” Kini tawanya pecah. “Mau sok-sokan jadi anak kimia lagi lo?”
“Loh, emang kita anak kimia, kan? Kalo nggak salah...esternya buah apel itu...” Gadis itu tampak berpikir. “Metil butirat!”
Mawar mentautkan alisnya heran. “Masih aja dibahas? Haah! Dasar!” katanya seraya kembali melangkah menuju tempat parkir.
Arum tersenyum kecil. Menyadari betapa asiknya pelajaran yang bisa ia kaitkan dalam hal sehari-hari. Biasanya juga cuma belajar di kelas, bosen ngapalin mulu. Kalau sering dihubungkan dengan hal di luar pelajaran kan lumayan, bisa sambil nginget tanpa ada beban. Itung-itung sok jadi ilmuan, haha. Mendadak pikiran Arum terhenti, bersamaan dengan senyum gadis itu yang sekejap menghilang. Dari jarak belasan meter, matanya menangkap sosok laki-laki jangkung yang tengah sibuk melerai kerumunan motor. Sepertinya dia sedang membantu mengeluarkan motor gadis manis yang berdiri kaku di sampingnya. “Itu Ari, kan?”
Seketika kepala Mawar menoleh, menemukan obyek yang dimaksud. Ari, dan Ify. Seketika itu juga desiran-desiran hangat kembali mengalir. Mungkin kali ini bukan desiran. Melainkan sengatan. Sengatan yang benar-benar nyata dirasakannya. Tentu saja, mereka selalu begini. Hampir setiap hari. Dan hampir setiap hari pula Mawar melihatnya. Seharusnya Mawar sadar, ia akan terus sakit jika selalu menimbang pertanyaannya. Apakah Ari memang menyanyanginya atau tidak? Ah, bodoh! Jelas cinta Ari hanya untuk Ify. Tapi kenapa? Untuk apa perhatiannya selama ini? Tutur kata yang lembut juga hangat selalu ia balut dalam perhatian yang begitu besar dalam pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Hampir setiap hari pula. Untuk apa Ari melakukannya? Pada Mawar? Bukankah sudah ada Ify?
***
“Gue tuh tau betul, dia cuma sayang sama Ify.” Mawar menatap nanar jendela kamarnya, lalu sejenak terdiam. Sementara Arum menyandarkan punggungnya pada tepi jendela itu sambil melipat kedua tangan. Ditatapnya gadis berambut panjang yang kini setengah melamun. Seribu pertanyaan dan ketidakmengertian mungkin saja sedang berkecamuk di kepala Mawar. Arum memang tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dipikirkan sahabatnya. Namun ia tahu betul sakit yang tengah Mawar rasakan. Perih yang ia pendam. Semua terpancar sempurna dari matanya. Mata itu berbicara.
Perlahan Arum berjalan mendekat, duduk di samping Mawar. Ia menghela napas sesaat. “Apa yang buat lo seyakin itu?” tanya Arum penasaran.
“Please deh Rum, jangan sok lola! Nggak ada yang nggak tau kalau sejak kelas sebelas Ari udah ngejar-ngejar Ify.”
“Bukannya gitu. Yang gue tekankan kenapa lo bisa yakin banget kalau Ari cuma sayang sama Ify? Hati orang siapa yang tau? Bisa aja hati menyimpan dua nama.”
“Iya. Bahkan seribu nama pun bisa.” sanggah Mawar. “Hanya saja nggak ada yang tingkatannya sama.”
“Siapa bilang?” cepat Arum menyahut. “Emang nama nyokab sama bokap lo ada di tingkatan berbeda?” tanyanya. “Kalau dipaksa buat ngorbanin salah satu dari mereka lo pasti bisa milih dengan cepat ya? Kan tingkat cinta lo sama mereka berbeda! Waw, keren!”
Mawar membuang muka. Merasa terpojokkan. “Gue tau, lo cuma mau besarin hati lo. Lo nggak mau berharap lebih, karena lo takut bakal lebih sakit lagi. Iya, kan? Gue ngerti. Sorry, bukan maksud gue mojokin lo. Gue cuma mau ngeyakinin lo kalau nggak ada salahnya buat tanya dia. Sekalipun hasilnya nggak seperti yang lo harapkan. Toh Ify belum tentu juga sayang sama Ari.”
Gadis itu tampak berpikir. Mawar menghela napas. “Tapi Ify kan sahabat gue juga. Kalau Ari tau, kemungkinan Ify juga bakal tau. Dan kalau Ify tau tentang perasaan gue ke Ari, gue takut dia bakal jauhin Ari. Dengan maksud nggak mau nyakitin gue. Kalau kenyataannya kayak gitu, sama aja gue jadi pemisah. Sama aja gue bakal nyakitin Ari. Dan sakitnya Ari adalah sakit gue juga. Gue nggak pengen itu terjadi.” jelasnya lemah, membuat Arum semakin prihatin dengan keadaan Mawar. “Lagian, gue yakin banget kalau Ari cuma say—“
“Iya gue tau! Gue tau Ari sayang sama Ify! Tapi bukan berarti lo nggak ada di hatinya juga.” ucap Arum tegas. Menjadikan Mawar semakin berpikir. “Kalopun emang enggak, buat apa juga dia perhatian sama lo selama ini? Yaa, walopun gue tau perhatian yang diberikan cuma lewat sms. Sementara kalau di kelas kalian lebih cenderung diam-diaman, entah itu karena jaga jarak ataupun malu. Tapi perhatian yang dia kasih nggak sekedar kayak temen biasa kan? Apa maksudnya coba? Lo perlu beraniin diri buat tanya itu. Soalnya kita juga tau, Ari bukan orang yang suka mempermainkan hati perempuan.”
“Gue tau lo nggak pengen Ify ngejauhin Ari. Meski pada kenyataannya lo selalu sakit kalo ngliat mereka sedang berdua. Tapi lo nggak boleh terus-terusan kayak gini. Cepat atau lambat bau bangkai pasti tercium juga.”
Keduanya terdiam beberapa saat. Hening. Mawar tahu apa yang dikatakan Arum memang tidak ada salahnya. Tapi... tetap saja sulit. Bertanya pada Ari? Tak semudah seperti apa yang dikatakan. “Nggak tau lah, Rum...”
***
Malam ini cukup dingin. Cukup untuk memaksa tangan Arum merapatkan cardigannya. Gadis itu menarik napas panjang. Menikmati suasana malam teras rumah seperti ini memang salah satu hal favoritnya. Sejenak ia memandangi jalanan yang sepi. Matanya memang sedang tak sejurus dengan pikirannya yang melayang-layang. Masalah apalagi kalau bukan masalah Mawar, sahabatnya. Seolah apa yang dirasakan Mawar kini turut dirasakannya pula. Tidak! Arum tidak akan membiarkan Mawar berlarut-larut dalam keresahan hatinya. Kalau pun Mawar memang tidak ingin mengetahui apapun, biarkan Arum yang mengetahuinya. Toh Ari juga sudah dianggapnya sebagai sahabat. Sejak kelas duabelas mereka bertiga memang dekat. Mungkin berawal dari seringnya mereka berdua bertanya tentang soal-soal eksak yang di-UAN-kan pada Ari. Ari memang termasuk cowok yang pandai di kelas. Tapi dekat yang Arum rasakan pada Ari hanya sebatas sahabat. Tidak lebih, seperti apa yang Mawar rasakan pada lelaki itu.
Sedetik kemudian tangannya meraih ponsel di saku celananya. “Kira-kira kata yang tepat gimana ya?” desisnya seraya menggigit bibir. “Emm, gini aja deh.”
Jk mmg km sdh mncintai ssorg, smntra ada org lain berada di smpgmu, mka jgn buat dy mncntaimu dg cra mmbungakan hatinya. Prhtianmu adlh umpan. Jk mmg tak berniat mmbuka hati, jgn biarkn dy trmakan akn umpanmu. Krn dy akn ksakitan saat mnydri bhw kau tdk sdg brusaha mncntainya.
***
Bel pulang berdentang kencang. Seperti biasanya dua sejoli itu segera menuju ke mushola, menunaikkan ibadah dzuhur. Mereka berdua melepas sepatu dalam diam. Bergumul dengan pikiran masing-masing. Arum belum memberitahunya. Ia memang sengaja melakukan itu. Entah kapan waktu yang tepat untuk memberitahu Mawar tentang jawaban Ari yang didapatnya lewat message semalam. Arum sendiri bingung.
“Aku masih belum punya niat buat tanya.” tiba-tiba saja suara Mawar memecah pikiran Arum.
Gadis itu mengerti apa yang dimaksud Mawar. Maaf Ma... aku sudah tau semuanya, bisiknya dalam hati.
“Rum!” ucap Mawar, membuat Arum menoleh cepat. “Ari sama sekali nggak cerita apapun sama kamu?” tanyanya pelan dalam sorot mata penuh harap. “Biasanya dia kan mau cerita banyak hal ke kamu.”
Arum diam. Pertanyaan Mawar seperti umpan besar baginya. Kenapa perasaannya bisa sepeka itu? Atau mungkin ini jawaban Tuhan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat?
“Rum! Jawab dong!”
“Eh?” suaranya terdengar ragu. “Emm, iya.” jawabnya.
Sekejap mimik Mawar berubah. Matanya membulat penuh tanya. Bibirnya sedikit terbuka, setengah tak percaya. “Beneran?!” tanyanya bersemangat. “Gimana ceritanya?”
Arum hanya tersenyum tipis. Matanya seolah mengisyaratkan sebuah teka-teki besar. “Gimana Rum?! Ceritain dong!” ucap Mawar memburu.
“Solat dulu gih!” timpal Arum kemudian, seraya berjalan menuju tempat wudhu, meninggalkan Mawar dalam tanda tanya besar.
***
“Rum, please!! Kasih tau dong, dia cerita apa?” desak Mawar seusai solat, lalu membiarkan Arum duduk, hendak memakai sepatunya. Seperti biasa, saat dirinya dibuat penasaran, gadis itu tidak pernah bisa diam. Bahkan ketika sebelum solat pun dia masih terus merengek pada Arum. Dan hingga detik ini, tidak sedikit pun rasa penasarannya berangsur lenyap.
Bibir Arum masih rapat. Sambil memakai sepatu, gadis itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Paling asyik memang bikin Mawar kayak gini, penasaran setengah mati. Arum ingin melihat sejauh mana sahabatnya itu mau bersabar.
Mawar tak habis pikir. Sahabatnya yang satu ini doyan banget bikin Mawar penasaran.  Bisa-bisanya dia membalas rengekan Mawar sedari tadi hanya dengan senyuman? “Oke. Jadi gini cara lo, ha? Selama ini gue bingung dengan masalah gue, sementara lo udah tau semuanya?” kata Mawar mulai terbawa emosi. “Bagus ya? Itu yang namanya temen? Jahat banget lo jadi orang!”
“Oh, jadi gue jahat ya?” kata Arum masih menahan senyum. “Semoga Allah membalas kejahatan gue deh.” tambahnya.
Layaknya dua orang yang beda pemikiran. Yang satu nggak bisa sabar. Sementara yang satunya terlalu sabar menghadapi ketidaksabaran. Melihat wajah Mawar yang penuh kejengkelan dan tanda tanya malah semakin membuat Arum puas. Orang jahat katanya? Setelah semua yang dilakukan Arum untuk membantu Mawar keluar dari masalah? Arum sama sekali nggak tersinggung. Ikhlas lahir batin bisa dibilang orang jahat. Jarang-jarang ada yang berani ngomong gitu. ;D
“Please Rum! Gue tuh bakal lebih lega kalo lo mau cerita. Setidaknya gue udah nggak ada beban lagi tentang keraguan gue selama ini.” pinta Mawar begitu memelas, bahkan nyaris menangis. “Please!”
Sekali lagi Arum tersenyum. “Iya. Gue tau. Lo pikir gue bakal ngebiarin lo pulang dalam keadaan kayak gini? Penasaran setengah mati, sementara nggak ada satu pun yang ada di samping lo, dan tau betul tentang masalah lo. Bisa mati beneran lo nanti.” candanya membuat Mawar kesal, tapi juga lega. Setidaknya Arum tidak benar-benar berusaha untuk tidak memberitahunya.
“Trus, gimana?” Mawar kembali mendesak seraya menggigit bibir bawahnya. Menunggu.
Arum berdehem. Lalu menghembuskan napas panjang. Ia berikan jeda beberapa saat, membiarkan Mawar menyiapkan hatinya dengan berbagai kemungkinan. “Dia hanya ingin menghargaimu.”
Mawar mengerutkan kening. “Maksudnya?” ucapnya lirih. Suaranya nyaris tercekat akan kegugupan. Jantung itu kini kian bergemuruh hebat. Tentu bukan hal kecil bagi Mawar untuk mendengarkan penjelasan yang selama ini membuatnya gelisah. Dan sekarang adalah waktunya.
“Dia ingin menghargaimu. Membalas kebaikanmu. Perhatian yang ia berikan layaknya seorang kekasih hanya untuk membuatmu senang. Bukan berarti dia ingin mempermainkanmu. Hanya saja mungkin, dia kurang tau bagaimana caranya berterimakasih. Tidak menyadari bahwa yang ia lakukan selama ini bisa menyakitimu. Pada intinya, dia memang tetap mencintai Ify. Namun bukan berarti namamu hanya omong kosong baginya. Kamu tetap menjadi salah satu perempuan yang berarti di hatinya. Hanya saja nama Ify sudah datang lebih dulu. Dan tentu saja tidak dengan mudah menggeser tempatnya dengan kehadiranmu. Mungkin cintanya sudah mengakar, dan terlalu sulit untuk dicabut. Untuk itu, dia mau minta maaf sama kamu.”
Hening. Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Arum tahu betul perasaan Mawar saat ini. Tidak bisa begitu saja dapat menerima hal semacam ini. Membutuhkan beberapa detik untuk membiarkannya bernapas. Menenangkan hati untuk memahami keadaan dan kenyataan.
Setelah beberapa saat menatap kosong halaman mushola yang sepi, Mawar mulai mengangguk pelan. Masih dalam keadaan setengah sadar, perlahan ia mulai tersenyum. Meski mungkin senyum itu terasa pahit baginya, namun ia dapat merasakan kelegaan yang begitu besar. “Terimakasih Rum. Terimakasih. Dengan begini aku bisa lega.” ucapnya kaku. “Dan mungkin, mulai saat ini aku akan mencobanya. Mengalahkan perasaanku. Mungkin memang seharusnya seperti itu.” Sekali lagi senyum pahit itu menghiasi bibirnya.
Arum turut tersenyum ragu. Tidak yakin yang dilakukannya benar atau tidak. Tapi bagaimana pun juga, Arum tidak pernah dan tidak ingin menyembunyikan sesuatu pun. Toh pada akhirnya Mawar akan mengetahui semuanya. Lagipula dalam roda kehidupan sudah selayaknya hal ini terjadi. Setiap orang tidak bisa memaksakan kehendak untuk selalu bahagia. Bagaimana pun juga Mawar harus belajar untuk bertahan dalam kehidupan yang serbakeras. Termasuk belajar untuk memahami hati. Mensyukuri kehadiran cinta di tengah-tengah ketidakberdayaan rasa.
Perlahan Mawar menyandarkan kepalanya pada bahu Arum. Hatinya masih terasa gamang. “Biarin aku bersandar sebentar.” ucapnya lemah.
Arum mengerti. Ia akan membiarkan Mawar tetap bersandar. Bahkan selama yang ia mau.
***

2 komentar: