Suaranya benar-benar
membuatku harus menutup telinga dalam-dalam. Kuharap, ia tak akan mengulangi
kebiasaannya—berteriak di samping telinga orang lain—lagi padaku.
“Geser
sedikit woy! Liat orang mau foto nggak sih?”teriaknya lagi pada orang lain, dan
yang kali ini tidak lagi di samping telingaku, untunglah.
Aku
tahu semua itu sama sekali tidak bermaksud kasar. Ia memang terbiasa seperti
itu di kelas. Namanya Sandra. Dan dia adalah salah satu penghidup suasana di
kelasku, XI IPA 3. Hampir semua orang pernah tertawa dibuatnya.
Aku
memandang seisi kelas dengan tatapan kosong. Walau sebenarnya aku tahu persis
apa yang sedang mereka lakukan, karena saat itu jam kosong, dan aku sedang
duduk di deretan bangku nomor dua dari belakang.
“Woy!”sapa Alfa tiba-tiba
saat ia berjalan melewati bangkuku.
Aku hanya tersenyum
tipis. Kini aku melihatnya tidak menatapku lagi. Ia sudah berjalan ke depan
kelas. Ya, mungkin hari ini adalah hari yang menguntungkan untukku. Karena jika
tidak, pasti saat ini aku sudah dibuat kesal olehnya. Kau tahu kenapa?
Sensitif. Satu kata negatif yang kudeskripsikan tentang dirinya. Tapi sungguh,
jika saja sifat itu hilang, mungkin aku akan betah terus berada di samping
cowok itu. Karena sebenarnya dia adalah sosok yang menyenangkan.
Kini aku menoleh ke
samping kiriku. Cowok dengan rupa yang tak diragukan lagi ketenarannya di
sekolah, tengah bernyanyi dengan keras dan penuh percaya diri. Walau aku tahu
ada beberapa nada yang fals dinyanyikannya, namun ketua OSIS yang satu itu
tetap berhasil membius hampir seluruh murid untuk tertawa mendengar suaranya
yang sok keren, termasuk aku. Bryan, ia memang sering melakukan hal gila di
kelas. Entah apa yang membuatnya gila. Urusan OSIS, mungkin. Dan aku, menyukai
sebagian besar caranya untuk membuatku tertawa.
“Ngapain lo
senyam-senyum sendiri? Something funny?”gadis itu menyapaku dengan gayanya yang
seolah tengah berada di metropolitan. Itu memang kebiasaan Ana, teman
sebangkuku. Bahkan tak jarang dia mengimbuhi beberapa ucapannya dengan Bahasa
Inggris. Dia ingin kuliah di jurusan Bahasa Inggris, katanya. Jadi, harus
banyak berlatih.
“Menurut lo?”tanggapku
dengan menirukan gaya bicaranya.
Aku tersenyum kecil
setelah mengatakannya, lalu berdiri dan berjalan menuju pintu kelas. Kulihat
Hida tengah bergerak hendak masuk kelas. “Jadi ke ruang guru belum
kamu?”sapanya dengan lafal huruf R yang terdengar samar. Ya, dia satu-satunya
yang cedal di kelasku. Namun hal itu malah membuatnya spesial, dan berbeda dari
yang lain. Aku ingat betul kebiasaannya yang tidak menyukai makanan pedas. Entah
itu merupakan salah satu penyebab cedalnya atau tidak.
“Belum. Laporannya
masih dibawa Ana.”jawabku enteng.
Ia pun mengangguk
wajar, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Aku memperhatikan di sekeliling
kelasku sepi. Ya, terang saja. Kelas lain pasti sedang serius dalam
pembelajaran. Namun tidak sama sekali dengan kelasku sekarang ini yang
terdengar sangat ramai dengan suara 30 orang murid yang saling beradu. Oh, mungkin
tidak semuanya. Karena kulihat ada beberapa siswa yang tengah terdiam karena
serius mengerjakan tugas yang ditinggalkan oleh guru piket. Salah satunya
adalah Asna. Temanku yang satu itu memang termasuk siswa yang sangat rajin.
Berbeda dengan yang lain, ia memilih untuk mengerjakan tugas itu walaupun tidak
ada perintah untuk mengumpulkannya. Dan satu lagi yang mencolok darinya. Ia
merupakan siswa paling pendiam di kelasku. Bahkan tekadang volume terkeras
suaranya, itu sama dengan volume terkecil suara Sandra. Yah, Tuhan memang Maha
Adil.
Aku mulai bosan.
Kuputuskan untuk kembali masuk ke ruang kelasku. Aku melihat beberapa diantara
mereka sedang tertawa. Ada juga yang tengah menggosip tentang kakak kelas yang
menjadi incaran mereka. Bahkan kini Bryan beserta gerombolannya tengah serius mengadakan
konser grup terkonyol di kelas. Dan kini, aku hanya bisa tersenyum dan tertawa
melihat itu semua. Entah kebersamaan dan tawa seperti ini akan terasa kembali
atau tidak selulus SMA nanti. Aku belum bisa membayangkan.
Aku berjalan menuju
bangkuku. Sekilas aku melihat Tanto sedang serius membaca buku. Kuperhatikan
semenjak kelas 11 ia lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya dengan membaca
buku bernuansa motivasi hidup. Yah, mungkin itu adalah sebuah kemajuan
untuknya.
Aku kembali duduk di
bangku nomor 2 dari belakang. Ana mungkin tidak memperhatiakn kehadiranku,
karena sekarang ia sedang serius membaca majalah yang kemarin baru saja
dibelinya. Aku kembali menjalani hobiku, mengamati keadaan seisi kelas beserta
semua karakter penghuninya. Beragam.
Aku merasakan hatiku
kini turut mengikuti senyum di bibirku. Betapa besarnya Tuhan menciptakan
manusia dengan berbagai rupa serta sifatnya yang beraneka ragam. Kini aku
tertarik untuk mencermati diriku sendiri. Bagaimana aku sebenarnya? Mungkin
orang lain yang bisa menilai. Dan aku bisa menebak mereka yang kurang akrab
denganku akan menilai seperti ini : cuek, simpel, dan tidak banyak bicara.
Namun ada juga yang mengatakan : asik, aneh, gila, keras kepala, pikun, lola.
Dan akan berbeda lagi jika orangtua dan adikku yang angkat bicara. Mungkin
mereka akan bilang kalau aku itu : cerewet, jorok, ramai, dan banyak tingkah.
Yah, itulah aku. Dan sampai sekarang aku sendiri pun kurang mengerti mana yang
merupakan sifat asliku. Atau mungkin semuanya?
Oh ya. Mungkin
sekarang kau bingung apa hubungannya cerita ini dengan TWISTER. Dan sekadar
diketahui saja, TWISTER adalah sebutan dari kelasku, XI IPA 3, The Wish Science
Three. Disebut ‘The Wish’ karena kami semua mempunyai harapan. Harapan akan
kelas ini. Akan kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan dengan berbagai karakter
yang ada di dalamnya. Dan aku sangat yakin, semua orang pasti pernah merasakan
kesan tersendiri dengan kelas mereka. Begitu juga aku, dengan semua penghuni
kelasku. TWISTER. Sebuah nama yang akan dan selalu terpahat utuh dalam goresan
ingatanku. Seumur hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar