10 Maret 2013

TWISTER


Suaranya benar-benar membuatku harus menutup telinga dalam-dalam. Kuharap, ia tak akan mengulangi kebiasaannya—berteriak di samping telinga orang lain—lagi padaku.
                “Geser sedikit woy! Liat orang mau foto nggak sih?”teriaknya lagi pada orang lain, dan yang kali ini tidak lagi di samping telingaku, untunglah.
                Aku tahu semua itu sama sekali tidak bermaksud kasar. Ia memang terbiasa seperti itu di kelas. Namanya Sandra. Dan dia adalah salah satu penghidup suasana di kelasku, XI IPA 3. Hampir semua orang pernah tertawa dibuatnya.

                Aku memandang seisi kelas dengan tatapan kosong. Walau sebenarnya aku tahu persis apa yang sedang mereka lakukan, karena saat itu jam kosong, dan aku sedang duduk di deretan bangku nomor dua dari belakang.
“Woy!”sapa Alfa tiba-tiba saat ia berjalan melewati bangkuku.
Aku hanya tersenyum tipis. Kini aku melihatnya tidak menatapku lagi. Ia sudah berjalan ke depan kelas. Ya, mungkin hari ini adalah hari yang menguntungkan untukku. Karena jika tidak, pasti saat ini aku sudah dibuat kesal olehnya. Kau tahu kenapa? Sensitif. Satu kata negatif yang kudeskripsikan tentang dirinya. Tapi sungguh, jika saja sifat itu hilang, mungkin aku akan betah terus berada di samping cowok itu. Karena sebenarnya dia adalah sosok yang menyenangkan.
Kini aku menoleh ke samping kiriku. Cowok dengan rupa yang tak diragukan lagi ketenarannya di sekolah, tengah bernyanyi dengan keras dan penuh percaya diri. Walau aku tahu ada beberapa nada yang fals dinyanyikannya, namun ketua OSIS yang satu itu tetap berhasil membius hampir seluruh murid untuk tertawa mendengar suaranya yang sok keren, termasuk aku. Bryan, ia memang sering melakukan hal gila di kelas. Entah apa yang membuatnya gila. Urusan OSIS, mungkin. Dan aku, menyukai sebagian besar caranya untuk membuatku tertawa.
“Ngapain lo senyam-senyum sendiri? Something funny?”gadis itu menyapaku dengan gayanya yang seolah tengah berada di metropolitan. Itu memang kebiasaan Ana, teman sebangkuku. Bahkan tak jarang dia mengimbuhi beberapa ucapannya dengan Bahasa Inggris. Dia ingin kuliah di jurusan Bahasa Inggris, katanya. Jadi, harus banyak berlatih.
“Menurut lo?”tanggapku dengan menirukan gaya bicaranya.
Aku tersenyum kecil setelah mengatakannya, lalu berdiri dan berjalan menuju pintu kelas. Kulihat Hida tengah bergerak hendak masuk kelas. “Jadi ke ruang guru belum kamu?”sapanya dengan lafal huruf R yang terdengar samar. Ya, dia satu-satunya yang cedal di kelasku. Namun hal itu malah membuatnya spesial, dan berbeda dari yang lain. Aku ingat betul kebiasaannya yang tidak menyukai makanan pedas. Entah itu merupakan salah satu penyebab cedalnya atau tidak.
“Belum. Laporannya masih dibawa Ana.”jawabku enteng.
Ia pun mengangguk wajar, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Aku memperhatikan di sekeliling kelasku sepi. Ya, terang saja. Kelas lain pasti sedang serius dalam pembelajaran. Namun tidak sama sekali dengan kelasku sekarang ini yang terdengar sangat ramai dengan suara 30 orang murid yang saling beradu. Oh, mungkin tidak semuanya. Karena kulihat ada beberapa siswa yang tengah terdiam karena serius mengerjakan tugas yang ditinggalkan oleh guru piket. Salah satunya adalah Asna. Temanku yang satu itu memang termasuk siswa yang sangat rajin. Berbeda dengan yang lain, ia memilih untuk mengerjakan tugas itu walaupun tidak ada perintah untuk mengumpulkannya. Dan satu lagi yang mencolok darinya. Ia merupakan siswa paling pendiam di kelasku. Bahkan tekadang volume terkeras suaranya, itu sama dengan volume terkecil suara Sandra. Yah, Tuhan memang Maha Adil.
Aku mulai bosan. Kuputuskan untuk kembali masuk ke ruang kelasku. Aku melihat beberapa diantara mereka sedang tertawa. Ada juga yang tengah menggosip tentang kakak kelas yang menjadi incaran mereka. Bahkan kini Bryan beserta gerombolannya tengah serius mengadakan konser grup terkonyol di kelas. Dan kini, aku hanya bisa tersenyum dan tertawa melihat itu semua. Entah kebersamaan dan tawa seperti ini akan terasa kembali atau tidak selulus SMA nanti. Aku belum bisa membayangkan.
Aku berjalan menuju bangkuku. Sekilas aku melihat Tanto sedang serius membaca buku. Kuperhatikan semenjak kelas 11 ia lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya dengan membaca buku bernuansa motivasi hidup. Yah, mungkin itu adalah sebuah kemajuan untuknya.
Aku kembali duduk di bangku nomor 2 dari belakang. Ana mungkin tidak memperhatiakn kehadiranku, karena sekarang ia sedang serius membaca majalah yang kemarin baru saja dibelinya. Aku kembali menjalani hobiku, mengamati keadaan seisi kelas beserta semua karakter penghuninya. Beragam.
Aku merasakan hatiku kini turut mengikuti senyum di bibirku. Betapa besarnya Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai rupa serta sifatnya yang beraneka ragam. Kini aku tertarik untuk mencermati diriku sendiri. Bagaimana aku sebenarnya? Mungkin orang lain yang bisa menilai. Dan aku bisa menebak mereka yang kurang akrab denganku akan menilai seperti ini : cuek, simpel, dan tidak banyak bicara. Namun ada juga yang mengatakan : asik, aneh, gila, keras kepala, pikun, lola. Dan akan berbeda lagi jika orangtua dan adikku yang angkat bicara. Mungkin mereka akan bilang kalau aku itu : cerewet, jorok, ramai, dan banyak tingkah. Yah, itulah aku. Dan sampai sekarang aku sendiri pun kurang mengerti mana yang merupakan sifat asliku. Atau mungkin semuanya?
Oh ya. Mungkin sekarang kau bingung apa hubungannya cerita ini dengan TWISTER. Dan sekadar diketahui saja, TWISTER adalah sebutan dari kelasku, XI IPA 3, The Wish Science Three. Disebut ‘The Wish’ karena kami semua mempunyai harapan. Harapan akan kelas ini. Akan kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan dengan berbagai karakter yang ada di dalamnya. Dan aku sangat yakin, semua orang pasti pernah merasakan kesan tersendiri dengan kelas mereka. Begitu juga aku, dengan semua penghuni kelasku. TWISTER. Sebuah nama yang akan dan selalu terpahat utuh dalam goresan ingatanku. Seumur hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar