10 Maret 2013

Hope


Apa kau pernah berharap? Aku yakin semua orang pernah. Begitu juga aku. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Aku sudah lelah dipermainkan oleh harapan. Aku tidak ingin dan tidak akan berharap lagi. Terlebih pada seorang pengumbar harapan palsu. Itu janjiku.
                Mungkin dia adalah jodohku. Atau mungkin juga tidak. Yang jelas hari itu aku terjatah sial untuk sekelompok dengannya. Kurasa terlalu berlebihan saat aku mengatakan mungkin dia adalah jodohku. Dan aku sangat menyesal telah mengatakannya pada diriku sendiri.

                “Bisa tolong kancingin seragamku, Lai?” pinta Davis sambil mengulurkan tangan kirinya.
                Aku bisa melihat tangan kanannya tengah sibuk mengaduk larutan percobaan kami. Sebenarnya aku sangat malas menuruti permintaan cowok itu. Seharusnya dia bisa berhenti sebentar untuk mengancingkannya sendiri, kan? Tapi aku akan lebih malas lagi kalau harus berdebat dengannya. Kamu tahu? Orang itu tidak akan pernah membiarkan aku menang dengan alasanku.
                Dengan sangat malas akhirnya aku mendekat, perlahan memasukkan kancing lengan seragamnya yang panjang. “Aduh duh, gatal nih!” keluh Davis tiba-tiba sambil menarik perlahan tangan kirinya hendak menggaruk pipi, membuat aku yang saat itu terlalu serius mengancingkan lengan seragamnya turut bergerak mendekati wajahnya. Sadar, kurasa Davis memang sengaja memancingku, terbukti dari seringai jahil di wajahnya yang muncul pada detik itu. Seketika itu juga kuhentak tangan kirinya. Ia kira ini hal yang lucu? Mungkin iya untuknya. Tapi tidak bagiku.
Davis tidak tahu. Ia tidak mengerti. Terlalu sulit untuk kujelaskan semua padanya. Bagaimana perasaanku. Bagaimana usahaku untuk menganggap semua gurauannya hanya sebagai lelucon, bukan sebagai sinyal. Bagaimana aku selama ini terjebak dalam harapan palsu. Terjerembab dalam sakit yang tidak pernah ia tahu. Davis tidak tahu bahwa aku bosan. Lelah dengan bayang-bayang harapan yang ia berikan. Mengejar, menggapai tangan yang selalu ia ulurkan. Namun di saat aku nyaris meraih tangan itu, ia selalu menariknya kembali. Membuatku kecewa. Ia mempermainkanku. Hampir setiap hari aku dijadikannya bahan godaan. Bukan hanya aku. Masih banyak mereka yang diperlakukan nyaris sama sepertiku. Itulah bodohnya aku. Kenapa aku tidak pernah sadar? “Perhatian Davis bukan hanya untukmu semata, Laira! Buka matamu benar-benar!” kalimat itulah yang selalu singgah pertama kali saat aku mulai terlena dengan suaranya.
Aku tahu dia bukan playboy. Aku tahu dia hanya ingin menjadikan orang lain merasa spesial jika di dekatnya. Aku tahu dia ingin membuat mereka tersenyum ataupun tertawa. Tapi jangan begini! Bukan seperti ini caranya. Semua yang kau lakukan hanya akan membuat orang macam aku ini menjadi kacau. Selalu saja ada pertengkaran batin antara dugaan bahwa kau menyukaiku atau tidak sama sekali. Kau yang membuatku seperti ini, Davis! Kau yang melatihku untuk mencintaimu. Tapi kau sendiri yang membuatku benci padamu. Aku benci karena harus berjuang melawan hatiku. Selalu berusaha melempar jauh, ataupun mengubur dalam-dalam harapan yang pernah kau tawarkan. Meski aku tahu kau tak pernah menawarkannya. Kau hanya memancingku saja. Hingga aku terjebak dalam harapan palsumu.
Mulai saat itulah, aku tidak pernah dan tidak akan lagi percaya pada harapan. Terlebih jika berhadapan dengan orang sepertimu. Tidak akan lagi. Karena kau, Davis. Kau yang mengajariku untuk tidak berharap.             To be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar