Apa kau pernah
berharap? Aku yakin semua orang pernah. Begitu juga aku. Tapi itu dulu.
Sekarang tidak lagi. Aku sudah lelah dipermainkan oleh harapan. Aku tidak ingin
dan tidak akan berharap lagi. Terlebih pada seorang pengumbar harapan palsu.
Itu janjiku.
Mungkin
dia adalah jodohku. Atau mungkin juga tidak. Yang jelas hari itu aku terjatah
sial untuk sekelompok dengannya. Kurasa terlalu berlebihan saat aku mengatakan mungkin dia adalah jodohku. Dan aku
sangat menyesal telah mengatakannya pada diriku sendiri.
“Bisa
tolong kancingin seragamku, Lai?” pinta Davis sambil mengulurkan tangan
kirinya.
Aku
bisa melihat tangan kanannya tengah sibuk mengaduk larutan percobaan kami.
Sebenarnya aku sangat malas menuruti permintaan cowok itu. Seharusnya dia bisa berhenti
sebentar untuk mengancingkannya sendiri, kan? Tapi aku akan lebih malas lagi
kalau harus berdebat dengannya. Kamu tahu? Orang itu tidak akan pernah
membiarkan aku menang dengan alasanku.
Dengan
sangat malas akhirnya aku mendekat, perlahan memasukkan kancing lengan
seragamnya yang panjang. “Aduh duh, gatal nih!” keluh Davis tiba-tiba sambil
menarik perlahan tangan kirinya hendak menggaruk pipi, membuat aku yang saat
itu terlalu serius mengancingkan lengan seragamnya turut bergerak mendekati
wajahnya. Sadar, kurasa Davis memang sengaja memancingku, terbukti dari
seringai jahil di wajahnya yang muncul pada detik itu. Seketika itu juga
kuhentak tangan kirinya. Ia kira ini hal yang lucu? Mungkin iya untuknya. Tapi
tidak bagiku.
Davis tidak tahu. Ia
tidak mengerti. Terlalu sulit untuk kujelaskan semua padanya. Bagaimana
perasaanku. Bagaimana usahaku untuk menganggap semua gurauannya hanya sebagai
lelucon, bukan sebagai sinyal. Bagaimana aku selama ini terjebak dalam harapan
palsu. Terjerembab dalam sakit yang tidak pernah ia tahu. Davis tidak tahu
bahwa aku bosan. Lelah dengan bayang-bayang harapan yang ia berikan. Mengejar,
menggapai tangan yang selalu ia ulurkan. Namun di saat aku nyaris meraih tangan
itu, ia selalu menariknya kembali. Membuatku kecewa. Ia mempermainkanku. Hampir
setiap hari aku dijadikannya bahan godaan. Bukan hanya aku. Masih banyak mereka
yang diperlakukan nyaris sama sepertiku. Itulah bodohnya aku. Kenapa aku tidak
pernah sadar? “Perhatian Davis bukan hanya untukmu semata, Laira! Buka matamu
benar-benar!” kalimat itulah yang selalu singgah pertama kali saat aku mulai
terlena dengan suaranya.
Aku tahu dia bukan
playboy. Aku tahu dia hanya ingin menjadikan orang lain merasa spesial jika di
dekatnya. Aku tahu dia ingin membuat mereka tersenyum ataupun tertawa. Tapi
jangan begini! Bukan seperti ini caranya. Semua yang kau lakukan hanya akan
membuat orang macam aku ini menjadi kacau. Selalu saja ada pertengkaran batin
antara dugaan bahwa kau menyukaiku atau tidak sama sekali. Kau yang membuatku
seperti ini, Davis! Kau yang melatihku untuk mencintaimu. Tapi kau sendiri yang
membuatku benci padamu. Aku benci karena harus berjuang melawan hatiku. Selalu
berusaha melempar jauh, ataupun mengubur dalam-dalam harapan yang pernah kau
tawarkan. Meski aku tahu kau tak pernah menawarkannya. Kau hanya memancingku
saja. Hingga aku terjebak dalam harapan palsumu.
Mulai saat itulah,
aku tidak pernah dan tidak akan lagi percaya pada harapan. Terlebih jika
berhadapan dengan orang sepertimu. Tidak akan lagi. Karena kau, Davis. Kau yang
mengajariku untuk tidak berharap. To be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar