Menunggu adalah hal
yang sangat membosankan. Begitu, kan? Memang, ungkapan itu ada benarnya. Namun
tidak untukku saat ini. Aku ingin menunggu. Menunggu agar jarum jam di dinding
itu berdetak seratus kali lebih lambat dari biasanya. Menunggu untuk waktu yang
tidak terlalu kuinginkan. 16 tahun menginjakkan kaki di bumi nan nelangsa ini,
rasanya akan berakhir satu masa dalam hidupku dan berganti dengan masa yang
baru. Tahap yang berbeda. Tahap dewasa.
***
Happy
birthday niiiin! :D
mEt
uLt4H eA . .
HBD
Sugeng
ambal warso deg :)
HAPPY
BIRTHDAY ANIN , HAPPY BIRTHDAY ANIN , HAPPY BIRTHDAY ANIN , HAPPY
BIRTH...BIRTH...BIRTH...BIRTH...BIRTHDAAAAYYYY!!!!!!! :D :D :D
Sebenarnya
masih banyak lagi sms ataupun wall yang masuk untuk memberikan ucapan selamat
dengan berbagai model tulisan, dan juga gaya bahasa yang berbeda-beda. Hari ini
adalah hari istimewaku, namun tidak terlalu kuharapkan. Kau tahu kenapa?
Alasannya simpel. Karena aku belum siap mental untuk menjadi dewasa. Menjadi
manusia yang mulai sibuk memikirkan masa depan. Yang harus sudah punya KTP.
Yang tidak dapat perhatian dari negara secara khusus lagi dengan embel-embel
karena sudah tidak di bawah 17 tahun lagi. Yang Kak Seto pun pasti tidak akan terlalu
memperhatikan jika aku hendak dinikahi oleh lelaki manapun, tak terkecuali
duda-duda kaya. Semua itu karena satu alasan. Sudah di atas 17 tahun.
Mungkin
usia menunjukkan kenyataan itu. Namun sikap dan kebiasaanku sampai saat ini
sama sekali belum memperlihatkannya. Bahkan aku bisa menilai jelas diriku tak
lebih dewasa dari anak kelas 6 SD. Aku masih sering berebut makanan sama Manyu,
adikku. Dan aku sama sekali nggak mau diperlakuin nggak adil, dengan ending aku harus ngalah. Bahkan tak
jarang aku minta disuapin kalau lagi bener-bener nggak mood makan. Aku juga nggak
nyangkal kalau dibilang masih suka minta peluk sama Mama. Tapi walau begitu bukan
berarti aku tak pernah membantu Mama bersih-bersih rumah, cuci piring, ngepel
ruang tamu, atau jadi tukang laundry di rumah. Karena aku tau kalau semua itu
tetep jadi kewajibanku.
Mama
mulai melajukan motor. Selama perjalanan aku hanya membisu dalam harapan angin
lalu. Namun, entah kenapa aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk
mengatakannya. “Mama lupa sesuatu ya?”tanyaku lirih. Kumohon pancinganku yang
satu ini berhasil.
“Lupa?”
seru Mama dengan nada heran. “Kayaknya nggak ada yang kelupaan. Barangnya tadi
udah Mama kasih ke Nenek semua, kan?”
Aku
mendesah setengah kecewa. “Bukan soal itu, Mamaaa!”
“Lalu?”
Aku
hanya diam. Tak ada niat untuk menjawab. Beberapa detik kubiarkan Mama bergumul
dengan rentetan heran dan tanda tanya di hatinya. Karena aku, benar-benar tak
minat menjawab.
“Oh,
ya ampuuun!!” seru Mama tiba-tiba sambil mengerem motor.
***
“Es
krim kamu kayaknya cepet leleh, Nin. Butuh bantuan?” tawar Mama disertai
seringainya. Aku pun tertawa mendengarnya. Terkadang aku bersyukur, sikap Mama
masih seperti teman sebayaku. Jadi maklum saja jika aku sangat dekat dengannya,
dan tak ayal hingga aku menganggapnya seperti sahabat sendiri.
Sore
itu Mama adalah satu-satunya orang yang menobatkan dirinya sebagai seseorang
yang akan menuruti semua permintaanku di hari spesial ini. Dan sekilas
terlintas satu gagasan untuk meminta kue ulang tahun bertuliskan ‘Happy
Birthday Anindya Caprina Linka’ di atasnya. Tapi segera kuurungkan niatku,
mengingat aku sudah bukan anak SD lagi. Aku sudah 17 tahun. Dan
aku...menjawab...bahwa aku...menginginkan...es krim coklat seharga lima ribu
perak sebagai tanda peresmian. Bukan sesuatu yang rumit, kan?
Namun, jauh di dalam
sana, tertimbun secuil angan kosong yang tertutup oleh bisuku. Kosong. Bukan
karena aku tak mengharap suatu apapun di sana. Melainkan karena angan itu sudah
jelas kosong untuk diwujudkan dalam kenyataan. Namun entah kenapa, cintanya meyakinkanku,
bahwa angan itu akan terwujud, di dalam sana. Di relung hatiku.
Dan
asal Mama tahu. Yang kuharapkan bukanlah seperti yang kukatakan. Dan...inilah
harapanku :
Aku
ingin Mama selalu di sini. Merengkuhku. Menemaniku menyeberangi jembatan tua
ini. Merangkulku dalam menatap masa yang bergolak dengan begitu angkuhnya.
Memejamkan mataku di saat raungan godaan mulai mengusik. Dan mendekapku hangat,
sehangat kau membalut hatiku dengan segenap cintamu.
Dan
jika Engkau berkenan, aku mohon padaMu ya Tuhan. Panjangkanlah waktu yang
semakin mengikis jarak antara kami. Biarkan dia terus di sini. Izinkan aku
untuk selalu di sampingnya. Untuk selalu menyimak lantunan tawanya. Untuk
selalu menikmati senyumnya. Dan izinkan aku untuk lebih lama mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar