10 Maret 2013

The Wish in Seventeen


Menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Begitu, kan? Memang, ungkapan itu ada benarnya. Namun tidak untukku saat ini. Aku ingin menunggu. Menunggu agar jarum jam di dinding itu berdetak seratus kali lebih lambat dari biasanya. Menunggu untuk waktu yang tidak terlalu kuinginkan. 16 tahun menginjakkan kaki di bumi nan nelangsa ini, rasanya akan berakhir satu masa dalam hidupku dan berganti dengan masa yang baru. Tahap yang berbeda. Tahap dewasa.
***

            Happy birthday niiiin! :D
            mEt uLt4H eA . .
            HBD
            Sugeng ambal warso deg :)
            HAPPY BIRTHDAY ANIN , HAPPY BIRTHDAY ANIN , HAPPY BIRTHDAY ANIN , HAPPY BIRTH...BIRTH...BIRTH...BIRTH...BIRTHDAAAAYYYY!!!!!!! :D :D :D
                Sebenarnya masih banyak lagi sms ataupun wall yang masuk untuk memberikan ucapan selamat dengan berbagai model tulisan, dan juga gaya bahasa yang berbeda-beda. Hari ini adalah hari istimewaku, namun tidak terlalu kuharapkan. Kau tahu kenapa? Alasannya simpel. Karena aku belum siap mental untuk menjadi dewasa. Menjadi manusia yang mulai sibuk memikirkan masa depan. Yang harus sudah punya KTP. Yang tidak dapat perhatian dari negara secara khusus lagi dengan embel-embel karena sudah tidak di bawah 17 tahun lagi. Yang Kak Seto pun pasti tidak akan terlalu memperhatikan jika aku hendak dinikahi oleh lelaki manapun, tak terkecuali duda-duda kaya. Semua itu karena satu alasan. Sudah di atas 17 tahun.
                Mungkin usia menunjukkan kenyataan itu. Namun sikap dan kebiasaanku sampai saat ini sama sekali belum memperlihatkannya. Bahkan aku bisa menilai jelas diriku tak lebih dewasa dari anak kelas 6 SD. Aku masih sering berebut makanan sama Manyu, adikku. Dan aku sama sekali nggak mau diperlakuin nggak adil, dengan ending aku harus ngalah. Bahkan tak jarang aku minta disuapin kalau lagi bener-bener nggak mood makan. Aku juga nggak nyangkal kalau dibilang masih suka minta peluk sama Mama. Tapi walau begitu bukan berarti aku tak pernah membantu Mama bersih-bersih rumah, cuci piring, ngepel ruang tamu, atau jadi tukang laundry di rumah. Karena aku tau kalau semua itu tetep jadi kewajibanku.
                Mama mulai melajukan motor. Selama perjalanan aku hanya membisu dalam harapan angin lalu. Namun, entah kenapa aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk mengatakannya. “Mama lupa sesuatu ya?”tanyaku lirih. Kumohon pancinganku yang satu ini berhasil.
                “Lupa?” seru Mama dengan nada heran. “Kayaknya nggak ada yang kelupaan. Barangnya tadi udah Mama kasih ke Nenek semua, kan?”
                Aku mendesah setengah kecewa. “Bukan soal itu, Mamaaa!”
                “Lalu?”
                Aku hanya diam. Tak ada niat untuk menjawab. Beberapa detik kubiarkan Mama bergumul dengan rentetan heran dan tanda tanya di hatinya. Karena aku, benar-benar tak minat menjawab.
                “Oh, ya ampuuun!!” seru Mama tiba-tiba sambil mengerem motor.
***
                “Es krim kamu kayaknya cepet leleh, Nin. Butuh bantuan?” tawar Mama disertai seringainya. Aku pun tertawa mendengarnya. Terkadang aku bersyukur, sikap Mama masih seperti teman sebayaku. Jadi maklum saja jika aku sangat dekat dengannya, dan tak ayal hingga aku menganggapnya seperti sahabat sendiri.
                Sore itu Mama adalah satu-satunya orang yang menobatkan dirinya sebagai seseorang yang akan menuruti semua permintaanku di hari spesial ini. Dan sekilas terlintas satu gagasan untuk meminta kue ulang tahun bertuliskan ‘Happy Birthday Anindya Caprina Linka’ di atasnya. Tapi segera kuurungkan niatku, mengingat aku sudah bukan anak SD lagi. Aku sudah 17 tahun. Dan aku...menjawab...bahwa aku...menginginkan...es krim coklat seharga lima ribu perak sebagai tanda peresmian. Bukan sesuatu yang rumit, kan?
Namun, jauh di dalam sana, tertimbun secuil angan kosong yang tertutup oleh bisuku. Kosong. Bukan karena aku tak mengharap suatu apapun di sana. Melainkan karena angan itu sudah jelas kosong untuk diwujudkan dalam kenyataan. Namun entah kenapa, cintanya meyakinkanku, bahwa angan itu akan terwujud, di dalam sana. Di relung hatiku.
                Dan asal Mama tahu. Yang kuharapkan bukanlah seperti yang kukatakan. Dan...inilah harapanku :
Aku ingin Mama selalu di sini. Merengkuhku. Menemaniku menyeberangi jembatan tua ini. Merangkulku dalam menatap masa yang bergolak dengan begitu angkuhnya. Memejamkan mataku di saat raungan godaan mulai mengusik. Dan mendekapku hangat, sehangat kau membalut hatiku dengan segenap cintamu.
Dan jika Engkau berkenan, aku mohon padaMu ya Tuhan. Panjangkanlah waktu yang semakin mengikis jarak antara kami. Biarkan dia terus di sini. Izinkan aku untuk selalu di sampingnya. Untuk selalu menyimak lantunan tawanya. Untuk selalu menikmati senyumnya. Dan izinkan aku untuk lebih lama mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar