Huh…capek deh mikir rumus kayak gitu. Tapi mau gimana lagi, itu tuntutan profesiku sebagai seorang pelajar. Kembali tanganku menulis jawaban-jawaban dari soal esai Fisika yang ada dihadapanku. No 5. Selesai. “Hmmh, akhirnya selesai juga!”kataku lega. Tapi tidak! Aku tidak sepenuhnya lega. Kalian tau kenapa? Karena, aku tidak suka suasana saat ini. Ya. Aku tidak suka ulangan. Aku benci ulangan. Sangat benci.
Bukan karena aku malas berfikir, tapi karena aku benci melihat teman-temanku yang berbuat curang. Ya. Curang. Alias NYONTEK. Mending itu kalau nyontek temennya(kalau mau dicontekin). Lah kalau nyontek buku? Bisa bener semua donk. Asal kalian tau aja, aku bukan tipe cewe yang suka dengan yang namanya NYONTEK. Mungkin sebagian besar dari kalian bisa dikatakan ‘pecontek sejati’(sebagian besar), tapi nggak buat aku, seorang Firtadelia Ghifari Yasmin.
***
“Del…!!!!!”
Ups, siapa yang memanggil namaku? Perasaan nggak ada orang. Eh, setelah ku belokkan badanku 180o, baru kutemukan sesosok wajah yang, akkhhh….berkali kali dia nembak berkali-kali juga ku tolak. Kak Galih. Kelas XI IPS 2. Cakep sih, baik, lumayan lah, banyak yang ngincer dia. Satu alasan kenapa aku benci dia. Dia terkenal dengan si Raja NYONTEK. Huft… mau gimana lagi? Kulempar seulas senyum paksaan padanya. Ow, ternyata dia membalas senyumku, yang sebenarnya aku nggak ngarepin itu dan sekarang berada 1,5 meter dihadapku.
“E, Del! Ntar sore ada acara nggak?” tanyanya to the point. Appa lagi siihh…!! Pasti deh mau ngajakin jalan.
“Emm, maaf Kak! Besok Adel ada ulangan Matematika. Adel mau belajar di rumah. Jadi, laen kali aja ya Kak!”jawabku seraya membalik badan dan segera meninggalkan Kak Galih. Tapi eitsszz, dia menarik tanganku rupanya. Jelas dengan gesit langsung kulepaskan tarikannya. Maunya apa sih, ni orang?
“Matematika? Alah, temanmu kan ada yang jago mate tuh! Besok kamu kan bisa liat kerjaan dia, Del!”
What? Liat? Maksudnya NYONTEK kan?
“Hah? Maaf Kak, aku bukan orang yang kerjaannya korupsi nilai dari temanku yang susah payah belajar. I’m sorry, I can’t do it.” Sekali lagi seulas senyum paksaan untuknya. Dan sekarang benar-benar aku meninggalkannya. Huft. NYONTEK. Emang udah mendarah daging banget yah?
***

Hmmh. Benar-benar sejuk. Pelan kusandarkan tubuhku di pohon itu dengan salah satu kaki yang kuluruskan. Sekarang, tampak lapangan sepak bola yang tepat di samping kiriku. Lalu dihadapanku, ada beberapa pohon berjajar, tapi tidak seredup pohon ini. Kupejamkan mataku. Sedetik, dua detik. Dan kubuka kembali. Terdengar gemercik sungai kecil yang ada di kananku. Jernih. Bak sungai di Jepang. Aku hanya dapat tersenyum melihat itu bangga. Kupejamkan mataku kembali. Berharap semua bukanlah mimpi. Dan kurasa memang bukan.
Ups, ada sepasang tangan yang sedang menutup mataku yang masih terpejam. Lalu kuraba tangan itu dengan kedua tanganku. Kurasa aku tau.
“Ryan…”
Dia melepaskan tangannya dari kedua mataku dan menampakkan sosoknya yang tersenyum manis tepat dihadapanku dengan seragam SMAnya, sama sepertiku sekarang, masih memakai seragam serta rok panjang. Hm, nggak salah, memang dia. Secepat kilat aku membalas senyumnya dengan tawa kecil di bibirku. Senang? Ckckck, siapa sih yang nggak seneng didatengin cowo cakep, baik pula. Kalian bisa nganggep Ryan adalah temanku. Teman dekatku lebih tepatnya. Atau mungkin bisa disebuutt…..ah, apalah arti sebuah nama. Yang jelas dia teman baikku.
“Ngapain Del?” tanyanya sambil duduk memperhatikanku.
“Hmm? Aku?” ternyata aku masih belum sadar sepenuhnya. Tapi sekarang sudah.
“Bukan. Tapi sesosok bidadari yang ada dihadapanku.” Hadewh, aku dibilang bidadari? Yang bener aja. Lagi-lagi tawa kecil beserta senyuman yang kupancarkan dari bibirku.
“Hh, Ryan…Ryan! Kamu itu ya, kayaknya nggak bisa deh buat aku nggak tersenyum. Gimana? Udah belajar matematika?”tanyaku sambil menegakkan badanku yang tadinya bersandar.
“Tentu donk Nyonya. Oiya, ini saputanganmu yang kemaren sempat kupinjem. Makasih ya!”katanya seraya mengeluarkan saputangan dari saku celananya dan menyodorka….ow, apa itu? Secarik kertas kecil, berisi tulisan rumus-rumus kecil yang keluar dari sakunya. Segera aku mengambilnya, memperhatikan dengan seksama, dan terakhir menatap heran mata Ryan sepenuhnya. Aku nggak nyangka, dia bakal buat kayak gini. Hal yang paling kubenci. Tapi aku nggak ngerti. Kenapa Ryan juga malah heran sendiri ngliat kertas kecil itu.
“Apa ini Ry? Sebuah contekankah?”
“E…Del, itu, itu bukan, e…aku, tau, eh aku nggak…”
“Oke Ry. Aku ngerti. Aku ngerti dengan maksud kertas ini. Hh!”satu cengiran untuknya.
“Del..! Itu bukan aku yang buat. Aku, aku juga nggak tau kenapa bisa ada di sakuku.”
Entah bagaimanalah aku harus ngadepin ini. Marah? Percaya? Nggak usah gubris? Bingung? Akkhhh…ternyata aku lebih memilih menarik tasku dan pulang meninggalkan Ryan yang masih terduduk sendiri dengan beribu penjelasannya, yang sebenarnya entahlah apa yang sedang ia katakan, aku nggak denger, juga nggak nggubris. Kayaknya telingaku emang udah tersumbat rapat dengan secarik kertas itu.
***
In my home. 20.00 WIB
Drrrt…drrrt. Read.
From : Ryan ckp
Del, aq mhn jgn mrh! Please! Aq gk nglkuin smw itu…
Hmm, males banget mau bales. Akhirnya ku tekan tombol nonaktif, end…mati deh. Selesai. Terusin belajar.
***
Suasana ulangan sepi. Tapi nggak bener-bener sepi sebenarnya. Biasa, lagi pada pake bahasa tubuh. Ada yang garuk tangan tiga kalilah, ada yang nguap, ngliat buku, manggut-manggut, senggol kanan kiri, nekan-nekan tombol hp, komunikasi dengan gerakan bibir, liat telapak tangan yang penuh dengan kaligrafi, dan akkhhh,,,plis deh, semua itu cuma bikin emosi ajah. Terutama gurunya juga tuh. Niat ngawasin apa mau baca koran sih? Tau gitu biar kubawain setumpuk novel sekalian deh. “Sttt, Adel!”bisik seseorang dibelakangku. Tanpa ngliat pun aku tau siapa dia. Ryan. Aku menolehnya dengan malas. Diperlihatkannya selembar folio bertuliskan “PLEASE!! DON’T BE ANGRY!DO YOU BELIEVE ME?”. Terlihat kedua bola matanya yang begitu redup seolah bersunguh-sungguh dengan tulisan itu. Tapi, aghh…tak taulah. Aku melanjutkan kerjaanku yang sebenarnya pikiranku masih melayang di wajahnya.
Waktu istirahat tadi siang, dia narik tanganku dan mau ngomong sesuatu tapi aku langsung menyangkal tangannya dan langsung pergi. Tanpa seucap kata.
Waktu aku jalan di teras kelas, dia nyapa aku tapi aku sama sekali nggak ngegubris dia. Tanpa satu tengokan pun padanya.
Waktu buku Kimiaku terbitan th 1996 jatuh di perpustakaan, dia mengambilkannya. Tapi aku langsung merebut buku itu darinya. Tanpa sebuah ucapan trimakasih.
Apa aku terlalu salah sama dia? Kurasa iya. Ya Tuhan, aku benci ini semua, tapi kenapa aku lakuin juga. Aku juga terlalu munafik dengan perasaanku yang mengatakan benci. Tapi sebenarnya? Jauh dari itu. Dasar Adel. Bego.
***
Pulang sekolah. Aku segera bergegas dan harus lebih cepat keluar ruangan ini daripada kemaren. Takut ada seseorang menghentikanku. Sampai keluar kelas, dari belakang tanpa basa-basi dan dengan gesitnya seseorang menggapai tanganku dan berhasil menariknya hingga aku terbawa sampai ke tepi lapangan upacara di bawah pohon talok.
“Kamu itu apa-apaan sih Ry…sampai baw….”
“Ssstttttt!!”cepat Ryan memotong kata-kataku. “Del, kenapa sih kamu nggak percaya sama aku? Padahal aku bener-bener nggak ngelakuin itu Del…!”
Aku hanya diam dan membuang mukaku ke arah pohon talok di samping kiriku. Ryan menghela napas, lalu dengan kedua tangannya dia mengarahkan kepalaku untuk menghadapnya, menatap matanya.
“Del, kumohon! Jangan perlakukan aku kayak gini.”pintanya dengan suara gemetar yang lemas. “Aku nggak bisa terus-terusan jauh dari kamu Del!”
Aku masih terdiam menatapnya. Nggak tau mau ngomong apa. Atau bahkan sama sekali nggak bisa bicara. Melihat seseorang yang benar-benar kusayangi menatapku dengan sedunya, dengan kedua tangan dingin yang masih melekat di depan telingaku. Andai aku bisa mengatakan sesuatu, akan aku ucapkan “Aku nggak mau ngliat kamu kayak gini Ry, aku sayang sama kamu, aku percaya sama kamu.”
“Del, Demi Tuhan aku nggak nglakuin semua itu!”jelasnya terdengar sangat ringkih. “Aku sayang sama kamu, mana mungkin aku bohongin kamu, Del!”
Benar-benar aku nggak bisa ngliat dia kayak gini. Merintih memohon-mohon padaku hanya karena kesalahan yang belum pasti dibuatnya. Egois. Munafik. Bodoh. Aku jadi benci dengan diriku sendiri. Aku yang buat dia kayak gini. Merintih dengan ringkihnya dihadapanku, dan hampir menangis. Kenapa aku bisa nglakuin ini semua? Bibirku mulai bergeming. Mataku tak dapat membendung semuanya. Isak cengengku mulai terdengar. Dan kubiarkan semua tangisku membasahi bahunya. Terlelap dipelukannya.
“Ry…”aku masih terisak dalam rengkuhannya. “Maafin aku Ry, maafin aku!”.
“Aku percaya sama kamu. Aku nggak niat buat nyakitin kamu. Maafin aku Ry, maafin aku.”. Ryan masih mengusap kepala dan punggungku. Berusaha menenangkanku. Pelan ia lepaskan pelukanku darinya, dan mengusap air mata yang sedari tadi menetes dipipiku. Dia tersenyum, dan menatapku dengan kedua bola mata indahnya.
“Del…!”
“Kamu percaya kan?”
Aku masih diam, tapi langsung mengangguk dan tersenyum seperti anak kecil dihadapannya. Kuusap salah satu mataku yang masih ada sisa air mata dengan tawa kecil di bibirku. Ryan. Dia selalu saja buatku tersenyum.
***
“Jadi, itu bukan kamu yang nglakuin, Ry?”
“Ya bukanlah Del. Emang kenapa sih kamu benci orang nyontek?”
“Karna pecontek itu adalah koruptor, Ry. Orang yang nggak bisa dipercaya. Gimana aku mau percaya sama dia kalau dia sendiri nggak percaya sama dirinya sendiri.?”
Hmm, sebuah senyum untukku, dari seorang Ryan. Ryan yang kusayangi.
Hmh…emang, kebiasaan susah dihilangin. Tapi, apa salahnya buat kita nyoba! Nyoba dalam hal kebaikan. Don’t stopped to trying. ^_^
create by Eki Arum Khasanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar