Aku pernah bilang, aku tidak pernah dan tidak akan lagi percaya
pada harapan. Terlebih jika berhadapan dengan orang seperti Davis. Tidak akan
lagi.
Itu pernyataanku
dulu. Waktu itu aku ingat pasti betapa aku benar-benar serius dengan
perkataanku. Tapi sekarang? Aku malah mengingkarinya. Seolah ingkar itu begitu
mudah untuk diwujudkan. Seandainya aku bisa, akan kuhapus sekarang juga
pernyataan yang pernah terlontar itu. Karena kali ini aku lebih dari serius. Aku
sadar, harapan tidak harus selalu digantungkan di tangan orang lain.
***
Siang itu, pucak dari
kebencianku pada harapan. Aku berjalan menapaki koridor sekolah dengan langkah
malas. Entah sama sekali tidak ada semangat yang bergetar di kakiku. Hatiku
sedang tidak pada nuansa baik. Semua yang terlihat serasa meletihkan bagiku.
Dan yang lebih membuat aku sengit, detik itu juga aku melihat seseorang yang
minggu-minggu ini sanggup membawaku pada angan-angan yang menyakitkan. Davis.
Ia berjalan bersama seorang perempuan, anak 12 IPA 3, yang tangannya tengah ia
genggam sekarang. Bisa kurasakan dengan jelas betapa bilah pisau itu kini
begitu mudah membesut hatiku. Nyeri. Perih. Sangat sakit melihatnya. Kau tidak
akan tahu bagaimana rasa sakit itu, kecuali jika kau pernah mengalaminya. Bukankah dia orang muslim? Kenapa harus
bersikap seperti itu? Apa perempuan itu mahramnya? Aku
segera berbalik. Berjalan menjauh, menghindarkan mataku yang mulai panas dari
hal yang hanya akan membuat hati ini kian remuk. Kubilang juga apa, Laira. Kau hanya akan sakit jika percaya pada
harapan. Sekarang juga tinggalkan harapan tak pentingmu itu. Jangan hanya terbuai kehidupan dunia.
***
Pagi ini mataku
bengkak. Semalam aku menangis. Jangan katakan aku adalah gadis lemah yang
menangis hanya karena Davis. Apa kau percaya? Menangis dapat membuat sebagian orang menjadi lebih
baik. Dan benar saja, setidaknya hari ini aku merasa lebih lega dari sebelumnya.
“Ibu berangkat dulu
ya, Nak!” suara Ibu terdengar bersemangat. Seperti biasanya Ibu berpamitan dari
luar rumah sambil menata dagangan jamunya, sementara aku masih sibuk
bersiap-siap untuk ke sekolah. Selalu setiap hari seperti ini. Dan aku
menjawabnya, “Iya, Bu.”. “Hati-hati di jalan ya, Nak!”. “Iya, Bu.”. “Belajar
yang baik ya, Nak!”
Kali ini aku diam.
Tidak seperti biasanya. Ada rasa penyesalan yang tiba-tiba saja berhembus di
sekelilingku. Aku mengecewakan. Kutarik sebuah lembar jawab dari meja
belajarku. Di atasnya terbubuh angka 3,75. Apa-apaan ini? Setiap hari Ibu
memberiku semangat. Menanam harapan padaku, anak sulungnya. Tapi apa yang
kulakukan? Aku tahu Ibu bukanlah sosok yang pintar seperti kebanyakan Ibu dari
teman-temanku. Ibu bukanlah terlahir dari keluarga kaya. Ibu tidak bisa
mengerti apa yang sedang aku pikirkan dan harapkan. Ibu tidak tahu bagaimana
cara menenangkanku saat aku marah. Tidak tahu bagaimana membuatku tersenyum.
Tapi aku tahu betul Ibu selalu berusaha untuk menjadi Ibu yang terbaik. Yang
selalu ingin memberikan kasih sayangnya secara penuh. Yang berjuang sekuat
mungkin untuk menjadi yang aku harapkan. Tapi ini balasanku? Nilai 3,75 untuk
Try Out Matematikaku yang kedua? Ingin menjadi apa aku ini? Laira, Ibumu sudah bekerja keras untukmu.
Ibu selalu sabar. Bahkan semalam, setelah melihat nilai itu saja Ibu hanya bisa
tersenyum sambil membelai kepalaku. Ibu sama sekali tidak marah. Meski aku tahu
pasti ada segores kekecewaan tersibak di pelupuk matanya. Dan inilah yang
menjadi alasanku. Alasan bahwa aku harus kembali menanam harapan. Bukan di
tangan orang lain, melainkan di tanganku sendiri.
Sekarang aku tahu
pasti, harapan seperti apa yang seharusnya mendekam di pikiranku. Bukan tentang
laki-laki. Bukan pula tentang cinta
manusia labil. Terserah apa yang akan Davis lakukan padaku
setelah ini. Melirikku? Menggodaku dalam candanya? Memberikan perhatian lebih padaku?
Membuat aku dan gadis-gadis lain terpesona oleh tawanya? Aku tahu Davis sudah
memiliki Tania, tapi memang seperti itulah dia. Mengumbar “formulir” harapan
palsu yang hanya dianggapnya sebagai lelucon terhadap banyak perempuan. Ya Allah, bodohnya aku bisa terjerat dalam
cinta semacam ini. Cinta metropolitan yang mungkin hanya akan menyesatkan jalan
pikiranku. Tapi sekarang aku yakin betul, semua harapan
kosong itu tidak akan lagi berpengaruh. Ada yang lebih penting dari sekadar menggantungkan
hati pada seseorang yang tak tentu. Yang lebih mulia dari sekadar pengorbanan cinta
palsu. Yaitu Ibu. Ia lebih berharga dari sekian harapan bohong yang telah lalu. Dan aku
berjanji Ibu, akan meraih harapan terindah untukmu. Aku berjanji. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar