10 Maret 2013

Hope 2


Aku pernah bilang, aku tidak pernah dan tidak akan lagi percaya pada harapan. Terlebih jika berhadapan dengan orang seperti Davis. Tidak akan lagi.
Itu pernyataanku dulu. Waktu itu aku ingat pasti betapa aku benar-benar serius dengan perkataanku. Tapi sekarang? Aku malah mengingkarinya. Seolah ingkar itu begitu mudah untuk diwujudkan. Seandainya aku bisa, akan kuhapus sekarang juga pernyataan yang pernah terlontar itu. Karena kali ini aku lebih dari serius. Aku sadar, harapan tidak harus selalu digantungkan di tangan orang lain.
***

Siang itu, pucak dari kebencianku pada harapan. Aku berjalan menapaki koridor sekolah dengan langkah malas. Entah sama sekali tidak ada semangat yang bergetar di kakiku. Hatiku sedang tidak pada nuansa baik. Semua yang terlihat serasa meletihkan bagiku. Dan yang lebih membuat aku sengit, detik itu juga aku melihat seseorang yang minggu-minggu ini sanggup membawaku pada angan-angan yang menyakitkan. Davis. Ia berjalan bersama seorang perempuan, anak 12 IPA 3, yang tangannya tengah ia genggam sekarang. Bisa kurasakan dengan jelas betapa bilah pisau itu kini begitu mudah membesut hatiku. Nyeri. Perih. Sangat sakit melihatnya. Kau tidak akan tahu bagaimana rasa sakit itu, kecuali jika kau pernah mengalaminya. Bukankah dia orang muslim? Kenapa harus bersikap seperti itu? Apa perempuan itu mahramnya? Aku segera berbalik. Berjalan menjauh, menghindarkan mataku yang mulai panas dari hal yang hanya akan membuat hati ini kian remuk. Kubilang juga apa, Laira. Kau hanya akan sakit jika percaya pada harapan. Sekarang juga tinggalkan harapan tak pentingmu itu. Jangan hanya terbuai kehidupan dunia.
***
Pagi ini mataku bengkak. Semalam aku menangis. Jangan katakan aku adalah gadis lemah yang menangis hanya karena Davis. Apa kau percaya? Menangis dapat membuat sebagian orang menjadi lebih baik. Dan benar saja, setidaknya hari ini aku merasa lebih lega dari sebelumnya.
“Ibu berangkat dulu ya, Nak!” suara Ibu terdengar bersemangat. Seperti biasanya Ibu berpamitan dari luar rumah sambil menata dagangan jamunya, sementara aku masih sibuk bersiap-siap untuk ke sekolah. Selalu setiap hari seperti ini. Dan aku menjawabnya, “Iya, Bu.”. “Hati-hati di jalan ya, Nak!”. “Iya, Bu.”. “Belajar yang baik ya, Nak!”
Kali ini aku diam. Tidak seperti biasanya. Ada rasa penyesalan yang tiba-tiba saja berhembus di sekelilingku. Aku mengecewakan. Kutarik sebuah lembar jawab dari meja belajarku. Di atasnya terbubuh angka 3,75. Apa-apaan ini? Setiap hari Ibu memberiku semangat. Menanam harapan padaku, anak sulungnya. Tapi apa yang kulakukan? Aku tahu Ibu bukanlah sosok yang pintar seperti kebanyakan Ibu dari teman-temanku. Ibu bukanlah terlahir dari keluarga kaya. Ibu tidak bisa mengerti apa yang sedang aku pikirkan dan harapkan. Ibu tidak tahu bagaimana cara menenangkanku saat aku marah. Tidak tahu bagaimana membuatku tersenyum. Tapi aku tahu betul Ibu selalu berusaha untuk menjadi Ibu yang terbaik. Yang selalu ingin memberikan kasih sayangnya secara penuh. Yang berjuang sekuat mungkin untuk menjadi yang aku harapkan. Tapi ini balasanku? Nilai 3,75 untuk Try Out Matematikaku yang kedua? Ingin menjadi apa aku ini? Laira, Ibumu sudah bekerja keras untukmu. Ibu selalu sabar. Bahkan semalam, setelah melihat nilai itu saja Ibu hanya bisa tersenyum sambil membelai kepalaku. Ibu sama sekali tidak marah. Meski aku tahu pasti ada segores kekecewaan tersibak di pelupuk matanya. Dan inilah yang menjadi alasanku. Alasan bahwa aku harus kembali menanam harapan. Bukan di tangan orang lain, melainkan di tanganku sendiri.
Sekarang aku tahu pasti, harapan seperti apa yang seharusnya mendekam di pikiranku. Bukan tentang laki-laki. Bukan pula tentang cinta manusia labil. Terserah apa yang akan Davis lakukan padaku setelah ini. Melirikku? Menggodaku dalam candanya? Memberikan perhatian lebih padaku? Membuat aku dan gadis-gadis lain terpesona oleh tawanya? Aku tahu Davis sudah memiliki Tania, tapi memang seperti itulah dia. Mengumbar “formulir” harapan palsu yang hanya dianggapnya sebagai lelucon terhadap banyak perempuan. Ya Allah, bodohnya aku bisa terjerat dalam cinta semacam ini. Cinta metropolitan yang mungkin hanya akan menyesatkan jalan pikiranku. Tapi sekarang aku yakin betul, semua harapan kosong itu tidak akan lagi berpengaruh. Ada yang lebih penting dari sekadar menggantungkan hati pada seseorang yang tak tentu. Yang lebih mulia dari sekadar pengorbanan cinta palsu. Yaitu Ibu. Ia lebih berharga dari sekian harapan bohong yang telah lalu. Dan aku berjanji Ibu, akan meraih harapan terindah untukmu. Aku berjanji. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar