Jujur,
aku suka hujan. Namun aku juga membencinya. Satu-satunya alasan kenapa aku
membencinya adalah kenyataan saat ini yang telah mengubah sejarah hidupku.
Menggeser segala tawa dengan jarum-jarum sesal. Semuanya kini adalah racun.
Bahkan sebiji kebaikan pun akan setara dengan seribu hal hina. Niat baikku tak akan
pernah ternilai lagi. Ketulusanku selalu ditandas dengan sapaan angin.
Penyesalanku hanya akan menjadi gembok dalam hidup, selamanya. Kini aku sama
sekali tak lebih berharga dari busukan sampah. Bahkan mungkin di mata kedua
orangtuaku jika mereka tahu.
Mengapa
detik ini aku harus kembali berhadapan dengan hujan? Mengapa suara guyuran itu
terasa menyesakkan telingaku? Bagaimana bisa gemuruh dan dinginnya udara ini dengan
sekejap menuntunku, membuka lembaran memori tentangmu, orang yang kusayang.
Cukup untuk mengantarkanku pada serunai alunan menyedihkan. Aku yakin, kau
tentu mengingat hal ini dengan begitu jelas.
Aku
tak tau harus membaginya dengan siapa lagi. Satu-satunya yang terpikirkan hanyalah
kau. Maka dari itu, dengarlah sedikit cerita ini.
Semua
berawal dari yang tak terencana. Mencintaimu adalah suatu kehormatan. Hadirnya
dirimu adalah kebahagiaan. Kau bukanlah pelopor kisah cintaku. Karena tidak
akan ada kisah lagi setelah ini, aku berjanji. Semua akan selesai. Namun kau
adalah cinta pertamaku. Kau tahu betul betapa polosnya aku sewaktu dulu. Mengenalkan
cinta padaku hanya akan membuatku tersipu. Kau tahu persis bagaimana aku malu
hanya dengan sebuah senyumanmu. Pada awalnya aku sering tak mengerti dengan
sikapmu padaku. Kau begitu semerbak di kalangan wanita. Dan yang membuatku
heran adalah kenapa harus aku? Pilihanmu jatuh padaku? Apa kau tidak sedang
bergurau? Aku hanyalah gadis polos yang tak mengerti tentang bagaimana, untuk
apa, dan seperti apa cinta, sebelum akhirnya kau pernah berucap, “Pengen tau?
Kenapa aku memilihmu?” Saat itu aku menggeleng lemah. Memang benar aku tidak
tahu apapun tentangmu. Dan tentang lelaki. “Karena aku hanya akan memilih yang
tidak pernah berpikir untuk memilihku.” Sesederhana itu jawabanmu.
Aku
mencintaimu. Tepat seperti yang kau katakan, sebelumnya tidak pernah
terpikirkan olehku untuk mencintaimu. Sesuatu yang tak terencanakan. Dan tepat
seperti itu pula semua ini berawal. Tak pernah ada rencana. Tak pernah ada
bayangan. Sedikit pun tidak. Semua mengalir begitu saja, hingga tak dapat
kembali seperti semula, meski besar harapku untuk dapat dengan mudah memutar
waktu bak memutar sebuah roda sepeda.
Semua
berawal dari hujan kala itu. Kau pasti ingat betul, betapa derasnya hujan yang
memagari siang kita. Mendung membungkus segala awan putih, menjadikan siang
serasa malam. Gelap. Begitu juga hujan lebat yang terus mengguyur tanah,
mengiringi waktu dalam dentingan tiap detiknya. Memenuhi telingaku, hingga kau
harus mengulangi perkataanmu karena aku tak dapat mendengar jelas, tentu saja
suaramu tak sebanding dengan gempuran hujan yang kian menggila. Ya, karena
kecerobohanmu, kau lupa membawa jas hujan, dan terpaksa harus menunggu reda di ambang
pintu kamar kosku yang terbuka, membuat percikan hujan serta merta menyerangmu.
“Kamu
di situ nggak kehujanan, Di? Agak kesini lho!
Anginnya kenceng banget!” ucapku nyaris berteriak, berusaha menandingi suara
hujan.
“Nggak
pa-pa sini aja. Nggak kenceng amat kok.” balasmu keras kepala yang juga hampir
berteriak. Kita memang berada dalam satu ruangan, hanya saja kau duduk di
lantai bersandarkan pintu, sementara aku duduk di sudut ruangan, di atas kasur,
berusaha sejauh mungkin darimu. Bukan apa-apa, hanya saja aku ingin menghindari
sesuatu buruk terjadi. Baru saja kau kembali menatap derasnya hujan, mendadak
angin besar bertiup kencang dari luar. Segera aku berteriak, menyuruhmu menutup
pintu secepatnya. Kau pun segera beralih dan menutup pintu itu rapat-rapat.
Amukan angin saat itu benar-benar menggila. Aku memang suka hujan. Tapi tidak
untuk angin sebesar ini. Perlahan kau kembali duduk, dan mulai menangkap rasa
takut yang muncul pada wajahku. Aku menggigit bibir, seraya menghela napas
berat diam-diam. Sebenarnya ketakutanku bukan semata-mata karena angin,
melainkan karena ruangan ini. Meski di luar sana gemuruh angin tak terelakkan,
namun entah mengapa mendadak ruangan ini menjadi benar-benar sepi. Hanya ada
kau, dan aku.
“Kamu
nggak pa-pa?” tanyamu lembut melihat perubahan mimik wajahku. Aku segera
menggeleng seraya sedikit tersenyum sumir. Sedetik kemudian kuputuskan untuk
melanjutkan tugas seni rupaku. Aku tidak ingin berdiam diri di saat seperti
ini. Apalagi dengan menatapmu, akan membuat dadaku terasa semakin panas. Segera
kuambil cutter untuk memotong kertas besar di depanku. Belum penuh kertas itu
kupotong, seketika kualihkan pandangan ke jendela kamar. Lagi-lagi suara angin
di luar kembali membuatku menahan napas untuk yang kesekian kalinya. Seolah
benar-benar menggempur dinding dan jendela kosku. Aku menelan ludah, namun
tiba-tiba kurasakan sesuatu yang janggal.
“Astaga!”
pekikku seraya menarik jari telunjuk. Baru kusadari darah segar menetes cukup
banyak di kertas putih itu. Melihat jariku yang terluka, kilat kau mengambil kain
seadanya dari ranselmu dan bergegas mendekat ke arahku. Cepat kau raih tanganku
dan menyusupkan jariku yang berdarah ke dalam mulutmu. Aku tak tahu sebenarnya
apa yang kau lakukan. Yang aku tau hanyalah genggamanmu terasa begitu hangat,
dan hatiku serasa berdesir halus. Beberapa detik setelahnya kau mulai membebat
jariku dengan kainmu itu. Tanpa kusadari lagi-lagi aku menahan napas.
Tindakanmu kali ini benar-benar membuat pandanganku hanya terpaku padamu. Aku
bisa melihat guratan wajahmu dengan begitu jelas. Matamu, hidungmu, kulitmu,
dan bibirmu. Apa kau pikir aku baik-baik saja saat ini? Tidak. Mungkin
heartbeatku meningkat seratus kali lebih cepat. Apalagi kini kau menangkap
pandanganku, baru menyadari bahwa aku sudah begitu lama menatapmu. Sedari tadi.
Dan dalam sekejap kau mengikat tatapan kita, begitu dalam. Entah apa yang
terjadi namun yang kurasakan saat ini adalah wajah kita begitu dekat. Suhu
sekitar mendadak terasa panas. Dan waktu seolah berhenti. Kini, suara angin
ribut itu sama sekali tak berarti. Aku mulai tuli. Benda-benda di sekeliling seolah
lenyap seketika. Tak ada lagi sesuatu pun yang tersisa. Satu-satunya yang ada
saat ini hanyalah kau. Kau. Tidak selain kau. Dan keheningan yang semakin merapatkan
kita, melenyapkan jarak, hingga tak ada batas sama sekali. Sama sekali.
Seperti
yang kukatakan, semua berjalan tak terencana. Tak pernah terbersit dalam
pikirku sebelumnya akan kenyataan ini. Meski aku tahu betul kau adalah orang
baik, kau tak pernah menyakitiku, namun kini semua menjadi saksi. Aku adalah
anak polos yang tidak tahu apa-apa hanyalah sebutan masa lalu sebelum nafsu
menyingkirkan segalanya. Termasuk pula membutakan mata hati dan pikiran kita.
Hingga kita tidak dapat berpikir apapun. Semua lumpuh seketika.
Dengarkan
aku Rivaldi, hingga detik ini aku masih mencintaimu. Aku tidak akan pernah
menyalahkan siapa pun akan kejadian ini. Kau telah berusaha untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu, namun mungkin Tuhan memang berkehendak
lain. Aku masih dapat mengingat dengan begitu jelas saat kau membawaku
menghadap orangtuamu. Kau menjelaskan semuanya tanpa ada satu hal pun yang tertutupi.
Dan seperti yang kuduga sebelumnya, orangtuamu marah besar. Bahkan aku bisa
melihat kau sudah begitu siap dengan murka dan tamparan mereka yang mendarat
keras di wajahmu. Aku yakin itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan
kesalahan kita. Kita masih SMA, tidak heran jika mereka tidak mengizinkan kita
untuk menikah. Kalau dipikir-pikir, kita akan menikah? Di usia sedini ini?
Konyol sekali, bukan? Mau jadi apa kita nanti? Meski dengan menikah bukan
berarti telah menghapus segala kehinaan ini, tentu saja itu hanyalah
sebaik-baik dari jalan terburuk yang pernah ada di mata sebagian orang. Setelah
itu kau mengantarku pulang, dengan tetap merangkul beban dan luka yang
digoreskan orangtuamu.
“Maafkan
aku.” bisikmu saat itu. Kepalamu tertunduk, sejurus dengan untaian penyesalan
yang tersirat dari matamu. Hatiku kelu. Belum pernah aku melihatmu seperti ini
sebelumnya. Kau memang tidak menangis, namun aku tahu betul hatimu lebih dari
ini.
“Tidak
seharusnya kamu mengenalku, Fila.” ucapmu lagi sembari menatapku penuh sesal.
Aku mencoba membaca tatapanmu. Jangan menangis! Kumohon! Aku hanya ingin
melihatmu tersenyum, bukan menyesali kenyataan seperti ini. Tidakkah kau tahu
aku tak pernah menyesal sedikit pun bisa mengenalmu? Kesalahanku bukanlah
karena mencintaimu. Melainkan karena aku terlalu lemah untuk berpikir jernih.
Sampai darah dagingmu berada dalam rahimku saat ini, itu adalah kesalahan
terbesarku.
Aku
yang memintamu untuk tidak menangis, namun kini malah aku yang menangis, sampai
kau harus mengulurkan ibu jarimu untuk menghapusnya. “Jangan nangis...” tuturmu
lembut seraya mengusap pelan kepalaku. Kau begitu membimbingku, layaknya
seorang kakak. Apa kau tahu? Hingga saat ini pun aku masih seperti anak kecil.
Belum bisa mengatasi diriku sendiri. Bahkan setelah mendengar kabar kematianmu,
aku masih bisa tertawa. Kabar yang kudengar dari temanku, tentang kecelakaan
yang terjadi padamu sepulang kau mengantarkanku. Semua terlalu tiba-tiba.
Bahkan aku tak sempat melihat jenazahmu. Aku justru sibuk tertawa di kamar. Tergelak
meski bulir air bening mengalun dari sudut mata. Menelan luka dalam
ketidakpercayaan. Semua yang kudengar bagiku hanya sekadar mimpi buruk. Aku
belum dapat menerima.
Setelah
lama membiarkan keegoisan batin mencengkeramku, kini aku mulai berdamai dengan
kenyataan. Meski ia akan membantingku, lalu menghadapkanku pada kepedihan yang
sempurna. Membuatku merintih dengan segala tuntutan mengapa kau harus pergi?
Dan kini aku harus menghadapi kenyataan ini sendiri? Seperti itukah kau peduli
padaku?
Rivaldi,
kau tahu betul aku ini pengecut. Aku tidak berani menghadapi masalahku
sendirian. Bahkan aku lebih memilih untuk mundur daripada harus memberitahu
orangtuaku tentang hal ini. Namun mengapa Tuhan masih saja tak mengerti? Ia
merenggutmu dariku di saat aku benar-benar membutuhkanmu. Mengapa kenyataan ini
begitu sulit? Begitu menyakitkan? Sekarang aku tahu betul bagaimana rasanya
putus asa. Kau tahu, benda apa saja yang ada di hadapanku sekarang? Laptop,
koran, dan pisau. Menurutmu di antara ketiga benda itu, manakah yang paling
tepat untukku? Kau tahu bukan, aku ini sedang putus asa? Jika kau ada di sini
pasti kau dapat membaca pikiranku dengan tepat. Di laptop inilah cerita ini
kurangkai. Dan kau tahu, koran tentang apa yang barusan kubaca? Tentang
anak-anak muda bejat seperti kita. Bahkan banyak dari mereka yang tidak
menginginkan kehadiran bayi mereka di bumi ini. Di sana tertulis, “Dari
penelitian WHO diperkirakan 20-60 persen aborsi di Indonesia adalah aborsi
disengaja (induced abortion). Kendati dilarang, praktik
aborsi di Indonesia tetap tinggi dan mencapai 2,5 juta kasus setiap tahunnya.”
Rivaldi,
aku benar-benar malu. Dulu ketika aku belum mengalaminya, kupikir mereka adalah
orang-orang tersesat. Yang tidak tahu aturan pergaulan. Yang tidak memiliki
kesusilaan. Yang tidak pernah menghargai kehidupan. Tapi sama sekali tidak
menyangka, ya? Sebelum ini aku begitu mudah mengatakannya, namun ternyata aku
sekarang menjadi salah satu anak muda yang tak tahu aturan pergaulan itu
sendiri. Keren, bukan? Sebuah kenyataan yang sulit dipercaya. Kini aku bisa
merasakan perasaan orang-orang yang putus asa itu. Ternyata kehidupan begitu
berat. Apalagi jika tidak ada yang mau menerima kehadiran ataupun mengenyahkan
kesalahan kita. Tidak ada seorang pun yang memberi motivasi. Tidak ada yang mau
menerima kebaikan kita sebagai perbuatan suci. Jika sudah begitu, aku menyerah.
Satu-satunya jalan yang terpikirkan hanyalah menyusulmu. Dengan begitu
lengkaplah sudah semua dosaku. Menggenggam hal hina, dan membunuh dua jiwa
sekaligus. Tidak lama lagi, semua akan segera berakhir. Mungkin hanya satu hal
yang ingin kusampaikan pada semua orang yang mengetahui cerita kita. Ada beberapa
kisah kehidupan yang terjadi tanpa dugaan sebelumnya. Dan aku adalah satu di
antara kenyataan dari suatu pemikiran instan tanpa menerobos bayangan masa
depan. Jangan pernah beranggapan bahwa kita bukan bagian dari mereka jika pada
kenyataannya kita lebih senang untuk mendekati daripada menjauhi api. Dan kini,
biarkan aku menjadi orang terakhir di muka bumi yang menyelam dalam
keputusasaan semacam ini!
Selamat
tinggal dunia! Salam, Afila.
The
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar