Mawar menutup
diarynya. Pandangannya kembali kosong. Sejenak ia menghela napas. Sementara
pikirannya mengambang di antara kata “iya” dan “tidak”. Ah, Mawar! Jangan
terlalu banyak berharap. Kau tahu betul Ari sangat mencintai Ify. Bagaimana
mungkin dia akan mencintaimu? Kalau pun iya tentu itu bukanlah cinta. Melainkan
hanya sekadar sayang, sebagai seorang teman lebih tepatnya. Adakah sebuah hati
yang terbagi menjadi dua? Kalau pun iya, tentu tidak akan sama rata. Dan jelas
sudah Ify lah menjadi pilihan pertamanya, paruhan hati yang lebih besar.
Pilihan yang diutamakan. Dan kau akan menjadi yang kedua.
***
“Enak nggak sih?”
Dua tegukan ia habiskan, tangan kanannya
segera menutup botol, lalu mengangguk cepat. “He em. Rasa apelnya asli.” jawab
Mawar mantap seraya kembali melangkah.
Arum mendengus. “Yakin lo? Minuman murah kek
gitu lo sebut asli? Beuh!” Tersungging sebuah cengiran di bibirnya. “Inget
pelajaran kimia kagak sih? Itu mah cuma essens, aroma buah. Terbuat dari
senyawa ester.”
Seiring kaki Mawar yang tiba-tiba berhenti
melangkah, matanya melebar. “He?!” Kini tawanya pecah. “Mau sok-sokan jadi anak
kimia lagi lo?”
“Loh, emang kita anak kimia, kan? Kalo nggak
salah...esternya buah apel itu...” Gadis itu tampak berpikir. “Metil butirat!”
Mawar mentautkan alisnya heran. “Masih aja
dibahas? Haah! Dasar!” katanya seraya kembali melangkah menuju tempat parkir.
Arum tersenyum kecil. Menyadari betapa asiknya
pelajaran yang bisa ia kaitkan dalam hal sehari-hari. Biasanya juga cuma
belajar di kelas, bosen ngapalin mulu. Kalau sering dihubungkan dengan hal di
luar pelajaran kan lumayan, bisa sambil nginget tanpa ada beban. Itung-itung
sok jadi ilmuan, haha. Mendadak pikiran Arum terhenti, bersamaan dengan senyum
gadis itu yang sekejap menghilang. Dari jarak belasan meter, matanya menangkap
sosok laki-laki jangkung yang tengah sibuk melerai kerumunan motor. Sepertinya
dia sedang membantu mengeluarkan motor gadis manis yang berdiri kaku di
sampingnya. “Itu Ari, kan?”
Seketika kepala Mawar menoleh, menemukan obyek
yang dimaksud. Ari, dan Ify. Seketika itu juga desiran-desiran hangat kembali
mengalir. Mungkin kali ini bukan desiran. Melainkan sengatan. Sengatan yang
benar-benar nyata dirasakannya. Tentu saja, mereka selalu begini. Hampir setiap
hari. Dan hampir setiap hari pula Mawar melihatnya. Seharusnya Mawar sadar, ia
akan terus sakit jika selalu menimbang pertanyaannya. Apakah Ari memang
menyanyanginya atau tidak? Ah, bodoh! Jelas cinta Ari hanya untuk Ify. Tapi
kenapa? Untuk apa perhatiannya selama ini? Tutur kata yang lembut juga hangat
selalu ia balut dalam perhatian yang begitu besar dalam pesan singkat yang
masuk ke ponselnya. Hampir setiap hari pula. Untuk apa Ari melakukannya? Pada
Mawar? Bukankah sudah ada Ify?
***
“Gue tuh tau betul, dia cuma sayang sama Ify.”
Mawar menatap nanar jendela kamarnya, lalu sejenak terdiam. Sementara Arum menyandarkan
punggungnya pada tepi jendela itu sambil melipat kedua tangan. Ditatapnya gadis
berambut panjang yang kini setengah melamun. Seribu pertanyaan dan
ketidakmengertian mungkin saja sedang berkecamuk di kepala Mawar. Arum memang
tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dipikirkan sahabatnya. Namun ia tahu
betul sakit yang tengah Mawar rasakan. Perih yang ia pendam. Semua terpancar
sempurna dari matanya. Mata itu berbicara.
Perlahan Arum berjalan mendekat, duduk di
samping Mawar. Ia menghela napas sesaat. “Apa yang buat lo seyakin itu?” tanya
Arum penasaran.
“Please deh Rum, jangan sok lola! Nggak ada
yang nggak tau kalau sejak kelas sebelas Ari udah ngejar-ngejar Ify.”
“Bukannya gitu. Yang gue tekankan kenapa lo
bisa yakin banget kalau Ari cuma sayang sama Ify? Hati orang siapa yang tau? Bisa
aja hati menyimpan dua nama.”
“Iya. Bahkan seribu nama pun bisa.” sanggah
Mawar. “Hanya saja nggak ada yang tingkatannya sama.”
“Siapa bilang?” cepat Arum menyahut. “Emang
nama nyokab sama bokap lo ada di tingkatan berbeda?” tanyanya. “Kalau dipaksa
buat ngorbanin salah satu dari mereka lo pasti bisa milih dengan cepat ya? Kan
tingkat cinta lo sama mereka berbeda! Waw, keren!”
Mawar membuang muka. Merasa terpojokkan. “Gue
tau, lo cuma mau besarin hati lo. Lo nggak mau berharap lebih, karena lo takut
bakal lebih sakit lagi. Iya, kan? Gue ngerti. Sorry, bukan maksud gue mojokin
lo. Gue cuma mau ngeyakinin lo kalau nggak ada salahnya buat tanya dia. Sekalipun
hasilnya nggak seperti yang lo harapkan. Toh Ify belum tentu juga sayang sama
Ari.”
Gadis itu tampak berpikir. Mawar menghela
napas. “Tapi Ify kan sahabat gue juga. Kalau Ari tau, kemungkinan Ify juga
bakal tau. Dan kalau Ify tau tentang perasaan gue ke Ari, gue takut dia bakal jauhin
Ari. Dengan maksud nggak mau nyakitin gue. Kalau kenyataannya kayak gitu, sama
aja gue jadi pemisah. Sama aja gue bakal nyakitin Ari. Dan sakitnya Ari adalah
sakit gue juga. Gue nggak pengen itu terjadi.” jelasnya lemah, membuat Arum
semakin prihatin dengan keadaan Mawar. “Lagian, gue yakin banget kalau Ari cuma
say—“
“Iya gue tau! Gue tau Ari sayang sama Ify!
Tapi bukan berarti lo nggak ada di hatinya juga.” ucap Arum tegas. Menjadikan Mawar
semakin berpikir. “Kalopun emang enggak, buat apa juga dia perhatian sama lo
selama ini? Yaa, walopun gue tau perhatian yang diberikan cuma lewat sms.
Sementara kalau di kelas kalian lebih cenderung diam-diaman, entah itu karena
jaga jarak ataupun malu. Tapi perhatian yang dia kasih nggak sekedar kayak
temen biasa kan? Apa maksudnya coba? Lo perlu beraniin diri buat tanya itu.
Soalnya kita juga tau, Ari bukan orang yang suka mempermainkan hati perempuan.”
“Gue tau lo nggak pengen Ify ngejauhin Ari.
Meski pada kenyataannya lo selalu sakit kalo ngliat mereka sedang berdua. Tapi
lo nggak boleh terus-terusan kayak gini. Cepat atau lambat bau bangkai pasti
tercium juga.”
Keduanya terdiam beberapa saat. Hening. Mawar
tahu apa yang dikatakan Arum memang tidak ada salahnya. Tapi... tetap saja
sulit. Bertanya pada Ari? Tak semudah seperti apa yang dikatakan. “Nggak tau
lah, Rum...”
***
Malam ini cukup dingin. Cukup untuk memaksa
tangan Arum merapatkan cardigannya. Gadis itu menarik napas panjang. Menikmati
suasana malam teras rumah seperti ini memang salah satu hal favoritnya. Sejenak
ia memandangi jalanan yang sepi. Matanya memang sedang tak sejurus dengan pikirannya
yang melayang-layang. Masalah apalagi kalau bukan masalah Mawar, sahabatnya.
Seolah apa yang dirasakan Mawar kini turut dirasakannya pula. Tidak! Arum tidak
akan membiarkan Mawar berlarut-larut dalam keresahan hatinya. Kalau pun Mawar
memang tidak ingin mengetahui apapun, biarkan Arum yang mengetahuinya. Toh Ari
juga sudah dianggapnya sebagai sahabat. Sejak kelas duabelas mereka bertiga
memang dekat. Mungkin berawal dari seringnya mereka berdua bertanya tentang
soal-soal eksak yang di-UAN-kan pada Ari. Ari memang termasuk cowok yang pandai
di kelas. Tapi dekat yang Arum rasakan pada Ari hanya sebatas sahabat. Tidak
lebih, seperti apa yang Mawar rasakan pada lelaki itu.
Sedetik kemudian tangannya meraih ponsel di
saku celananya. “Kira-kira kata yang tepat gimana ya?” desisnya seraya
menggigit bibir. “Emm, gini aja deh.”
Jk mmg km sdh mncintai ssorg, smntra ada org
lain berada di smpgmu, mka jgn buat dy mncntaimu dg cra mmbungakan hatinya.
Prhtianmu adlh umpan. Jk mmg tak berniat mmbuka hati, jgn biarkn dy trmakan akn
umpanmu. Krn dy akn ksakitan saat mnydri bhw kau tdk sdg brusaha mncntainya.
***
Bel pulang berdentang kencang. Seperti
biasanya dua sejoli itu segera menuju ke mushola, menunaikkan ibadah dzuhur.
Mereka berdua melepas sepatu dalam diam. Bergumul dengan pikiran masing-masing.
Arum belum memberitahunya. Ia memang sengaja melakukan itu. Entah kapan waktu
yang tepat untuk memberitahu Mawar tentang jawaban Ari yang didapatnya lewat
message semalam. Arum sendiri bingung.
“Aku masih belum punya niat buat tanya.”
tiba-tiba saja suara Mawar memecah pikiran Arum.
Gadis itu mengerti apa yang dimaksud Mawar. Maaf Ma... aku sudah tau semuanya, bisiknya
dalam hati.
“Rum!” ucap Mawar, membuat Arum menoleh cepat.
“Ari sama sekali nggak cerita apapun sama kamu?” tanyanya pelan dalam sorot
mata penuh harap. “Biasanya dia kan mau cerita banyak hal ke kamu.”
Arum diam. Pertanyaan Mawar seperti umpan
besar baginya. Kenapa perasaannya bisa sepeka itu? Atau mungkin ini jawaban
Tuhan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat?
“Rum! Jawab dong!”
“Eh?” suaranya terdengar ragu. “Emm, iya.”
jawabnya.
Sekejap mimik Mawar berubah. Matanya membulat
penuh tanya. Bibirnya sedikit terbuka, setengah tak percaya. “Beneran?!”
tanyanya bersemangat. “Gimana ceritanya?”
Arum hanya tersenyum tipis. Matanya seolah
mengisyaratkan sebuah teka-teki besar. “Gimana Rum?! Ceritain dong!” ucap Mawar
memburu.
“Solat dulu gih!” timpal Arum kemudian, seraya
berjalan menuju tempat wudhu, meninggalkan Mawar dalam tanda tanya besar.
***
“Rum, please!! Kasih tau dong, dia cerita
apa?” desak Mawar seusai solat, lalu membiarkan Arum duduk, hendak memakai
sepatunya. Seperti biasa, saat dirinya dibuat penasaran, gadis itu tidak pernah
bisa diam. Bahkan ketika sebelum solat pun dia masih terus merengek pada Arum. Dan
hingga detik ini, tidak sedikit pun rasa penasarannya berangsur lenyap.
Bibir Arum masih rapat. Sambil memakai sepatu,
gadis itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Paling asyik memang bikin
Mawar kayak gini, penasaran setengah mati. Arum ingin melihat sejauh mana
sahabatnya itu mau bersabar.
Mawar tak habis pikir. Sahabatnya yang satu
ini doyan banget bikin Mawar penasaran.
Bisa-bisanya dia membalas rengekan Mawar sedari tadi hanya dengan
senyuman? “Oke. Jadi gini cara lo, ha? Selama ini gue bingung dengan masalah
gue, sementara lo udah tau semuanya?” kata Mawar mulai terbawa emosi. “Bagus
ya? Itu yang namanya temen? Jahat banget lo jadi orang!”
“Oh, jadi gue jahat ya?” kata Arum masih menahan
senyum. “Semoga Allah membalas kejahatan gue deh.” tambahnya.
Layaknya dua orang yang beda pemikiran. Yang
satu nggak bisa sabar. Sementara yang satunya terlalu sabar menghadapi
ketidaksabaran. Melihat wajah Mawar yang penuh kejengkelan dan tanda tanya
malah semakin membuat Arum puas. Orang jahat katanya? Setelah semua yang
dilakukan Arum untuk membantu Mawar keluar dari masalah? Arum sama sekali nggak
tersinggung. Ikhlas lahir batin bisa dibilang orang jahat. Jarang-jarang ada
yang berani ngomong gitu. ;D
“Please Rum! Gue tuh bakal lebih lega kalo lo
mau cerita. Setidaknya gue udah nggak ada beban lagi tentang keraguan gue
selama ini.” pinta Mawar begitu memelas, bahkan nyaris menangis. “Please!”
Sekali lagi Arum tersenyum. “Iya. Gue tau. Lo
pikir gue bakal ngebiarin lo pulang dalam keadaan kayak gini? Penasaran
setengah mati, sementara nggak ada satu pun yang ada di samping lo, dan tau
betul tentang masalah lo. Bisa mati beneran lo nanti.” candanya membuat Mawar
kesal, tapi juga lega. Setidaknya Arum tidak benar-benar berusaha untuk tidak
memberitahunya.
“Trus, gimana?” Mawar kembali mendesak seraya
menggigit bibir bawahnya. Menunggu.
Arum berdehem. Lalu menghembuskan napas panjang.
Ia berikan jeda beberapa saat, membiarkan Mawar menyiapkan hatinya dengan
berbagai kemungkinan. “Dia hanya ingin menghargaimu.”
Mawar mengerutkan kening. “Maksudnya?” ucapnya
lirih. Suaranya nyaris tercekat akan kegugupan. Jantung itu kini kian
bergemuruh hebat. Tentu bukan hal kecil bagi Mawar untuk mendengarkan
penjelasan yang selama ini membuatnya gelisah. Dan sekarang adalah waktunya.
“Dia ingin menghargaimu. Membalas kebaikanmu.
Perhatian yang ia berikan layaknya seorang kekasih hanya untuk membuatmu
senang. Bukan berarti dia ingin mempermainkanmu. Hanya saja mungkin, dia kurang
tau bagaimana caranya berterimakasih. Tidak menyadari bahwa yang ia lakukan
selama ini bisa menyakitimu. Pada intinya, dia memang tetap mencintai Ify.
Namun bukan berarti namamu hanya omong kosong baginya. Kamu tetap menjadi salah
satu perempuan yang berarti di hatinya. Hanya saja nama Ify sudah datang lebih
dulu. Dan tentu saja tidak dengan mudah menggeser tempatnya dengan kehadiranmu.
Mungkin cintanya sudah mengakar, dan terlalu sulit untuk dicabut. Untuk itu,
dia mau minta maaf sama kamu.”
Hening. Untuk beberapa saat keduanya terdiam.
Arum tahu betul perasaan Mawar saat ini. Tidak bisa begitu saja dapat menerima
hal semacam ini. Membutuhkan beberapa detik untuk membiarkannya bernapas.
Menenangkan hati untuk memahami keadaan dan kenyataan.
Setelah beberapa saat menatap kosong halaman
mushola yang sepi, Mawar mulai mengangguk pelan. Masih dalam keadaan setengah
sadar, perlahan ia mulai tersenyum. Meski mungkin senyum itu terasa pahit
baginya, namun ia dapat merasakan kelegaan yang begitu besar. “Terimakasih Rum.
Terimakasih. Dengan begini aku bisa lega.” ucapnya kaku. “Dan mungkin, mulai
saat ini aku akan mencobanya. Mengalahkan perasaanku. Mungkin memang seharusnya
seperti itu.” Sekali lagi senyum pahit itu menghiasi bibirnya.
Arum turut tersenyum ragu. Tidak yakin yang
dilakukannya benar atau tidak. Tapi bagaimana pun juga, Arum tidak pernah dan
tidak ingin menyembunyikan sesuatu pun. Toh pada akhirnya Mawar akan mengetahui
semuanya. Lagipula dalam roda kehidupan sudah selayaknya hal ini terjadi.
Setiap orang tidak bisa memaksakan kehendak untuk selalu bahagia. Bagaimana pun
juga Mawar harus belajar untuk bertahan dalam kehidupan yang serbakeras.
Termasuk belajar untuk memahami hati. Mensyukuri kehadiran cinta di
tengah-tengah ketidakberdayaan rasa.
Perlahan Mawar menyandarkan kepalanya pada
bahu Arum. Hatinya masih terasa gamang. “Biarin aku bersandar sebentar.”
ucapnya lemah.
Arum mengerti. Ia akan membiarkan Mawar tetap
bersandar. Bahkan selama yang ia mau.
***
so sad :(
BalasHapusiya, ini true story loh..
BalasHapus