27 Januari 2017

Yang Tak Akan Terulang

Pada dasarnya, aku bukan tipe orang yang mudah menyesali apa yang sudah aku lakukan. Setiap hal yang terjadi, aku hampir selalu mencoba untuk mengambil hikmahnya. Termasuk hal negatif sekalipun. Misalkan, aku masuk sekolah non-favorit, apa aku menyesal? Tidak. Aku mencoba berpikir positif, setiap sekolah itu bagus. Kalau ada yang bilang, “Loh, bukannya dulu kamu dari sekolah favorit? Kok sekarang di sini?” Yaaa, it’s ok. Buktikan saja kalau kamu bisa berbuat lebih dari apa yang dia bayangkan. Kamu bisa merancangnya sekarang, dan membuktikannya di masa depan.

Untukmu, Malaikat Duniaku

Someone special? Gebetan? Pacar? Kayaknya nggak punya semua. Jadi, sekarang aku tahu, harus ditujukan kepada siapa (calon) surat ini.

Ketika aku di dekatnya, aku sering menulis tulisan semacam ini. Hingga ketika ia menemui secarik tulisanku yang terukir dengan penuh cinta tanpa sengaja *lebay, dapat aku pastikan air matanya yang suci akan lepas kontrol. Dan oke, karena sekarang aku sedang tidak di dekatnya, aku tidak tahu bagaimana menyampaikan surat ini, jadi... hanya bisa berharap semoga ia merasakan.

Hei, kau...
Baiklah, aku tahu aku tidak sopan. Tapi, entah kenapa, mungkin karena engkau terlalu pandai menyesuaikan diri denganku sehingga aku bisa begitu menganggapmu sebagai sahabat, meski pada kenyataannya kau lebih dari itu.
Apa kabar kau di sana? Semoga sehat. Semoga orang-orang di sekelilingmu senantiasa menaburkan senyum padamu sehingga kau selalu merasa bahagia.
Mmm, aku harap kau akan senang dengan kalimat ini. Kalimat sederhana yang hendak kusampaikan.

Tak Seperti yang Mereka Pikir

Kalem.
Banyak orang yang menilai seorang Eki itu kalem. Faktanya? Emm, yaa, ada benarnya juga sih. Tapi, banyak dari mereka yang mungkin belum tahu sifat Eki sebenarnya. Dia mempunyai dua kepribadian. Antara di dalam rumah, dan di luar rumah. Tahukah mereka? Saat kecil dulu, Eki menjadi seorang yang sangat pendiam di TK, tapi sangat galak di rumah? Bahkan teman bermainnya di rumah pun berani dibentak olehnya. Apakah itu bisa disebut cewek kalem? Kedua, Eki berani memegang kecoa, katak, atau hewan-hewan kecil lain yang mungkin banyak digilai (baca: ditakuti) perempuan pada umumnya. Untuk ukuran cewek kalem yang bersifat feminin, rasanya Eki tidak masuk dalam kategori ini. Ketiga, cewek kalem biasanya bertingkah santun dan tidak pecicilan, bukan? Baiklah, apa jadinya jika seorang cewek hobi menari dan dia sering melakukan gerakan-gerakan absurd dance di rumahnya? Bahkan mungkin banyak orang tidak akan mengira bahwa Eki pernah mengajar koreografi India yang ia buat sendiri pada anak-anak di kampungnya. Apakah masih bisa disebut kalem? Aku rasa tidak.

Pendiam.
Ini hampir sama dengan poin di atas. Tapi, apakah seorang Eki benar-benar pendiam? Baiklah, akan kubocorkan sesuatu. Eki akan diam ketika banyak orang berbicara dan dia akan berbicara ketika banyak orang diam. Mengerti maksudnya? Yaa, coba dibayangkan. Untuk fakta lebih dalam bisa tanya sahabat terdekat Eki dan adik kandungnya.

Kalimat yang Bikin Kuat

Eki, kau sudah melakukan yang terbaik. Apapun itu. Jangan pernah menyesali apa yang sudah kau lakukan. Jangan pernah iri dengan nasib dan keberuntungan orang lain. Jangan pernah memandang keberuntungan orang lain dari satu sisi. Ya, mungkin dia lebih cantik, wajahnya cerah sedangkan wajahmu berjerawat. Setiap lelaki memandangnya, sementara kau? Hanya jadi butiran debu. Berpikirlah positif, Kik. Suatu saat kau akan mendapat seseorang yang jauh lebih baik, yang tidak akan memandangmu dari segi fisik. Dia akan memandangmu dari tutur katamu, pemikiranmu, kebiasaanmu, akhlakmu, dan yang jelas... dia akan menerima kekuranganmu seperti halnya kau menerima kekurangannya.

Eki, kau sudah melakukan yang terbaik. Yaa meski anak-anak itu masih bandel dan tidak menggubrismu, tapi lihatlah! Setidaknya kau sudah berusaha. Bukankah kita hanya bisa berusaha sementara Tuhan yang menentukan? So, jangan sedih. Ini bukan karena kau tidak berhasil. Bagaimana mungkin kau akan bisa mengubah mereka dengan cepat sementara jam pertemuanmu dengan mereka hanya sedikit? Yang lebih berpengaruh adalah orangtua mereka. Kau sudah bagus, sudah berjuang sesuai kemampuanmu. Jadi, hapus air matamu, dan tersenyumlah. Allah sudah melihat semua yang kau lakukan. Kau akan diganjar dengan hal yang baik, percayalah.

Pare, Kediri, 27 Januari 2017.
Ditulis dalam rangka Kampus Fiksi Writing Challenge #10DaysKF.

23 Januari 2017

Seperti Itukah, Aku di Matamu?

Pernahkah kamu ada di posisi ketika kamu pandai Matematika namun gurumu memilih murid lain untuk mengikuti olimpiade hanya karena gurumu dekat dengan murid itu? Atau kamu yang merasa cantik secara alami namun temanmu selalu mengira bahwa kamu perawatan dengan biaya mahal atau malah operasi plastik? Atau kamu yang tulus menjadi sukarelawan organisasi sosial namun temanmu menudingmu sebagai orang yang hanya ingin meningkatkan pamor? Jika kamu pernah mengalami hal di atas, atau setidaknya memiliki kejadian yang mirip, aku tahu, pasti rasanya sakit banget, ya? Ya, kehidupan memang begitu, anak muda (*sok tua). Aku pun pernah mengalaminya.

Sebenarnya membutuhkan waktu sedikit lama (kurang lebih 15 menit) untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Kampus Fiksi Challenge hari ke 6 ini. Kira-kira kejadian apa yang membanggakan namun orang lain meremehkannya? Lumayan susah, karena sepertinya hal yang (mungkin) aku banggakan, alhamdulillah bisa diterima dan dihargai orang lain. Kalau ada yang tidak suka dan terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya, ya aku hargai juga. Itu hak dia. Tidak setiap orang harus menyukai kita beserta segala apa yang kita lakukan, bukan? Laudya Cynthia Bella yang punya banyak fans pun juga pasti memiliki haters. Kalaupun ada sesuatu yang dikritik, yaa jadikan itu bahan koreksi saja, barangkali memang kita yang perlu berbenah. Dan kalau hal yang diungkapkan itu menyakitkan, barangkali kita bisa memaafkan. Meski biasanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

22 Januari 2017

Film Favorit : Antara Fantasi, Logika, dan Hikmah

Oke, it’s time to talk about movie, yay? Kalau kemarin galau-galauan, kalau sekarang seru-seruan aja. Kata orang, film favorit itu menggambarkan karakter orang yang nonton. Yaa sebenarnya nggak cuma film sih, cara berpakaian, cara berbicara, buku favorit, warung atau cafe favorit, dan semua hal yang dilakukan itu bisa menggambarkan karakter atau sifat orang itu. Well, meskipun aku “orang timur” tapi aku nggak begitu suka berbasa-basi, so langsung aja to the point, 3 impressive movies in my notion is :

  •  Harry Potter
Kayaknya udah nggak diragukan lagi ya tentang film ini, nggak heran juga banyak yang suka. Alasannya apa? Of course, it is different than another one. Jarang ada kan, film fantasi yang bisa sampai 7 episode? Narnia aja cuma sampai 4. Ah ya, Star Wars sampai 12, ya? Tapi, berhubung aku belum pernah nonton Star Wars (kalau mau ngetawain aku tentang ini nggak pa-pa) jadi yaa belum bisa membandingkan. So cuma bisa bilang Harry Potter lah yang terbaik.

21 Januari 2017

Berawal dari Kamera

Pertemuan? Itu artinya harus siap juga dengan perpisahan. Kau bertemu dengan teman SMA-mu, pasti ada kalanya kau akan berpisah untuk melanjutkan karir masing-masing. Kau bekerja di sebuah perusahaan, bertemu dengan teman-teman sejawat, pasti ada kalanya berpisah ketika kau memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu. Pertemuan dengan keluarga? Ayah, ibu, anak, suami, istri, adik, kakak? Ada kalanya akan berpisah? Pasti. Entah mereka, atau kau duluan yang akan melayangkan kaki hingga terpisah dari bumi. Jadi, seperti itulah pertemuan. Ada baiknya menghargai pertemuan yang nantinya menjadi bibit sebuah perpisahan. Dan aku, menghargai pertemuanku denganmu... *uhuk.

Oke, jujur saja sebenarnya aku bingung siapa yang akan diceritakan dalam naskah ini. Tak satu pun, orang yang kini kuanggap spesial hingga harus kudeskripsikan kisahnya dalam rangkaian frase. Untuk saat ini. Aku sudah lelah. Lelah dengan permainan dunia yang terkadang melambungkan dan terkadang menjatuhkan. Terkadang membuat bahagia dan terkadang membuat nelangsa. Ada baiknya kunikmati saja dengan rata-rata, melihat segala gejolak kehidupan dari kacamata manusia biasa. Dan, baiklah, untuk memenuhi challenge dari Kampus Fiksi ini... aku akan mendeskripsikanmu. Menggelar cerita yang pernah ada di antara kita. Kau, seseorang yang bertahun-tahun mendekam, hingga tak pernah terbayang di otakku untuk memudarkan namamu.

Ini cerita anak muda. Kisah putih abu-abu seorang gadis remaja di tingkat pertama. Aku melihatmu, dan namamu. Sekilas. Kurasa aku harus berterimakasih pada panitia OSPEK yang sudah menyuruh kita membuat papan nama, sehingga aku bisa mengetahui namamu ketika kau lewat di depan kelasku. Ya, kita tidak sekelas, bukan? Tapi hei, aku tidak tahu apa yang sedang direncanakan Tuhan sehingga Ia sudi mempertemukanku denganmu di tingkat kedua SMA. Aku tidak menyangka kita bisa sekelas saat itu. Meski aku tak memiliki perasaan apapun padamu, selain sedikit rasa kagum atas karya Tuhan yang terlukis pada parasmu. Dan ya, aku sekadar mengenalmu sebagai sosok yang banyak dikagumi dan diketahui. Terlebih jabatanmu saat itu yang terpilih menjadi komandan pleton inti dan ketua OSIS. Kurasa seantero sekolah dari mulai adik kelas hingga tukang sapu sekolah pun tahu dirimu. Dan, oke... terpaksa aku harus semakin kagum padamu. Terlebih ketika kau sebagai sosok pemimpin yang mempunyai tanggung jawab besar, sering kali kulihat raut lelah di wajahmu saat pelajaran berlangsung. Mungkin kau sedang memikirkan kemajuan anggotamu? Namun di sisi lain, kau bisa juga bertingkah konyol dan heboh bersama anak-anak lelaki lainnya saat di kelas. Ketika jam kosong. Ya, kau memang pandai menempatkan diri.

Aku tak pernah berpikiran untuk mendekatimu, atau menjadi seseorang spesial di hatimu. Hingga suatu ketika kejadian itu tiba. Persoalan “handycame” yang ternyata menjadi sarana pendekat antara kau dan aku. Aku tahu, saat itu kau—yang tidak hanya menjabat ketua OSIS, melainkan juga ketua kelas—tengah berusaha bertanggungjawab atas kerusakan kameraku yang dipakai anak-anak sekelas untuk membuat tugas berupa film. Bolak-balik kau bersama satu temanmu mengantarku ke tempat reparasi handycame. Hingga tak sadar, hubungan kita semakin dekat kala itu. Seperti halnya pecandu kopi yang tak mau terlepas dari cangkirnya di malam hari, atau gamer yang tak bisa pisah dari komputer kesayangannya, kau... mulai menjadi candu. Dan aku... mulai terbuai nyaman denganmu. Terlebih komunikasi via dunia maya yang kapan saja bisa terjadi, semakin merekatkan kita. Kita mulai mendalami karakter satu sama lain, mulai tahu kebiasaan sehari-hari, mulai mengenal nama-nama orang terdekat, mulai mengerti sejarah apa saja yang pernah dialami, mulai paham siapa saja orang yang pernah ada dalam cerita kita, hingga begitu berpisah denganmu di awal kelas tiga, aku mulai menyadari perasaan aneh.

Kita sudah tidak satu ruang lagi. Orang bijak berkata, perasaan mendalam akan terasa ketika kau sudah tidak bersamanya lagi, maka kau bisa menyebut perasaan itu sebagai... rindu. Bolehkah aku sedikit lebay untuk menyebut ungkapan itu sebagai wakil dari perasaanku? Ya, aku rindu. Dan kurasa kau juga merasakan hal yang sama. Meski satu dua kali kita masih bertemu di koridor kelas, atau di musala sekolah, lalu kita saling tatap sekilas dengan tatapan ragu bercampur malu, seakan ada pesan yang tak tersampaikan. Hingga pada suatu kesempatan, kita bertemu di taman sekolah. Pertemuan yang disengaja. Kau menemuiku yang sudah lebih dulu duduk di kursi taman sambil menghadap laptop. Aku menatapmu sekilas, menangkap raut bahagia di sana. Begitu juga denganku. Aku sadar, senyumku dan senyummu masih terkontrol dengan baik. Kau mengawali pembicaraan dengan candaan ringan yang menyenangkan. Hingga beberapa detik kemudian, wajahmu mulai serius. Antara gugup dan takut. Kau mulai mengeluarkan kata-kata, tanpa menatapku sedikitpun. Wajahmu sedikit tertunduk. Hingga akhirnya keluarlah kata-kata yang begitu aku harapkan. Ungkapan perasaanmu padaku.

Kau tahu apa yang kurasakan saat itu? Jika ada trampolin di sana, mungkin aku sudah meloncat di trampolin itu hingga melebihi tinggi gedung sekolah. Oke, ini lebay. Aku tidak bisa menggambarkan seberapa bahagianya aku kala itu. Perasaan yang terpendam beberapa bulan akhirnya terjawab juga. Kau tahu apa yang terjadi padaku setelah itu? Aku menangis, di tempat wudhlu musala. Dramatis? Memang. Hei, usiaku masih 17. Mungkin kejadian akan berbeda ketika usiaku 25 tahun, aku tidak akan lagi menangis, melainkan langsung menanyaimu, “Jadi, kapan kita akan menikah?”

Dan ya, begitulah. Kau tahu? Kau orang pertama. Satu-satunya yang mengungkapkan perasaan seperti itu padaku. Mungkin aku pernah mendapati orang lain sebelumnya, namun... aku tidak menaruh hati. Sehingga, kaulah yang pertama, di mana kau dan aku memiliki rasa yang sama. Jadi, kini, biarkan aku memajang namamu dalam museum kebahagiaanku. Aku akan mengingatnya sambil meneguk secangkir susu hangat di pagi hari. Meski kini kau sudah bersama hati lain. :)

Pare, Kediri, 22 Januari 2017.
0.00