Someone special? Gebetan? Pacar? Kayaknya nggak punya semua. Jadi, sekarang aku tahu, harus ditujukan kepada siapa (calon) surat ini.
Ketika aku di dekatnya, aku sering menulis tulisan semacam ini. Hingga ketika ia menemui secarik tulisanku yang terukir dengan penuh cinta tanpa sengaja *lebay, dapat aku pastikan air matanya yang suci akan lepas kontrol. Dan oke, karena sekarang aku sedang tidak di dekatnya, aku tidak tahu bagaimana menyampaikan surat ini, jadi... hanya bisa berharap semoga ia merasakan.
Hei, kau...
Baiklah, aku tahu aku tidak sopan. Tapi, entah kenapa, mungkin karena engkau terlalu pandai menyesuaikan diri denganku sehingga aku bisa begitu menganggapmu sebagai sahabat, meski pada kenyataannya kau lebih dari itu.
Apa kabar kau di sana? Semoga sehat. Semoga orang-orang di sekelilingmu senantiasa menaburkan senyum padamu sehingga kau selalu merasa bahagia.
Mmm, aku harap kau akan senang dengan kalimat ini. Kalimat sederhana yang hendak kusampaikan.
Aku bersyukur, Tuhan begitu menyayangiku sehingga masih mengizinkanku bertemu malaikat sepertimu. Aku tahu, aku berlebihan—bak pembual. Kenyataannya, meski aku menganggapmu laksana malaikat, masih saja banyak aksi dari tangan, bibir, dan hatiku yang melukaimu. Tidak seharusnya aku begitu, bukan? Tapi dengarlah, wahai jiwa yang suci...
Aku hampir selalu menyesal setelah melakukannya. Diri ini serasa diliputi noktah hitam yang menggumpal tebal. Ingin rasanya mengungkap permohonan ampun, namun... tinggi hati rupanya berhasil membungkam.
Mungkin, detik ini, aku belum begitu membutuhkanmu. Sombong sekali, bukan? Tapi coba saja, di saat masalah demi masalah menghimpitku, hingga aku kehilangan semangat untuk melanjutkan kehidupan, siapa yang aku pikirkan pertama kali? Siapa yang ingin aku temui? Siapa yang ingin aku peluk saat itu juga?
Kau! Ya, aku hampir selalu memikirkanmu ketika aku dirundung banyak masalah. Egois, bukan? Mengingatmu hanya karena sedang ada masalah. Ya, aku tahu aku egois. Karena itu, aku sangat bersyukur karena kau masih mau menerimaku sekalipun sikapku masih kacau.
Tapi ketahuilah, aku akan menjadi orang yang paling nelangsa jika nanti kau pergi. Aku benci membayangkannya. Karena ketika itu juga aku tidak akan mampu menahan bendungan air mata. Bahkan ketika memimpikannya saat tidur sekalipun, tak pernah terlewatkan setitik air bening yang menetes di luar kesadaran. Kau tahu? Aku meramalkan... mungkin ketika besar nanti—ah ya, aku sekarang sudah besar, jadi... ketika aku berkeluarga nanti, mungkin aku akan menjadi sepertimu. Mengimitasi kesabaranmu. Bersahabat dengan permaisuri dan pangeran kecilku, sama seperti yang kau lakukan. Dan mungkin juga, aku akan menyambut di depan pintu ketika mereka pulang sekolah, sambil mengucap, “Selamat datang putri dan pangeranku. Senangkah dirimu hari ini?”
Atau, menanyai mereka saat sebelum tidur, “Menurutmu, ibu kurang gimana, Nak?”
Persis. Aku akan melakukannya—sama seperti yang kau lakukan.
Jadi, untukmu, malaikat duniaku...
Maukah kau melihatnya? Melihat kemampuanku menirukanmu? Jika iya, maka tunggu aku. Tunggu aku melakukannya. Hingga kau mengusapkan tangan sucimu pada wajahku sambil berkata, “Aku bangga padamu, Anakku.”
Pare, Kediri, 27 Januari 2017.
Eki Arum Khasanah (Eki Paradisi)
Ditulis dalam rangka Kampus Fiksi Writing Challenge #10DaysKF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar