21 Januari 2017

Berawal dari Kamera

Pertemuan? Itu artinya harus siap juga dengan perpisahan. Kau bertemu dengan teman SMA-mu, pasti ada kalanya kau akan berpisah untuk melanjutkan karir masing-masing. Kau bekerja di sebuah perusahaan, bertemu dengan teman-teman sejawat, pasti ada kalanya berpisah ketika kau memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu. Pertemuan dengan keluarga? Ayah, ibu, anak, suami, istri, adik, kakak? Ada kalanya akan berpisah? Pasti. Entah mereka, atau kau duluan yang akan melayangkan kaki hingga terpisah dari bumi. Jadi, seperti itulah pertemuan. Ada baiknya menghargai pertemuan yang nantinya menjadi bibit sebuah perpisahan. Dan aku, menghargai pertemuanku denganmu... *uhuk.

Oke, jujur saja sebenarnya aku bingung siapa yang akan diceritakan dalam naskah ini. Tak satu pun, orang yang kini kuanggap spesial hingga harus kudeskripsikan kisahnya dalam rangkaian frase. Untuk saat ini. Aku sudah lelah. Lelah dengan permainan dunia yang terkadang melambungkan dan terkadang menjatuhkan. Terkadang membuat bahagia dan terkadang membuat nelangsa. Ada baiknya kunikmati saja dengan rata-rata, melihat segala gejolak kehidupan dari kacamata manusia biasa. Dan, baiklah, untuk memenuhi challenge dari Kampus Fiksi ini... aku akan mendeskripsikanmu. Menggelar cerita yang pernah ada di antara kita. Kau, seseorang yang bertahun-tahun mendekam, hingga tak pernah terbayang di otakku untuk memudarkan namamu.

Ini cerita anak muda. Kisah putih abu-abu seorang gadis remaja di tingkat pertama. Aku melihatmu, dan namamu. Sekilas. Kurasa aku harus berterimakasih pada panitia OSPEK yang sudah menyuruh kita membuat papan nama, sehingga aku bisa mengetahui namamu ketika kau lewat di depan kelasku. Ya, kita tidak sekelas, bukan? Tapi hei, aku tidak tahu apa yang sedang direncanakan Tuhan sehingga Ia sudi mempertemukanku denganmu di tingkat kedua SMA. Aku tidak menyangka kita bisa sekelas saat itu. Meski aku tak memiliki perasaan apapun padamu, selain sedikit rasa kagum atas karya Tuhan yang terlukis pada parasmu. Dan ya, aku sekadar mengenalmu sebagai sosok yang banyak dikagumi dan diketahui. Terlebih jabatanmu saat itu yang terpilih menjadi komandan pleton inti dan ketua OSIS. Kurasa seantero sekolah dari mulai adik kelas hingga tukang sapu sekolah pun tahu dirimu. Dan, oke... terpaksa aku harus semakin kagum padamu. Terlebih ketika kau sebagai sosok pemimpin yang mempunyai tanggung jawab besar, sering kali kulihat raut lelah di wajahmu saat pelajaran berlangsung. Mungkin kau sedang memikirkan kemajuan anggotamu? Namun di sisi lain, kau bisa juga bertingkah konyol dan heboh bersama anak-anak lelaki lainnya saat di kelas. Ketika jam kosong. Ya, kau memang pandai menempatkan diri.

Aku tak pernah berpikiran untuk mendekatimu, atau menjadi seseorang spesial di hatimu. Hingga suatu ketika kejadian itu tiba. Persoalan “handycame” yang ternyata menjadi sarana pendekat antara kau dan aku. Aku tahu, saat itu kau—yang tidak hanya menjabat ketua OSIS, melainkan juga ketua kelas—tengah berusaha bertanggungjawab atas kerusakan kameraku yang dipakai anak-anak sekelas untuk membuat tugas berupa film. Bolak-balik kau bersama satu temanmu mengantarku ke tempat reparasi handycame. Hingga tak sadar, hubungan kita semakin dekat kala itu. Seperti halnya pecandu kopi yang tak mau terlepas dari cangkirnya di malam hari, atau gamer yang tak bisa pisah dari komputer kesayangannya, kau... mulai menjadi candu. Dan aku... mulai terbuai nyaman denganmu. Terlebih komunikasi via dunia maya yang kapan saja bisa terjadi, semakin merekatkan kita. Kita mulai mendalami karakter satu sama lain, mulai tahu kebiasaan sehari-hari, mulai mengenal nama-nama orang terdekat, mulai mengerti sejarah apa saja yang pernah dialami, mulai paham siapa saja orang yang pernah ada dalam cerita kita, hingga begitu berpisah denganmu di awal kelas tiga, aku mulai menyadari perasaan aneh.

Kita sudah tidak satu ruang lagi. Orang bijak berkata, perasaan mendalam akan terasa ketika kau sudah tidak bersamanya lagi, maka kau bisa menyebut perasaan itu sebagai... rindu. Bolehkah aku sedikit lebay untuk menyebut ungkapan itu sebagai wakil dari perasaanku? Ya, aku rindu. Dan kurasa kau juga merasakan hal yang sama. Meski satu dua kali kita masih bertemu di koridor kelas, atau di musala sekolah, lalu kita saling tatap sekilas dengan tatapan ragu bercampur malu, seakan ada pesan yang tak tersampaikan. Hingga pada suatu kesempatan, kita bertemu di taman sekolah. Pertemuan yang disengaja. Kau menemuiku yang sudah lebih dulu duduk di kursi taman sambil menghadap laptop. Aku menatapmu sekilas, menangkap raut bahagia di sana. Begitu juga denganku. Aku sadar, senyumku dan senyummu masih terkontrol dengan baik. Kau mengawali pembicaraan dengan candaan ringan yang menyenangkan. Hingga beberapa detik kemudian, wajahmu mulai serius. Antara gugup dan takut. Kau mulai mengeluarkan kata-kata, tanpa menatapku sedikitpun. Wajahmu sedikit tertunduk. Hingga akhirnya keluarlah kata-kata yang begitu aku harapkan. Ungkapan perasaanmu padaku.

Kau tahu apa yang kurasakan saat itu? Jika ada trampolin di sana, mungkin aku sudah meloncat di trampolin itu hingga melebihi tinggi gedung sekolah. Oke, ini lebay. Aku tidak bisa menggambarkan seberapa bahagianya aku kala itu. Perasaan yang terpendam beberapa bulan akhirnya terjawab juga. Kau tahu apa yang terjadi padaku setelah itu? Aku menangis, di tempat wudhlu musala. Dramatis? Memang. Hei, usiaku masih 17. Mungkin kejadian akan berbeda ketika usiaku 25 tahun, aku tidak akan lagi menangis, melainkan langsung menanyaimu, “Jadi, kapan kita akan menikah?”

Dan ya, begitulah. Kau tahu? Kau orang pertama. Satu-satunya yang mengungkapkan perasaan seperti itu padaku. Mungkin aku pernah mendapati orang lain sebelumnya, namun... aku tidak menaruh hati. Sehingga, kaulah yang pertama, di mana kau dan aku memiliki rasa yang sama. Jadi, kini, biarkan aku memajang namamu dalam museum kebahagiaanku. Aku akan mengingatnya sambil meneguk secangkir susu hangat di pagi hari. Meski kini kau sudah bersama hati lain. :)

Pare, Kediri, 22 Januari 2017.
0.00

2 komentar: