Pernahkah kamu ada di posisi ketika kamu pandai Matematika namun gurumu memilih murid lain untuk mengikuti olimpiade hanya karena gurumu dekat dengan murid itu? Atau kamu yang merasa cantik secara alami namun temanmu selalu mengira bahwa kamu perawatan dengan biaya mahal atau malah operasi plastik? Atau kamu yang tulus menjadi sukarelawan organisasi sosial namun temanmu menudingmu sebagai orang yang hanya ingin meningkatkan pamor? Jika kamu pernah mengalami hal di atas, atau setidaknya memiliki kejadian yang mirip, aku tahu, pasti rasanya sakit banget, ya? Ya, kehidupan memang begitu, anak muda (*sok tua). Aku pun pernah mengalaminya.
Sebenarnya membutuhkan waktu sedikit lama (kurang lebih 15 menit) untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Kampus Fiksi Challenge hari ke 6 ini. Kira-kira kejadian apa yang membanggakan namun orang lain meremehkannya? Lumayan susah, karena sepertinya hal yang (mungkin) aku banggakan, alhamdulillah bisa diterima dan dihargai orang lain. Kalau ada yang tidak suka dan terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya, ya aku hargai juga. Itu hak dia. Tidak setiap orang harus menyukai kita beserta segala apa yang kita lakukan, bukan? Laudya Cynthia Bella yang punya banyak fans pun juga pasti memiliki haters. Kalaupun ada sesuatu yang dikritik, yaa jadikan itu bahan koreksi saja, barangkali memang kita yang perlu berbenah. Dan kalau hal yang diungkapkan itu menyakitkan, barangkali kita bisa memaafkan. Meski biasanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Ada satu hal yang sebenarnya sudah berusaha aku lupakan, namun ternyata terlanjur membekas. Ketika itu aku sedang membuka messanger, lalu mendapati sebuah status temanku yang berisikan kata-kata kasar, dan itu membuatku prihatin. Aku ingin membantunya. Ya, ingin membantu mengingatkannya. Bukankah dalam Islam kita diajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan? Dan barangkali juga ia mau cerita padaku, karena aku lumayan dekat dengannya. Bagiku, membantu membawa teman ke arah yang lebih baik adalah sesuatu yang bisa kubanggakan. Seperti halnya seorang guru yang puas ketika bisa mencerdaskan muridnya. Atau seorang ustaz yang berhasil mengubah tingkah laku kurang baik santrinya. Tapi, tahukah kamu apa yang terjadi? Ketika kusapa dia lewat sebuah personal chat—hanya menyapa namanya—apa yang dia katakan?
Hmm, aku tidak bisa menjabarkannya secara detail di sini. Intinya, dia mengataiku dengan kata-kata kasar. Kamu tahu bagaimana reaksiku? Syok! In fact, dia teman baikku—teman yang aku anggap “baik” lebih tepatnya. Tapi mendengar makiannya, di mana dia menghina dan menjatuhkanku, aku jadi sangsi, seperti itukah seorang “aku” di matanya selama ini? Jadi, sikap baiknya selama ini, itu artinya apa? Baiklah, aku mulai baper. Intinya, saat itu aku benar-benar terpukul dan merasa sangat sesak. Aku menangis. Mataku merah—benar-benar merah. Bahkan ketika ibuku mendatangiku dan menanyakan kenapa aku menangis sampai tersedu-sedu, aku tidak bisa menjawabnya. Napasku seakan terikat. Kehabisan udara. Dan, oke, itu pengalaman pahit. Sebuah kejadian di mana kita ingin menjadi orang baik namun justru dipandang remeh oleh orang. Mungkin saat ini aku sudah tidak mempermasalahkannya. Hei, tahukah kamu? Kenyataannya, saat ini dia sudah berubah baik padaku :) Ya, ini hanya sebagai refleksi saja. Barangkali ketika kau ingin memandang remeh orang, kau bisa mengingat kebaikannya, atau mungkin niat baiknya melakukan itu. Bisa jadi kan, dia melakukannya karena dia peduli padamu. Kalau kata orang sih, bukan mereka yang diam saja ketika kau melakukan kesalahan, melainkan mereka yang menasihati, menanyai, dan memarahilah yang justru peduli padamu. Karena kepedulian tidak selalu berwujud pada senyuman, tapi juga omelan. :)
Pare, Kediri, 23 Januari 2017.
Pukul 21.38.
Ditulis dalam rangka Kampus Fiksi Writing Challenge #10DaysKF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar