Jujur,
aku suka hujan. Namun aku juga membencinya. Satu-satunya alasan kenapa aku
membencinya adalah kenyataan saat ini yang telah mengubah sejarah hidupku.
Menggeser segala tawa dengan jarum-jarum sesal. Semuanya kini adalah racun.
Bahkan sebiji kebaikan pun akan setara dengan seribu hal hina. Niat baikku tak akan
pernah ternilai lagi. Ketulusanku selalu ditandas dengan sapaan angin.
Penyesalanku hanya akan menjadi gembok dalam hidup, selamanya. Kini aku sama
sekali tak lebih berharga dari busukan sampah. Bahkan mungkin di mata kedua
orangtuaku jika mereka tahu.
10 Maret 2013
TWISTER
Suaranya benar-benar
membuatku harus menutup telinga dalam-dalam. Kuharap, ia tak akan mengulangi
kebiasaannya—berteriak di samping telinga orang lain—lagi padaku.
“Geser
sedikit woy! Liat orang mau foto nggak sih?”teriaknya lagi pada orang lain, dan
yang kali ini tidak lagi di samping telingaku, untunglah.
Aku
tahu semua itu sama sekali tidak bermaksud kasar. Ia memang terbiasa seperti
itu di kelas. Namanya Sandra. Dan dia adalah salah satu penghidup suasana di
kelasku, XI IPA 3. Hampir semua orang pernah tertawa dibuatnya.
Try
Mawar menutup
diarynya. Pandangannya kembali kosong. Sejenak ia menghela napas. Sementara
pikirannya mengambang di antara kata “iya” dan “tidak”. Ah, Mawar! Jangan
terlalu banyak berharap. Kau tahu betul Ari sangat mencintai Ify. Bagaimana
mungkin dia akan mencintaimu? Kalau pun iya tentu itu bukanlah cinta. Melainkan
hanya sekadar sayang, sebagai seorang teman lebih tepatnya. Adakah sebuah hati
yang terbagi menjadi dua? Kalau pun iya, tentu tidak akan sama rata. Dan jelas
sudah Ify lah menjadi pilihan pertamanya, paruhan hati yang lebih besar.
Pilihan yang diutamakan. Dan kau akan menjadi yang kedua.
***
Hope 2
Aku pernah bilang, aku tidak pernah dan tidak akan lagi percaya
pada harapan. Terlebih jika berhadapan dengan orang seperti Davis. Tidak akan
lagi.
Itu pernyataanku
dulu. Waktu itu aku ingat pasti betapa aku benar-benar serius dengan
perkataanku. Tapi sekarang? Aku malah mengingkarinya. Seolah ingkar itu begitu
mudah untuk diwujudkan. Seandainya aku bisa, akan kuhapus sekarang juga
pernyataan yang pernah terlontar itu. Karena kali ini aku lebih dari serius. Aku
sadar, harapan tidak harus selalu digantungkan di tangan orang lain.
***
Hope
Apa kau pernah
berharap? Aku yakin semua orang pernah. Begitu juga aku. Tapi itu dulu.
Sekarang tidak lagi. Aku sudah lelah dipermainkan oleh harapan. Aku tidak ingin
dan tidak akan berharap lagi. Terlebih pada seorang pengumbar harapan palsu.
Itu janjiku.
Mungkin
dia adalah jodohku. Atau mungkin juga tidak. Yang jelas hari itu aku terjatah
sial untuk sekelompok dengannya. Kurasa terlalu berlebihan saat aku mengatakan mungkin dia adalah jodohku. Dan aku
sangat menyesal telah mengatakannya pada diriku sendiri.
The Wish in Seventeen
Menunggu adalah hal
yang sangat membosankan. Begitu, kan? Memang, ungkapan itu ada benarnya. Namun
tidak untukku saat ini. Aku ingin menunggu. Menunggu agar jarum jam di dinding
itu berdetak seratus kali lebih lambat dari biasanya. Menunggu untuk waktu yang
tidak terlalu kuinginkan. 16 tahun menginjakkan kaki di bumi nan nelangsa ini,
rasanya akan berakhir satu masa dalam hidupku dan berganti dengan masa yang
baru. Tahap yang berbeda. Tahap dewasa.
***
Waiting
Layaknya sebuah pena, tinta yang kau alirkan
mampu memenuhi lembaran-lembaran hidupku. Menuliskan untaian kisah manis. Membuatku
terbang, melayang. Menggapai udara tanpa adanya gravitasi. Dan seperti itulah
kau, membiarkanku tetap berada di sana. Hingga aku tak dapat kembali, berpijak
pada bumiku yang dulu. Kau membiarkanku tergantung, terombang-ambing dalam
hamparan angin.
Langganan:
Postingan (Atom)