TAHAP FINAL
Sebelum melalui tahap demi tahap,
aku sempat browsing di internet dan menemukan sebuah blog yang bercerita
tentang pengalaman selama mengikuti seleksi PPAN di Jawa Timur sampai tahap
final. Dari situ aku jadi termotivasi untuk ikut, setidaknya bisa sampai final,
karena menurut yang aku baca, yang paling seru itu adalah sesi final (ada
karantinanya, meski tidak semua aturan di tiap propinsi sama). Syukur-syukur
kalau bisa lolos final dan menjadi wakil DIY.
PPAN Jogja 2018 memilih 16 orang
untuk maju di tahap final yang akan dikarantina selama 3 hari (tapi yang 1
mengundurkan diri, jadi tinggal 15). Alhamdulillah, aku salah satu diantaranya.
Pengalaman menarik dimulai saat sesi briefing pada Selasa 17 April 2018 jam 5
sore. Sebenarnya, jam 6 sorenya aku udah booking kereta ke Jakarta karena suatu
urusan. Tapi karena terpilih final ini, dan aku nggak pengen melewatkan momen
berharga ini, jadilah aku membatalkan tiket. Padahal sebelumnya aku udah
membatalkan 8 tiket kereta Jogja-Jakarta karena kendala beberapa hal. Nyesek
sih, tapi yaudah lah ya, buat pelajaran aja. Lanjuuut! Sesi briefing diawali
dengan ketegangan. Ya, aku rasa para panitia sengaja menciptakan suasana formal
nan tegang sore kala itu. Semua muka panitia—terutama yang ada di depan
kami—benar-benar flat. Tak ada senyum cerah menghiasi. Begitu briefing dibuka,
kami langsung disambut dengan kalimat seperti ini dari salah satu panitia :
“Kami hanya akan membacakan
aturan ini satu kali dan tidak ada pengulangan. Harap dengarkan baik-baik, dan
jika membutuhkan catatan kami persilakan mencatat.”
Mendengar kalimat itu aku
langsung ‘glek’, ya Tuhan, sesi tegang dimulai. Sebelumnya, berbekal ilmu dari
blog yang aku baca, aku sudah mempersiapkan mental untuk rangkaian acara final
yang pasti akan ada banyak tantangan. Salah satunya briefing kali ini yang
benar-benar seperti briefing sebuah kompetisi berbasis semi militer, di mana
aturannya sangat ketat. Kalau briefing mah biasanya santai ya, ada yang kelewat
pun bisa tanya lagi. Lah ini nggak ada pengulangan euy! Saat itu, aku segera
mengeluarkan HP untuk merekam apa yang disampaikan, dan juga sambil mencatat. Selesai
membacakan aturan main, kami diberikan kesempatan untuk bertanya. Namun
pertanyaan yang ditanyakan tidak boleh yang jawabannya sudah ada di aturan.
Jika itu terjadi, panitia hanya akan menjawab, “SAYA RASA SUDAH JELAS”. Yeah!
Kalimat “SAYA RASA SUDAH JELAS” menjadi trending topic sore itu karena menjadi jawaban beberapa pertanyaan yang
sebenarnya masih mengganjal, seperti apa itu stola? Jam berapa acara akan selesai? Dsb. Sebagian besar dari kami tidak tahu apa itu
stola, sehingga setelah briefing kami langsung browsing dan baru mengerti
ternyata itu semacam selendang kecil—kami disuruh membawa stola saat final. Juga
terkait jam, tidak disampaikan jam berapa acara karantina akan selesai. Yang
dijelaskan hanya tanggalnya saja, dan panitia tidak mau memberi tahu, sehingga
hanya dijawab “SAYA RASA SUDAH JELAS”.
Selesai briefing, kami langsung
kumpul per kelompok karena waktu itu kami dibagi menjadi dua kelompok untuk
tugas exhibition dan national presentation. Kelompok kami
sempat dibuat bingung tentang aturan yang national
presentation itu tugas kelompok atau individu. Tapi ya itu tadi, jawaban
dari panitia adalah “SAYA RASA SUDAH JELAS”. Jadilah kita mengira-ira dan tanya
ke kelompok lain. Akhirnya kami sepakat bahwa itu memang tugas kelompok. Untuk
exhibitonnya, kelompokku mendapat tugas ke Kampung Wisata Dipowinatan.
Sementara kelompok satunya ke Kampung Wisata Kotagede. Untuk kelompokku, malam
itu juga kami sepakat pergi ke Kampung Wisata Dipowinatan untuk survei,
sehingga keesokan harinya kami dapat langsung ambil gambar dan wawancara (jika
ada yang memungkinkan diwawancara). Alhamdulillah, begitu ada di kampung itu
sekitar pukul 8 malam, kami diantarkan oleh salah satu warga ke rumah
Koordinator kampung wisata itu. Namanya Bapak Sigit Istiyarto. Di rumah Pak
Sigit, kami mendapat banyak informasi terkait kampung itu. Tentang budayanya,
sejarahnya, wisatawan yang berkunjung, kekurangan dalam pengelolaan, dsb. Itulah
nantinya yang akan kita angkat di pameran. Karena ada yang bisa foto dan video,
kami ambil dua-duanya. Mbak Rizki yang ngerjain foto, aku yang ngerjain video.
Teman2 yang lain juga bantu ngedesain, ngehias, ada juga yang kebagian cari
stola.
Yang menjadikan pra-final ini
menantang itu, pengerjaannya dalam waktu singkat. Sama sih dengan semifinal,
kita cuma dikasih waktu beberapa hari aja buat ngerjain tugas-tugas. Iya kalau
tugasnya cuma satu nggak masalah, ya? Lha ini tugasnya ada tiga. Dua tugas
kelompok dan satu tugas individu. Dalam waktu tiga hari itu aku terus-terusan
ngehafalin lirik lagu Manuk Dadali, Rek Ayo Rek, sama Angin Mamiri, karena aku
kebagian tugas nyanyi bareng dua orang lainnya di national presentation nanti. Di kamar, di depan TV, di dapur, mau
ke masjid, isinya ngehafalin lirik itu. Sebenarnya kalau boleh jujur, pra-final
ini bebannya sedikit lebih enteng sih dari tugas semifinal. Soalnya kalau
semifinal itu aku bener-bener enggak tidur, full kerja terus! (eh tidur ding,
cuma sejam) Tapi kalau di tugas pra-final ini alhamdulillah masih punya
kesempatan buat istirahat.
Langsung lanjut ke karantina aja
yaa. Well, di sini aku pertama kalinya ngerasain sebuah kompetisi yang
bener-bener “berkelas” lah kalau aku bilang. Aturannya ketat. Seleksinya fair. Penilaiannya diambil dari berbagai
sisi, artinya nggak hanya kemampuan dari bidang tertentu aja yang dinilai, tapi
juga kemampuan di bidang yang lain. Untungnya HP nggak disita. Karena menurut
blog yang aku baca, seleksi yang di Jawa Timur itu HP peserta pada disita.
Di hari pertama, kami disambut
dengan instruksi bahasa Inggris dari panitia. Kami disuruh speech dadakan using English dengan topik tertentu—yang ditopiknya
itu ada gambarnya juga. Kalau kita mau ganti topiknya boleh, tapi maksimal cuma
sekali. Yang menyedihkan itu kalau udah ganti topik tapi nggak ngerti topiknya
apa. Tapi alhamdulillah, ternyata semua peserta bisa melewati ini dengan baik. Waktu
itu aku maju nomor 2. Nomor 1 nya mbak Rizki. Aku kebagian topik “Amazon Go”.
Karena aku nggak tahu sama sekali tentang “Amazon Go” (gambar di kertasnya itu orang
yang lagi melewati semacam gerbang buat nempelin koin atau kartu kayak di
stasiun gitu), akhirnya aku ganti topik. (setelah ditelusuri di Mbah Google,
ternyata Amazon Go itu adalah toko yang beroperasi tanpa kasir, jadi semua
serba otomatis, termasuk sistem pembayarannya). Alhamdulillah topik kedua aku
dapat tentang “Beauty Stereotype”. Terus ngomonglah aku selama 2 menit tentang
topik itu. Meski agak sedikit seret-seret—karena bahasa Inggrisku nggak
selancar bule—tapi alhamdulillah bisa terlewati sudah. Di antara banyak
penampilan, really, di sesi ini aku
nggak bisa menilai siapa yang terbaik. Semuanya keren-keren bingits! Totalitas!
Mereka pada jago bahasa Inggris dan public speaking.
Ujian kedua adalah penampilan
bakat individu. Ini dilakukan setelah maghrib. Menurutku ini adalah sesi paling
seru di antara sesi lainnya. Ya, karena di sini kita bisa lihat penampilan dan
bakat teman-teman lain, kita bisa ketawa-ketawa (karena hampir semua sesi
menurutku tegang terus suasananya), bisa ngakak juga bahkan kalau lagi lihat
temen dikerjain dan ditantang macam-macam sama panitia, *hihi, jahat yak?. Meskipun
punggung pegel juga karena harus duduk tegap sampe jam 2 malam. Yes, bener, jam
2 malam kita baru selesai. Setiap peserta dikasih jatah sekitar 30 menit untuk
tampil (sudah termasuk tantangan dari panitia), dan kita semua ada 15 peserta.
Ada yang tampil nari, fashion show, nyanyi, mendongeng, MC, reporting, menggambar,
praktik menanam, dan masih banyak lagi. Mereka semua keren! Ahli di bidangnya
masing-masing. Meski personally, I love Dewi’s performance so much...
Waktu itu aku tampil sebagai
presenter, tapi di dalamnya ceritanya aku juga live report sebagai reporter
yang melaporkan tentang acara seleksi final PPAN Jogja, dan jadi pesertanya
juga yang membawakan penampilan tari dan nembang Jawa. Jadilah aku gabungin
semua bakatku dalam satu paket. Tapi eh tapi, ternyata panitianya iseng kayak
pas tahap interview itu. Rencanaku yang udah aku susun rapi tiba-tiba
diacak-acak. Lagu yang aku tarikan diloncat-loncat. Dan mendadak aku disuruh
live report tentang acara dangdutan -_- Dan lagi, aku harus menyampaikan
laporan pakai bahasa Jawa, Krama Inggil -__- Akhirnya aku live report seadanya.
Alhamdulillah masih bisa pakai bahasa Krama, meski sedikit semrawut sih antara
Krama Inggil atau Krama Madya. Setelah live report, aku nyanyi tembang Caping
Gunung, salah satu lagu khas Jogja. Di tengah-tengah nyanyi, tiba-tiba aku
disuruh nyanyi lagu dangdut sambil joget -___- Berhubung aku nggak update musik
dangdut ya, taunya cuma lagu Oplosan yang dulu sempat beken itu, yaudah deh aku
nyanyi lagu Oplosan sambil joget. Teman-teman pada tepuk tangan. Entah itu
tepuk tangan karena terhibur atau karena appreciate for my “change” dari yang
tadinya ‘sok anggun’ mendadak jadi wanita biduan.
Tantangan belum selesai. Setelah
nyanyi dangdut, aku mendadak disuruh nari dengan musik yang sudah disediakan
panitia. Oke, aku ladenin. Dari mulai musik tradisional, musik dangdut, musik
bali, musik manca yang beat-nya cepet. Aku bertransformasi layaknya penari
berbagai genre. But actually I enjoyed that moment. Karena pada dasarnya aku
suka nari dan ngedance, so I did it as my passion. Begitu juga waktu aku
ditantang akting. Karena dulu aku pernah main teater dengan karakter galak,
kini aku ditantang suruh jadi karakter yang manja dan berlawanan dengan
karakterku dulu. Setelah akting, aku ditantang buat main alat musik. Aku
bilang, “Saya bisa main gitar. Tapi cuma satu lagu.”. Kata panitia nggak
masalah. Jadilah aku pinjam gitar Dewi dan nyanyi lagu D’masiv “Cinta Ini
Membunuhku”. Itu lagu yang dulu diwajibkan buat ujian kelas pas kelas musik di
SMP.
“Ada lagu lain yang bisa kamu
mainkan?” tanya panitia di waktu aku selesai memainkan gitar.
“Em, ada, tapi kuncinya lupa.
Yang saya tahu lagi cuma satu, yaitu lagunya Kuburan, itupun chordnya sama
kayak lagu D’masiv tadi dan cuma reff aja,” kataku.
Panitia pun mempersilakan untuk
mencoba, dan aku mulai menyanyikan pas bagian reff, “C, A minor, D minor, ke G,
ke C lagi, A minor, D minor, ke G, ke C lagi, A minor, D minor, ke G, ke C
lagi.”. “Yaa, kalau itu sih saya juga bisa,” kata panitia. Aku jawab, “Makanya
itu. Saya tadi kan bilang, saya bisanya cuma lagu itu dan pas reff aja.”
Tantangan yang paling berat
menurutku adalah disuruh stand up. Ya, aku sama sekali nggak bisa stand up
komedi dan belum pernah melakukan itu sebelumnya. Mana aku kalau nglucu suka
garing lagi. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku stand up sebisaku. Aku
menirukan gaya Dodit yang bermuka datar. Karena nggak punya ide cerita, aku pun
cuma cerita dengan ekspresi datar tentang acara seleksi PPAN ini. Harapanku
dengan wajahku yang datar mereka bisa ketawa ya, ternyata sama sekali enggak.
Bahkan aku udah bilang, “Ayo ketawa dong”, tetapi mereka tetep diem, cuma ada
beberapa yang ketawa terpaksa. Ah, emang dasarnya aku nggak bisa nglucu yak.
Menurutku ini yang paling awkward moment banget waktu itu.
Setelah selesai acara malam itu,
kami langsung tidur karena ngantuk poll. Esok harinya, tantangan demi tantangan
mulai berdatangan. Ada banyak ujian di hari itu. Mulai dari jadi event
organizer, sehingga kita harus mempersiapkan sebuah event untuk 4 orang klien
yang beda kepentingan. Tiap kelompok terdiri dari 4 orang dengan profesi 1
program coordinator, 1 design promotion, 1 human resource, 1 financial. Di sini
setiap kita diskusi ada yang ngawasin, mana ngawasinnya deket-deket pula.
Bahkan mungkin mereka tahu jelas apa yang sedang kita bicarain. Ini yang
sebenarnya bikin kurang nyaman sih, setiap gerak gerik kita jadi dipantau
terus, mana yang aktif, mana yang enggak. Lalu ada juga ujian mendirikan tenda,
terus national presentation dan exhibition. Lalu di akhir sesi kita disuruh
klarifikasi tentang semua yang kita kerjakan. Siapa leadernya, siapa yang
ngerjain ini itu, kamu kerja di bagian apa, dll. Ya intinya untuk menilai siapa
yang benar-benar banyak berkontribusi dan serius mengerjakan tugas.
Nah, malam harinya, ini adalah
yang benar-benar menguji mental. Puncak dari semua kegiatan. Karakter kita
dikupasi satu per satu di sini, di hadapan semua orang. Awalnya aku kira kita akan
ada peringatan hari kartini atau apa, karena kita disuruh pakai baju kebaya. Tapi
ternyata nggak ada hubungannya antara kebaya dengan sesi ini. Benar-benar jauh
dari ekspektasi. Satu per satu dari kami disuruh maju. Per orang sekitar 30
menitan untuk dikuliti karakternya. Kami ditanya apa motivasinya ikut PPAN,
kamu itu orangnya seperti apa, lalu juga diungkit beberapa kesalahan yang kami
lakukan selama proses seleksi. Intinya, ini adalah sesi paling menegangkan di
antara sesi lainnya. Karena batinku udah dag dig dug dag dig dug gak karuan,
aku putuskan untuk maju secepatnya biar cepat lega. Akhirnya aku maju nomor 3
kalau nggak salah. Di depan, aku benar-benar dibabat habis. Teman-temanku yang
lain juga begitu, mereka yang kelihatannya sudah benar dan baik-baik saja,
tetap saja dicari celah kesalahannya untuk memojokkan. Yaa mungkin niatnya baik
untuk memperbaiki karakter kami yak. Menurutku yang paling santai menjawab itu
adalah Mbak Prita. Dia masih bisa tersenyum, ketawa kecil, dan menjawab setiap
pertanyaan seakan tak ada beban. Seakan mengalir begitu saja. Sampai salah satu
jurinya ada yang bilang, “Prita, kamu itu sebenarnya bisa marah nggak sih?”.
Untuk pertanyaannya apa aja, yaa
biarkan itu menjadi secret kami yak. Tapi intinya, di sesi puncak ini kami
benar-benar dipertanyakan kelayakan dan kesiapannya untuk menjadi perwakilan
Jogja yang berangkat di acara PPAN. Acara malam itu lagi-lagi sampai dini hari.
Pukul 2 atau 3 dini hari ya, aku lupa.
Di hari selanjutnya, hari
terakhir, kami masih ditanyai tentang “siapa yang layak berangkat”. Tapi
suasana di hari terakhir ini benar-benar beda. Tak ada ketegangan sama sekali.
Semua panitia ramah dan menebar senyum. Bahkan karena perbedaan suasana yang
begitu mencolok ini aku sampai menangis. Ya, aku menangis terharu di hadapan
mereka karena merasa seakan beban beberapa hari lalu lepas sudah seketika.
Kebayang nggak sih, 2 minggu berjuang pol-polan, ngrelain waktu dan banyak hal,
lalu mental kita digodhog di tahap final dengan suasana formal dan persaingan yang
sangat ketat, bahkan duduk pun harus duduk formal sepanjang hari, lalu
tiba-tiba di hari terakhir kita diberi ruang untuk tersenyum dan melepas semua
beban? Tidak boleh ada ketegangan sama sekali? Menurutku itu adalah kesempatan
yang luar biasa. Seakan aku ingin memeluk dan berterimakasih pada panitia satu
per satu atas pengertiannya dengan memberikan ruang semacam ini. Tak elak, air
mata pun mengalir begitu saja bersama beban yang tersimpan.
Ya. Di hari ketiga adalah hari
yang benar-benar santai, sekaligus hari berderainya air mata massal. Kami
diputarkan video-video perjalanan para alumni. Kami juga diberikan kesempatan
untuk sharing kesan selama mengikuti seleksi PPAN. Bisa dikatakan, tidak ada
peserta yang tidak menangis di sesi sharing ini. Bahkan Fiha—yang aku katakan
sebagai jiwa laki-laki tapi nyangkut di raga perempuan—pun juga ikut menangis.
Ya, dia menangis setelah kusinggung tentang dirinya. See? Bagaimanapun Fiha
tetap perempuan :’) Selesai sharing, kami diinterogasi satu per satu. Interogasi
yang jauh lebih santai dari semalam. Intinya interogasi itu untuk mengetahui
karakter kami lebih dalam, yang mungkin tidak akan muncul di sesi semalam
karena tertutup kabut ketegangan. Bahkan di hari terakhir, kami memiliki waktu
tidur lebih lama. Seakan panitia mengerti bahwa kami butuh istirahat extra. Love
much deh buat panitia :’)
(Gambar 15 Finalis PPAN 2018 DIY)
Ini adalah sejarah yang mungkin
sampai tua tidak akan pernah aku lupakan. Ya, meskipun aku tidak terpilih untuk
berangkat, tapi aku mendapatkan banyak pengalaman berharga di seleksi ini.
Pengumuman yang lolos seleksi diumumkan beberapa hari kemudian. Fad terpilih
program SSEAYP (Jepang) dan Mbak Rizki program (AIYEP). Mereka memang pantas
mendapatkannya, ikhlas lillahita’ala mereka yang berangkat. Aku rasa satu
pelajaran yang bisa aku ambil. Aku tidak bisa menggunakan sloganku yang TALK
LESS DO MORE di seleksi ini. If you wanna be the winner, you have to TALK MORE
DO MORE. Ya, mungkin belum rejeki. Mungkin ada rejeki lain yang sedang menanti,
hehe. Kalau ditanya mau coba lagi tahun depan? Em, gimana ya, salah satu
persyaratannya adalah “belum menikah” e, haha. Yaa pikir tahun depan lah kalau
suasana dan status belum berubah yak :D
Ditulis di Karawang, Jawa Barat
(dalam perjalanan menuju impian).
Pukul 12.30 WIB.
Sebelumnya : Seleksi Semifinal PPAN, Dari Parangtritis ke Kaliurang
ohh jadi 15 org itu belum tentu berangkat yah kak harus diseleksi lagi. ok lah klo bgtu, thanks for sharing ur experience
BalasHapusIyaa, hehe. Sama-sama.
HapusTerimakasih sudah berbagai pengalaman nya kak. Sangat membantu
BalasHapusSama-sama, semoga bisa bermanfaat. :)
Hapusaku kira dari semua pengorbanan, kamu yang akan kepilih... salut atas semangat dan perjuangannya...tetap semangattt....
BalasHapushehe, iya, belum rezekinya. :) anyway terimakasih semangatnya.
Hapuswah kak ceritamu sungguh kak. doakan ya kak tahu ini aku ikut juga...
BalasHapus