13 Mei 2018

Seleksi Final PPAN 2018, Menegangkan! (PART 4)


TAHAP FINAL

Sebelum melalui tahap demi tahap, aku sempat browsing di internet dan menemukan sebuah blog yang bercerita tentang pengalaman selama mengikuti seleksi PPAN di Jawa Timur sampai tahap final. Dari situ aku jadi termotivasi untuk ikut, setidaknya bisa sampai final, karena menurut yang aku baca, yang paling seru itu adalah sesi final (ada karantinanya, meski tidak semua aturan di tiap propinsi sama). Syukur-syukur kalau bisa lolos final dan menjadi wakil DIY.

PPAN Jogja 2018 memilih 16 orang untuk maju di tahap final yang akan dikarantina selama 3 hari (tapi yang 1 mengundurkan diri, jadi tinggal 15). Alhamdulillah, aku salah satu diantaranya. Pengalaman menarik dimulai saat sesi briefing pada Selasa 17 April 2018 jam 5 sore. Sebenarnya, jam 6 sorenya aku udah booking kereta ke Jakarta karena suatu urusan. Tapi karena terpilih final ini, dan aku nggak pengen melewatkan momen berharga ini, jadilah aku membatalkan tiket. Padahal sebelumnya aku udah membatalkan 8 tiket kereta Jogja-Jakarta karena kendala beberapa hal. Nyesek sih, tapi yaudah lah ya, buat pelajaran aja. Lanjuuut! Sesi briefing diawali dengan ketegangan. Ya, aku rasa para panitia sengaja menciptakan suasana formal nan tegang sore kala itu. Semua muka panitia—terutama yang ada di depan kami—benar-benar flat. Tak ada senyum cerah menghiasi. Begitu briefing dibuka, kami langsung disambut dengan kalimat seperti ini dari salah satu panitia :
“Kami hanya akan membacakan aturan ini satu kali dan tidak ada pengulangan. Harap dengarkan baik-baik, dan jika membutuhkan catatan kami persilakan mencatat.”


Mendengar kalimat itu aku langsung ‘glek’, ya Tuhan, sesi tegang dimulai. Sebelumnya, berbekal ilmu dari blog yang aku baca, aku sudah mempersiapkan mental untuk rangkaian acara final yang pasti akan ada banyak tantangan. Salah satunya briefing kali ini yang benar-benar seperti briefing sebuah kompetisi berbasis semi militer, di mana aturannya sangat ketat. Kalau briefing mah biasanya santai ya, ada yang kelewat pun bisa tanya lagi. Lah ini nggak ada pengulangan euy! Saat itu, aku segera mengeluarkan HP untuk merekam apa yang disampaikan, dan juga sambil mencatat. Selesai membacakan aturan main, kami diberikan kesempatan untuk bertanya. Namun pertanyaan yang ditanyakan tidak boleh yang jawabannya sudah ada di aturan. Jika itu terjadi, panitia hanya akan menjawab, “SAYA RASA SUDAH JELAS”. Yeah! Kalimat “SAYA RASA SUDAH JELAS” menjadi trending topic sore itu karena  menjadi jawaban beberapa pertanyaan yang sebenarnya masih mengganjal, seperti apa itu stola?  Jam berapa acara akan selesai? Dsb.  Sebagian besar dari kami tidak tahu apa itu stola, sehingga setelah briefing kami langsung browsing dan baru mengerti ternyata itu semacam selendang kecil—kami disuruh membawa stola saat final. Juga terkait jam, tidak disampaikan jam berapa acara karantina akan selesai. Yang dijelaskan hanya tanggalnya saja, dan panitia tidak mau memberi tahu, sehingga hanya dijawab “SAYA RASA SUDAH JELAS”.

Selesai briefing, kami langsung kumpul per kelompok karena waktu itu kami dibagi menjadi dua kelompok untuk tugas exhibition dan national presentation. Kelompok kami sempat dibuat bingung tentang aturan yang national presentation itu tugas kelompok atau individu. Tapi ya itu tadi, jawaban dari panitia adalah “SAYA RASA SUDAH JELAS”. Jadilah kita mengira-ira dan tanya ke kelompok lain. Akhirnya kami sepakat bahwa itu memang tugas kelompok. Untuk exhibitonnya, kelompokku mendapat tugas ke Kampung Wisata Dipowinatan. Sementara kelompok satunya ke Kampung Wisata Kotagede. Untuk kelompokku, malam itu juga kami sepakat pergi ke Kampung Wisata Dipowinatan untuk survei, sehingga keesokan harinya kami dapat langsung ambil gambar dan wawancara (jika ada yang memungkinkan diwawancara). Alhamdulillah, begitu ada di kampung itu sekitar pukul 8 malam, kami diantarkan oleh salah satu warga ke rumah Koordinator kampung wisata itu. Namanya Bapak Sigit Istiyarto. Di rumah Pak Sigit, kami mendapat banyak informasi terkait kampung itu. Tentang budayanya, sejarahnya, wisatawan yang berkunjung, kekurangan dalam pengelolaan, dsb. Itulah nantinya yang akan kita angkat di pameran. Karena ada yang bisa foto dan video, kami ambil dua-duanya. Mbak Rizki yang ngerjain foto, aku yang ngerjain video. Teman2 yang lain juga bantu ngedesain, ngehias, ada juga yang kebagian cari stola.

Yang menjadikan pra-final ini menantang itu, pengerjaannya dalam waktu singkat. Sama sih dengan semifinal, kita cuma dikasih waktu beberapa hari aja buat ngerjain tugas-tugas. Iya kalau tugasnya cuma satu nggak masalah, ya? Lha ini tugasnya ada tiga. Dua tugas kelompok dan satu tugas individu. Dalam waktu tiga hari itu aku terus-terusan ngehafalin lirik lagu Manuk Dadali, Rek Ayo Rek, sama Angin Mamiri, karena aku kebagian tugas nyanyi bareng dua orang lainnya di national presentation nanti. Di kamar, di depan TV, di dapur, mau ke masjid, isinya ngehafalin lirik itu. Sebenarnya kalau boleh jujur, pra-final ini bebannya sedikit lebih enteng sih dari tugas semifinal. Soalnya kalau semifinal itu aku bener-bener enggak tidur, full kerja terus! (eh tidur ding, cuma sejam) Tapi kalau di tugas pra-final ini alhamdulillah masih punya kesempatan buat istirahat.
Langsung lanjut ke karantina aja yaa. Well, di sini aku pertama kalinya ngerasain sebuah kompetisi yang bener-bener “berkelas” lah kalau aku bilang. Aturannya ketat. Seleksinya fair. Penilaiannya diambil dari berbagai sisi, artinya nggak hanya kemampuan dari bidang tertentu aja yang dinilai, tapi juga kemampuan di bidang yang lain. Untungnya HP nggak disita. Karena menurut blog yang aku baca, seleksi yang di Jawa Timur itu HP peserta pada disita.

Di hari pertama, kami disambut dengan instruksi bahasa Inggris dari panitia. Kami disuruh speech dadakan using English dengan topik tertentu—yang ditopiknya itu ada gambarnya juga. Kalau kita mau ganti topiknya boleh, tapi maksimal cuma sekali. Yang menyedihkan itu kalau udah ganti topik tapi nggak ngerti topiknya apa. Tapi alhamdulillah, ternyata semua peserta bisa melewati ini dengan baik. Waktu itu aku maju nomor 2. Nomor 1 nya mbak Rizki. Aku kebagian topik “Amazon Go”. Karena aku nggak tahu sama sekali tentang “Amazon Go” (gambar di kertasnya itu orang yang lagi melewati semacam gerbang buat nempelin koin atau kartu kayak di stasiun gitu), akhirnya aku ganti topik. (setelah ditelusuri di Mbah Google, ternyata Amazon Go itu adalah toko yang beroperasi tanpa kasir, jadi semua serba otomatis, termasuk sistem pembayarannya). Alhamdulillah topik kedua aku dapat tentang “Beauty Stereotype”. Terus ngomonglah aku selama 2 menit tentang topik itu. Meski agak sedikit seret-seret—karena bahasa Inggrisku nggak selancar bule—tapi alhamdulillah bisa terlewati sudah. Di antara banyak penampilan, really, di sesi ini aku nggak bisa menilai siapa yang terbaik. Semuanya keren-keren bingits! Totalitas! Mereka pada jago bahasa Inggris dan public speaking.

Ujian kedua adalah penampilan bakat individu. Ini dilakukan setelah maghrib. Menurutku ini adalah sesi paling seru di antara sesi lainnya. Ya, karena di sini kita bisa lihat penampilan dan bakat teman-teman lain, kita bisa ketawa-ketawa (karena hampir semua sesi menurutku tegang terus suasananya), bisa ngakak juga bahkan kalau lagi lihat temen dikerjain dan ditantang macam-macam sama panitia, *hihi, jahat yak?. Meskipun punggung pegel juga karena harus duduk tegap sampe jam 2 malam. Yes, bener, jam 2 malam kita baru selesai. Setiap peserta dikasih jatah sekitar 30 menit untuk tampil (sudah termasuk tantangan dari panitia), dan kita semua ada 15 peserta. Ada yang tampil nari, fashion show, nyanyi, mendongeng, MC, reporting, menggambar, praktik menanam, dan masih banyak lagi. Mereka semua keren! Ahli di bidangnya masing-masing. Meski personally, I love Dewi’s performance so much...

Waktu itu aku tampil sebagai presenter, tapi di dalamnya ceritanya aku juga live report sebagai reporter yang melaporkan tentang acara seleksi final PPAN Jogja, dan jadi pesertanya juga yang membawakan penampilan tari dan nembang Jawa. Jadilah aku gabungin semua bakatku dalam satu paket. Tapi eh tapi, ternyata panitianya iseng kayak pas tahap interview itu. Rencanaku yang udah aku susun rapi tiba-tiba diacak-acak. Lagu yang aku tarikan diloncat-loncat. Dan mendadak aku disuruh live report tentang acara dangdutan -_- Dan lagi, aku harus menyampaikan laporan pakai bahasa Jawa, Krama Inggil -__- Akhirnya aku live report seadanya. Alhamdulillah masih bisa pakai bahasa Krama, meski sedikit semrawut sih antara Krama Inggil atau Krama Madya. Setelah live report, aku nyanyi tembang Caping Gunung, salah satu lagu khas Jogja. Di tengah-tengah nyanyi, tiba-tiba aku disuruh nyanyi lagu dangdut sambil joget -___- Berhubung aku nggak update musik dangdut ya, taunya cuma lagu Oplosan yang dulu sempat beken itu, yaudah deh aku nyanyi lagu Oplosan sambil joget. Teman-teman pada tepuk tangan. Entah itu tepuk tangan karena terhibur atau karena appreciate for my “change” dari yang tadinya ‘sok anggun’ mendadak jadi wanita biduan.

Tantangan belum selesai. Setelah nyanyi dangdut, aku mendadak disuruh nari dengan musik yang sudah disediakan panitia. Oke, aku ladenin. Dari mulai musik tradisional, musik dangdut, musik bali, musik manca yang beat-nya cepet. Aku bertransformasi layaknya penari berbagai genre. But actually I enjoyed that moment. Karena pada dasarnya aku suka nari dan ngedance, so I did it as my passion. Begitu juga waktu aku ditantang akting. Karena dulu aku pernah main teater dengan karakter galak, kini aku ditantang suruh jadi karakter yang manja dan berlawanan dengan karakterku dulu. Setelah akting, aku ditantang buat main alat musik. Aku bilang, “Saya bisa main gitar. Tapi cuma satu lagu.”. Kata panitia nggak masalah. Jadilah aku pinjam gitar Dewi dan nyanyi lagu D’masiv “Cinta Ini Membunuhku”. Itu lagu yang dulu diwajibkan buat ujian kelas pas kelas musik di SMP.
“Ada lagu lain yang bisa kamu mainkan?” tanya panitia di waktu aku selesai memainkan gitar.
“Em, ada, tapi kuncinya lupa. Yang saya tahu lagi cuma satu, yaitu lagunya Kuburan, itupun chordnya sama kayak lagu D’masiv tadi dan cuma reff aja,” kataku.
Panitia pun mempersilakan untuk mencoba, dan aku mulai menyanyikan pas bagian reff, “C, A minor, D minor, ke G, ke C lagi, A minor, D minor, ke G, ke C lagi, A minor, D minor, ke G, ke C lagi.”. “Yaa, kalau itu sih saya juga bisa,” kata panitia. Aku jawab, “Makanya itu. Saya tadi kan bilang, saya bisanya cuma lagu itu dan pas reff aja.”

Tantangan yang paling berat menurutku adalah disuruh stand up. Ya, aku sama sekali nggak bisa stand up komedi dan belum pernah melakukan itu sebelumnya. Mana aku kalau nglucu suka garing lagi. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku stand up sebisaku. Aku menirukan gaya Dodit yang bermuka datar. Karena nggak punya ide cerita, aku pun cuma cerita dengan ekspresi datar tentang acara seleksi PPAN ini. Harapanku dengan wajahku yang datar mereka bisa ketawa ya, ternyata sama sekali enggak. Bahkan aku udah bilang, “Ayo ketawa dong”, tetapi mereka tetep diem, cuma ada beberapa yang ketawa terpaksa. Ah, emang dasarnya aku nggak bisa nglucu yak. Menurutku ini yang paling awkward moment banget waktu itu.

Setelah selesai acara malam itu, kami langsung tidur karena ngantuk poll. Esok harinya, tantangan demi tantangan mulai berdatangan. Ada banyak ujian di hari itu. Mulai dari jadi event organizer, sehingga kita harus mempersiapkan sebuah event untuk 4 orang klien yang beda kepentingan. Tiap kelompok terdiri dari 4 orang dengan profesi 1 program coordinator, 1 design promotion, 1 human resource, 1 financial. Di sini setiap kita diskusi ada yang ngawasin, mana ngawasinnya deket-deket pula. Bahkan mungkin mereka tahu jelas apa yang sedang kita bicarain. Ini yang sebenarnya bikin kurang nyaman sih, setiap gerak gerik kita jadi dipantau terus, mana yang aktif, mana yang enggak. Lalu ada juga ujian mendirikan tenda, terus national presentation dan exhibition. Lalu di akhir sesi kita disuruh klarifikasi tentang semua yang kita kerjakan. Siapa leadernya, siapa yang ngerjain ini itu, kamu kerja di bagian apa, dll. Ya intinya untuk menilai siapa yang benar-benar banyak berkontribusi dan serius mengerjakan tugas.

Nah, malam harinya, ini adalah yang benar-benar menguji mental. Puncak dari semua kegiatan. Karakter kita dikupasi satu per satu di sini, di hadapan semua orang. Awalnya aku kira kita akan ada peringatan hari kartini atau apa, karena kita disuruh pakai baju kebaya. Tapi ternyata nggak ada hubungannya antara kebaya dengan sesi ini. Benar-benar jauh dari ekspektasi. Satu per satu dari kami disuruh maju. Per orang sekitar 30 menitan untuk dikuliti karakternya. Kami ditanya apa motivasinya ikut PPAN, kamu itu orangnya seperti apa, lalu juga diungkit beberapa kesalahan yang kami lakukan selama proses seleksi. Intinya, ini adalah sesi paling menegangkan di antara sesi lainnya. Karena batinku udah dag dig dug dag dig dug gak karuan, aku putuskan untuk maju secepatnya biar cepat lega. Akhirnya aku maju nomor 3 kalau nggak salah. Di depan, aku benar-benar dibabat habis. Teman-temanku yang lain juga begitu, mereka yang kelihatannya sudah benar dan baik-baik saja, tetap saja dicari celah kesalahannya untuk memojokkan. Yaa mungkin niatnya baik untuk memperbaiki karakter kami yak. Menurutku yang paling santai menjawab itu adalah Mbak Prita. Dia masih bisa tersenyum, ketawa kecil, dan menjawab setiap pertanyaan seakan tak ada beban. Seakan mengalir begitu saja. Sampai salah satu jurinya ada yang bilang, “Prita, kamu itu sebenarnya bisa marah nggak sih?”.

Untuk pertanyaannya apa aja, yaa biarkan itu menjadi secret kami yak. Tapi intinya, di sesi puncak ini kami benar-benar dipertanyakan kelayakan dan kesiapannya untuk menjadi perwakilan Jogja yang berangkat di acara PPAN. Acara malam itu lagi-lagi sampai dini hari. Pukul 2 atau 3 dini hari ya, aku lupa.

Di hari selanjutnya, hari terakhir, kami masih ditanyai tentang “siapa yang layak berangkat”. Tapi suasana di hari terakhir ini benar-benar beda. Tak ada ketegangan sama sekali. Semua panitia ramah dan menebar senyum. Bahkan karena perbedaan suasana yang begitu mencolok ini aku sampai menangis. Ya, aku menangis terharu di hadapan mereka karena merasa seakan beban beberapa hari lalu lepas sudah seketika. Kebayang nggak sih, 2 minggu berjuang pol-polan, ngrelain waktu dan banyak hal, lalu mental kita digodhog di tahap final dengan suasana formal dan persaingan yang sangat ketat, bahkan duduk pun harus duduk formal sepanjang hari, lalu tiba-tiba di hari terakhir kita diberi ruang untuk tersenyum dan melepas semua beban? Tidak boleh ada ketegangan sama sekali? Menurutku itu adalah kesempatan yang luar biasa. Seakan aku ingin memeluk dan berterimakasih pada panitia satu per satu atas pengertiannya dengan memberikan ruang semacam ini. Tak elak, air mata pun mengalir begitu saja bersama beban yang tersimpan.

Ya. Di hari ketiga adalah hari yang benar-benar santai, sekaligus hari berderainya air mata massal. Kami diputarkan video-video perjalanan para alumni. Kami juga diberikan kesempatan untuk sharing kesan selama mengikuti seleksi PPAN. Bisa dikatakan, tidak ada peserta yang tidak menangis di sesi sharing ini. Bahkan Fiha—yang aku katakan sebagai jiwa laki-laki tapi nyangkut di raga perempuan—pun juga ikut menangis. Ya, dia menangis setelah kusinggung tentang dirinya. See? Bagaimanapun Fiha tetap perempuan :’) Selesai sharing, kami diinterogasi satu per satu. Interogasi yang jauh lebih santai dari semalam. Intinya interogasi itu untuk mengetahui karakter kami lebih dalam, yang mungkin tidak akan muncul di sesi semalam karena tertutup kabut ketegangan. Bahkan di hari terakhir, kami memiliki waktu tidur lebih lama. Seakan panitia mengerti bahwa kami butuh istirahat extra. Love much deh buat panitia :’)

(Gambar 15 Finalis PPAN 2018 DIY)

Ini adalah sejarah yang mungkin sampai tua tidak akan pernah aku lupakan. Ya, meskipun aku tidak terpilih untuk berangkat, tapi aku mendapatkan banyak pengalaman berharga di seleksi ini. Pengumuman yang lolos seleksi diumumkan beberapa hari kemudian. Fad terpilih program SSEAYP (Jepang) dan Mbak Rizki program (AIYEP). Mereka memang pantas mendapatkannya, ikhlas lillahita’ala mereka yang berangkat. Aku rasa satu pelajaran yang bisa aku ambil. Aku tidak bisa menggunakan sloganku yang TALK LESS DO MORE di seleksi ini. If you wanna be the winner, you have to TALK MORE DO MORE. Ya, mungkin belum rejeki. Mungkin ada rejeki lain yang sedang menanti, hehe. Kalau ditanya mau coba lagi tahun depan? Em, gimana ya, salah satu persyaratannya adalah “belum menikah” e, haha. Yaa pikir tahun depan lah kalau suasana dan status belum berubah yak :D

Ditulis di Karawang, Jawa Barat (dalam perjalanan menuju impian).
Pukul 12.30 WIB.


Sebelumnya : Seleksi Semifinal PPAN, Dari Parangtritis ke Kaliurang

7 komentar:

  1. ohh jadi 15 org itu belum tentu berangkat yah kak harus diseleksi lagi. ok lah klo bgtu, thanks for sharing ur experience

    BalasHapus
  2. Terimakasih sudah berbagai pengalaman nya kak. Sangat membantu

    BalasHapus
  3. aku kira dari semua pengorbanan, kamu yang akan kepilih... salut atas semangat dan perjuangannya...tetap semangattt....

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, iya, belum rezekinya. :) anyway terimakasih semangatnya.

      Hapus
  4. wah kak ceritamu sungguh kak. doakan ya kak tahu ini aku ikut juga...

    BalasHapus