1 Agustus 2017

CURHAT : SURUH LEPAS JILBAB!

Hai laptop. Kali ini aku selingkuh. Maaf ASUS, aku selingkuh pada LENOVO. Habis kamu udah sakit-sakitan. Aku niatnya sih setia. Tapi kamu sakit terus, aku takut sakitmu tambah parah. Jadi biarkan aku selingkuh pada LENOVO saat ini. Tenang, kau tetap di hatiku. Enam tahun kita bersama, tak akan kulupa begitu saja.

Dan kini LENOVO, bekerjasamalah denganku. Jadilah seperti ASUS-ku, yg setia mendengarkan curhatanku.

Jadi, hari ini aku kembali merenung soal jilbab. Tepat malam tadi, untuk ketiga kalinya aku ditanya tentang jilbab, dan kurang lebih isinya begini, “Kamu beneran pakai jilbab? Tidak bisakah di lepas?”
Ya, ini ketiga kalinya. Tiga kali dalam hidupku yang akan aku ingat selalu.


Pertama, saat paskibraka. Saat itu hari di mana kami gladi kotor untuk upacara peringatan kemerdekaan RI tingkat kecamatan. Selesai gladi kotor, sambil duduk di hamparan rumput sore hari, pembimbingku mengajakku dan satu temanku berbicara. Ia kembali menanyai kami tentang jilbab, karena hanya kami berdua yg tidak mau melepas jilbab di antara teman-teman yg lain. Kata-kata yang masih sangat kuingat jelas adalah, “Kamu, tidak mau melepas jilbab, karena keinginanmu sendiri, atau dilarang orangtuamu?” Kata-kata yang terpatri jelas dalam ingatan. Ketentuan dalam paskibraka tahun itu, untuk menjaga kekompakan tim, kita diperintahkan untuk tidak berjilbab. Awalnya memang diperbolehkan, hingga aku masih mau bertahan. Tapi entah kenapa, kok di akhir latihan ini pembimbingku jadi mengubah keputusan. Hingga akhirnya, detik itu aku memutuskan untuk mundur dari barisan. Aku mengundurkan diri. Lebih baik tidak ikut paskib daripada harus dipaksa lepas jilbab. Padahal keesokan harinya sudah gladi bersih. Padahal dua hari lagi pengibaran bendera, hari yang ditunggu-tunggu. Padahal sudah latihan 15 hari hingga wajah gosong song song. Kecuali wajahku, bukan gosong. Tapi belang. Ya, belang karena jilbab.

Kedua, masih kejadian semasa SMA. Waktu itu ada pemilihan model lotion (kalau tidak salah). Seingatku, aku hampir terpilih. Tapi kemudian panitia dari acara itu menanyaiku tentang jilbab, “Mbak, nggak bisa lepas jilbab?” Pertanyaan yang membuatku selalu terdiam sejenak setelah mendengarnya. Bukan karena berpikir. Melainkan prihatin dan tercenung, “Kenapa hal seperti ini selalu menjadi pertanyaan?”

Ketiga, adalah malam ini. Acara pemilihan tokoh teater. Mendengar kata teater, sebenarnya dari rumah aku sudah bertanya pada Bapak, “Nanti suruh lepas jilbab nggak Pak?” Dan Bapak menjawab santai, “Itu kan yang ngadain orang-orang Muhammadiyah, jadi ya kemungkinan tetep pakai jilbab.” Aku pun mengangguk. Aman, batinku. Meskipun saat itu aku belum ditawari untuk main peran apapun. Aku hanya sedang ditawari Bapak, ‘barangkali’ nanti di teater itu kekurangan pemain, aku bisa jadi pemeran. Jelas, mau banget! Karena itu jadi salah satu impianku : berakting. Akhirnya, malam tadi Bapak memutuskan mengajakku ke tempat perkumpulan calon pemain teater itu. Ajakan Bapak begini, “Ikut aja. Mbok menowo nanti ditunjuk. Soalnya kemarin pendampingnya masih ragu sama akting beberapa pemain.”
Kalimat Bapak itulah yang akhirnya menggugahku untuk nekat ikut. Padahal aku belum kenal dengan orang-orangnya. Dan belum tentu juga aku akan ditawari main. Batinku saat itu, “Yaa nanti kalau nggak ditunjuk, bilang aja cuma mau nonton latihan teater.”. Begitu sampai di sana, ternyata orang-orangnya welcome semua. Aku langsung ditunjuk untuk jadi penari (karena mereka kekurangan penari), tanpa menanyaiku bisa menari atau tidak. Aku—dengan wajah malu tapi mau—akhirnya mengangguk. Namun sesaat setelah itu berbisik pada sampingku, “Narinya, pakai jilbab, kan?”. Dia, yang ada di sampingku, meng-iya-kan. Lalu aku bergumam, AMAN.

Selanjutnya, saat sesi pemilihan peran. Saat teman di sampingku mencoba membaca naskah, tiba-tiba lamat-lamat mata ayamku melihat, dan sayup-sayup telingaku mendengar, bapak berkumis—pendamping dari teater itu—berbicara pada rekan di sampingnya, ingin menunjukku untuk mencoba membaca. Mereka berbisik. Tapi telingaku tajam mendengarnya. Aku bisa mendengar percakapan mereka yang lamat-lamat. Dan ternyata, memang benar. Bapak berkumis itu selanjutnya menunjukku untuk membaca naskah beberapa peran. Padahal yang lainnya hanya satu sampai dua peran. Dan ya Allah, siapa aku? Aku hanya orang baru.

Tidak lama setelah itu, tibalah saatnya sesi penunjukkan. Bapak berkumis itu akhirnya menunjukku menjadi pemeran utama yang berkarakter galak. Aku sedikit kaget. Kupikir aku akan menjadi peran si gadis lugu yang lembut. Ternyata justru sebaliknya. Hingga akhirnya, tiba pada saat pertanyaan itu muncul. “Ini tokohnya kan galak. Mbak, nggak bisa melepas jilbab?” tanya Bapak berkumis itu. Sedetik aku terdiam. Pertanyaan itu...

Aku pun tersenyum samar, lalu menggeleng pelan. “Benar-benar tidak bisa dilepas?” tanya Bapak itu lagi. Dan kali itu dengan lebih mantap aku menggeleng, tak lupa tersenyum. Hening sesaat. Namun Bapak dari pihak Muhammadiyah seakan ingin membela dengan mengatakan pada Bapak Berkumis bahwa besok masalah jilbab bisa direkayasa. Bisa menggunakan jilbab ala-ala orang desa, tanpa mengurangi kesan galak. Ada pula yang usul, bisa tetap pakai jilbab, namun nanti dipasangi wig. Aku sama sekali tidak menjawab untuk yang itu. Masalah wig saja aku masih mempertanyakan.

Jadi, begitulah...
Untuk pertanyaan yang ketiga ini, aku harap, keadaan akan menjawabnya dengan bijak. Ya, aku harap tidak ada kejadian ‘mengundurkan diri’ atau ‘tersisih’ dari mimpi-mimpi itu hanya karena jilbab. Aku harap, 27 Agustus 2017 nanti, aku bisa membantu wanita-wanita di luar sana utk membuktikan, bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan, termasuk yang berjilbab. Jilbab bukanlah penghalang karya. Jilbab bukanlah hal memalukan atau hal yang ‘kurang wangun’. Namun jilbab adalah identitas. Identitas bahwa aku... adalah orang Islam. Dan aku... akan mempertahankan keislamanku.


Bantul, 1 Agustus 2017.

Selesai ditulis pukul 01.49 WIB.

3 komentar:

  1. Inspiratif sekali mbak Eki. Salam kenal dari saya 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Hanat, semoga bermanfaat tulisannya 😊 Salam kenal juga..

      Hapus
  2. salam..In sha Allah,moga Eki tetap dengan pendiriannya ya..

    BalasHapus