Hai laptop. Kali ini aku selingkuh. Maaf ASUS, aku selingkuh
pada LENOVO. Habis kamu udah sakit-sakitan. Aku niatnya sih setia. Tapi kamu
sakit terus, aku takut sakitmu tambah parah. Jadi biarkan aku selingkuh pada
LENOVO saat ini. Tenang, kau tetap di hatiku. Enam tahun kita bersama, tak akan
kulupa begitu saja.
Dan kini LENOVO, bekerjasamalah denganku. Jadilah seperti
ASUS-ku, yg setia mendengarkan curhatanku.
Jadi, hari ini aku kembali merenung soal jilbab. Tepat malam
tadi, untuk ketiga kalinya aku ditanya tentang jilbab, dan kurang lebih isinya
begini, “Kamu beneran pakai jilbab? Tidak bisakah di lepas?”
Ya, ini ketiga kalinya. Tiga kali dalam hidupku yang akan
aku ingat selalu.
Pertama, saat paskibraka. Saat itu hari di mana kami gladi
kotor untuk upacara peringatan kemerdekaan RI tingkat kecamatan. Selesai gladi
kotor, sambil duduk di hamparan rumput sore hari, pembimbingku mengajakku dan
satu temanku berbicara. Ia kembali menanyai kami tentang jilbab, karena hanya
kami berdua yg tidak mau melepas jilbab di antara teman-teman yg lain. Kata-kata
yang masih sangat kuingat jelas adalah, “Kamu, tidak mau melepas jilbab, karena
keinginanmu sendiri, atau dilarang orangtuamu?” Kata-kata yang terpatri jelas
dalam ingatan. Ketentuan dalam paskibraka tahun itu, untuk menjaga kekompakan
tim, kita diperintahkan untuk tidak berjilbab. Awalnya memang diperbolehkan,
hingga aku masih mau bertahan. Tapi entah kenapa, kok di akhir latihan ini
pembimbingku jadi mengubah keputusan. Hingga akhirnya, detik itu aku memutuskan
untuk mundur dari barisan. Aku mengundurkan diri. Lebih baik tidak ikut paskib
daripada harus dipaksa lepas jilbab. Padahal keesokan harinya sudah gladi
bersih. Padahal dua hari lagi pengibaran bendera, hari yang ditunggu-tunggu.
Padahal sudah latihan 15 hari hingga wajah gosong song song. Kecuali wajahku,
bukan gosong. Tapi belang. Ya, belang karena jilbab.
Kedua, masih kejadian semasa SMA. Waktu itu ada pemilihan
model lotion (kalau tidak salah). Seingatku, aku hampir terpilih. Tapi kemudian
panitia dari acara itu menanyaiku tentang jilbab, “Mbak, nggak bisa lepas
jilbab?” Pertanyaan yang membuatku selalu terdiam sejenak setelah mendengarnya.
Bukan karena berpikir. Melainkan prihatin dan tercenung, “Kenapa hal seperti
ini selalu menjadi pertanyaan?”
Ketiga, adalah malam ini. Acara pemilihan tokoh teater.
Mendengar kata teater, sebenarnya dari rumah aku sudah bertanya pada Bapak,
“Nanti suruh lepas jilbab nggak Pak?” Dan Bapak menjawab santai, “Itu kan yang
ngadain orang-orang Muhammadiyah, jadi ya kemungkinan tetep pakai jilbab.” Aku
pun mengangguk. Aman, batinku. Meskipun saat itu aku belum ditawari untuk main
peran apapun. Aku hanya sedang ditawari Bapak, ‘barangkali’ nanti di teater itu
kekurangan pemain, aku bisa jadi pemeran. Jelas, mau banget! Karena itu jadi
salah satu impianku : berakting. Akhirnya, malam tadi Bapak memutuskan mengajakku
ke tempat perkumpulan calon pemain teater itu. Ajakan Bapak begini, “Ikut aja.
Mbok menowo nanti ditunjuk. Soalnya kemarin pendampingnya masih ragu sama
akting beberapa pemain.”
Kalimat Bapak itulah yang akhirnya menggugahku untuk nekat
ikut. Padahal aku belum kenal dengan orang-orangnya. Dan belum tentu juga aku
akan ditawari main. Batinku saat itu, “Yaa nanti kalau nggak ditunjuk, bilang
aja cuma mau nonton latihan teater.”. Begitu sampai di sana, ternyata
orang-orangnya welcome semua. Aku langsung ditunjuk untuk jadi penari (karena
mereka kekurangan penari), tanpa menanyaiku bisa menari atau tidak. Aku—dengan
wajah malu tapi mau—akhirnya mengangguk. Namun sesaat setelah itu berbisik pada
sampingku, “Narinya, pakai jilbab, kan?”. Dia, yang ada di sampingku,
meng-iya-kan. Lalu aku bergumam, AMAN.
Selanjutnya, saat sesi pemilihan peran. Saat teman di
sampingku mencoba membaca naskah, tiba-tiba lamat-lamat mata ayamku melihat,
dan sayup-sayup telingaku mendengar, bapak berkumis—pendamping dari teater itu—berbicara
pada rekan di sampingnya, ingin menunjukku untuk mencoba membaca. Mereka
berbisik. Tapi telingaku tajam mendengarnya. Aku bisa mendengar percakapan
mereka yang lamat-lamat. Dan ternyata, memang benar. Bapak berkumis itu selanjutnya
menunjukku untuk membaca naskah beberapa peran. Padahal yang lainnya hanya satu
sampai dua peran. Dan ya Allah, siapa aku? Aku hanya orang baru.
Tidak lama setelah itu, tibalah saatnya sesi penunjukkan.
Bapak berkumis itu akhirnya menunjukku menjadi pemeran utama yang berkarakter
galak. Aku sedikit kaget. Kupikir aku akan menjadi peran si gadis lugu yang
lembut. Ternyata justru sebaliknya. Hingga akhirnya, tiba pada saat pertanyaan
itu muncul. “Ini tokohnya kan galak. Mbak, nggak bisa melepas jilbab?” tanya
Bapak berkumis itu. Sedetik aku terdiam. Pertanyaan itu...
Aku pun tersenyum samar, lalu menggeleng pelan. “Benar-benar
tidak bisa dilepas?” tanya Bapak itu lagi. Dan kali itu dengan lebih mantap aku
menggeleng, tak lupa tersenyum. Hening sesaat. Namun Bapak dari pihak Muhammadiyah
seakan ingin membela dengan mengatakan pada Bapak Berkumis bahwa besok masalah
jilbab bisa direkayasa. Bisa menggunakan jilbab ala-ala orang desa, tanpa
mengurangi kesan galak. Ada pula yang usul, bisa tetap pakai jilbab, namun
nanti dipasangi wig. Aku sama sekali tidak menjawab untuk yang itu. Masalah wig
saja aku masih mempertanyakan.
Jadi, begitulah...
Untuk pertanyaan yang ketiga ini, aku harap, keadaan akan
menjawabnya dengan bijak. Ya, aku harap tidak ada kejadian ‘mengundurkan diri’
atau ‘tersisih’ dari mimpi-mimpi itu hanya karena jilbab. Aku harap, 27 Agustus
2017 nanti, aku bisa membantu wanita-wanita di luar sana utk membuktikan, bahwa
setiap orang berhak mendapatkan kesempatan, termasuk yang berjilbab. Jilbab
bukanlah penghalang karya. Jilbab bukanlah hal memalukan atau hal yang ‘kurang
wangun’. Namun jilbab adalah identitas. Identitas bahwa aku... adalah orang
Islam. Dan aku... akan mempertahankan keislamanku.
Bantul, 1 Agustus 2017.
Selesai ditulis pukul 01.49 WIB.
Inspiratif sekali mbak Eki. Salam kenal dari saya 😊
BalasHapusTerimakasih Hanat, semoga bermanfaat tulisannya 😊 Salam kenal juga..
Hapussalam..In sha Allah,moga Eki tetap dengan pendiriannya ya..
BalasHapus