Aku pulang, karena tiga alasan. Pertama, acara nikahan
teman. Oke, kumohon jangan ajukan pertanyaan seputar ini padaku meski umurku
sudah matang. Kedua, acara Kampus Fiksi 18. Ketiga, duitku habis. Ketiga alasan
itu berhasil berkolaborasi mendorong hasratku untuk kembali ke Kota Istimewa.
Perlu kuakui, untuk alasan kedua, dari lubuk hati terdalam
kupasangkan niat untuk membantu sie dokumentasi, cc : Bang Reza. Ya, gara-gara
tulisan sedih Bang Reza pasca KF 17 di blognya, terlebih di bagian yang intinya
seperti lirik lagu Geisha “aku benci sendiri”, dan bagian ketika namaku disebut
sebagai orang yang berjanji akan membantu mendokumentasikan acara di KF 18
dengan handycame-ku, akhirnya aku merasa terpanggil untuk membantu *halah.
Perlu diakui, ini dia fakta tulisan yang bisa memengaruhi orang lain. Aku
adalah bukti nyata dari orang yang terpengaruh oleh tulisan Mas Reza.
Dari Pare, Kediri, aku berangkat di pertengahan siang pada
hari Jumat. Tiba di Jogja, hari sudah malam. Aku tidak langsung ke gedung KF.
Kurasa berkumpul dengan keluarga setelah satu bulan tidak bertatap muka akan
lebih baik. Akhirnya kuputuskan datang ke gedung KF pada Sabtu, pagi harinya.
***
Sabtu pagi, ketika membuka pintu pertama di lantai dua
gedung KF, kembali wajah ini menjadi sorotan para peserta untuk beberapa detik.
Ya, aku serasa artis sesaat. Adegan ini mengingatkanku pada KF 16. Persis. Ketika
aku sebagai peserta datang terlambat dan harus menjadi santapan mata peserta
lain. Dan kali ini, wajah pertama kali yang kulihat adalah Pak Edi, rektor kece
Kampus Fiksi, yang ketika itu sedang menyampaikan materi namun sempat terhenti
karena melihat sosok tamu tak diundang. Wajah yang selanjutnya kulihat adalah
Miko, Mas Wahyu, dan wajah perempuan fenomenal di KF yang ternyata dia juga
alumni UIN Jogja, Mbak Ve. *sungkem sama Mbak Ve.
Baiklah, langsung to the point saja. Perbedaan KF 18 dengan
KF sebelumnya secara teknis adalah...
sama saja.
Yang menjadikan perbedaan bukan bagian teknisnya, melainkan
bagian kenangan yang tercipta di antara kita *eaaa.
Jika KF 16 aku sebagai peserta, KF 17 aku sebagai alumni,
yang mana kenangan paling diingat adalah ketika tengah malam, kami—para
alumni—masih pada gaduh gitaran. Tapi itu yang bikin seru. Karena aku suka
musik. Dan aku selalu bahagia ketika dimainkan alat musik. Lalu bedanya KF 18
apa?
Ini dia. Perbedaannya terletak pada :
Permainan Werewolf.
Oke, kuakui. Aku cupu. Aku baru tahu tentang permainan ini
di KF 18. Dan kurasa aku bersedia mengangkat keempat jempolku untuk menilai
keseruan permainan yang berasal dari telegram ini (kalau tidak salah). Eh,
bukan cuma keseruan, tapi juga fungsi dan sisi positif permainan Werewolf dalam
kehidupan sosial.
Jadi, fungsi Werewolf di kalangan anak-anak KF adalah :
Pertama, mendekatkan yang jauh. Ini jelas, karena dari
semula tidak kenal, menjadi kenal. Perlu diketahui, tidak semua anak KF
mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, permainan ini bisa menjadi media
untuk saling mengenal, seperti Hermione, Harry, dan Ron yang saling kenal
karena dipertemukan dalam gerbong kereta menuju Hogwart. Jadi begini, di
permainan Werewolf, para pemain dituntut untuk mengetahui lawan mainnya.
Meskipun sebelumnya tidak tahu siapa nama orang di sebelahnya, namun perlahan
ia akan menjadi tahu karena pemain lain biasanya akan menunjuk nama si A, B,
atau C, ketika sedang mencari pembunuh warga atau korban lain. Penyebutan nama
ini otomatis menjadi ajang perkenalan secara tidak langsung, bukan? Ini
menguntungkan, terlebih untuk tipe orang yang sulit mengawali pembicaraan atau
perkenalan. Karena tidak semua anak KF itu bisa dengan mudah membuka sebuah
obrolan layaknya Mas Saypullan. Namun dengan permainan ini, mau tidak mau
mereka harus bersuara. Setidaknya untuk membela diri sendiri saat dituduh
sebagai pembunuh, atau ketika menjadi VILLAGER sehingga harus memberi vote
siapa yang akan digantung, atau ketika menjadi SEER sehingga harus membeberkan
hasil terawangannya pada pemain lain, dan seterusnya. Intinya, di permainan ini
semua pasti bersuara, kecuali Awan. Hmm... ya... Awan hanya tersenyum, dan
meringis. Bahkan saat dituding sebagai SERIAL KILLER pun dia tetap tersenyum
dan kalem-kalem saja, berbanding terbalik dengan Mbak Put dan Mas Saypul yang
super ekspresif. Tapi begitulah, secara umum Werewolf ini baik untuk ajang
perkenalan dan pendekatan. Mungkin panitia MOS bisa mencoba permainan ini untuk
mengospek adik kelasnya.
Kedua, melatih kemampuan akting. Memang tidak semua anak
Kampus Fiksi pandai berakting layaknya Miko saat menjadi SERIAL KILLER. Bagiku
pribadi, rasanya seperti ada tekanan batin ketika kita menjadi WEREWOLF atau
SERIAL KILLER, namun harus berakting layaknya VILLAGER, atau berpura-pura
menjadi orang tak berdosa. Apalagi ketika kita dituding sebagai pembunuh, galau
antara meng-iya-kan atau membela diri. Jika meng-iya-kan, itu berarti kita cupu
dan permainan langsung berakhir. Namun jika membela diri, itu berarti kita
harus bohong habis-habisan kalau bukan kita pembunuhnya—padahal aslinya iya.
Semoga Allah mengampuni kebohongan-kebohongan yang terjadi di permainan ini,
aamiin.
Ketiga, mengisi kekosongan waktu para alumni. Secara, alumni
KF banyak yang gabut daripada yang bekerja. Tugas alumni pun tidak lain hanya untuk
meramaikan. Terlebih ketika pemateri sedang mengisi acara, kami para alumni
sudah pernah atau mungkin berulang-ulang mendengar materi yang sama. Tidak
dipungkiri kebosanan pasti ada. Untuk itu, Werewolf ini benar-benar menjadi
penyelamat anak-anak alumni KF dari kegabutan. Terimakasih Werewolf *eh.
Begitulah, tiga fungsi permainan Werewolf dari sudut pandang
Eki Paradisi. Semoga para alumni setuju dengan teori ini.
Baiklah, agar tidak seperti komedi putar yang suka
berputar-putar, aku akan kembali pada momen KF 18. Menurutku, selain karena
Werewolf, KF 18 berkesan karena banyak alumni yang datang. Dari kacamata
pribadi, aku jadi lebih banyak kenal anak-anak KF angkatan lama (baca: tua).
Seperti Mbak Devy, Mbak Lia, Mas Saypul, Mbak Putri, Serli, yang biasanya
nama-nama mereka hanya bisa aku baca di grup WA.
Di KF ini pula, pertama kalinya aku ikut ngobrol bersama Pak
Edi. Oke, ini memang sedikit lebay. Dan oh, baiklah, aku memang tidak ikut
ngobrol. Aku hanya menjadi gadis pendiam yang lebih banyak mendengar sambil
menyeruput susu putih anget daripada terlibat obrolan. Hanya sesekali nimbrung
ketika membahas soal jin dan kesurupan. Entah, aku selalu tergelitik tentang
hal itu. Tapi ngomong-omong, aku ingin berterimakasih pada Awan.
Meski kalem, ternyata dia seorang motivator yang handal. Dia
yang berhasil membujukku untuk ikut nimbrung pembicaraan Fakhri, Intan, dan Pak
Edi di meja KF pada saat malam perpisahan. Padahal sebenarnya aku malu, atau
lebih tepatnya sungkan, untuk berbicara dengan Pak Edi. Entah apa yang
membuatku sungkan. Apa karena Pak Edi CEO Diva Press? Atau karena Pak Edi cerdas
sehingga aku takut terlihat dungu di hadapannya? Atau takut salah ngomong?
Entahlah. Padahal setiap liputan dan bertemu dengan orang baru aku selalu pede
untuk mengajak ngobrol, tapi entah dengan Pak Edi, nyaliku jadi ciut. Mungkin
harus ada alasan-alasan tertentu untuk memaksaku mengobrol dengan Pak Edi. Wawancara
untuk liputan tentang Diva Press misalnya? *eh.
Kembali pada Awan. Sebenarnya malam itu Awan memotivasiku
untuk konsultasi pada Pak Edi tentang naskah. Jadi ceritanya, aku sudah
berkali-kali mengirim naskah ke segala penerbit tapi selalu mengalami penolakan—well,
aku angkat tangan kenapa kisah naskah dan asmaraku bisa senasib. Dan kali ini
ingin mengirimkan naskah novel yang bercerita tentang perantauan seseorang di
Kampung Inggris, namun aku bingung membuat klimaks ceritanya. Untuk itu Awan
menyuruhku konsul pada Pak Edi. Awalnya aku nggak mau. Malu. Sungkan. Tapi
karena dibujuk dengan kata-kata “Ayok... ayok...” yang berulang-ulang dan
dengan gaya yang polos, akhirnya aku mau. Meskipun niat untuk konsul itu
ujung-ujungnya tidak tersampaikan. Karena semakin banyak orang yang berkumpul
dan aku tidak siap untuk menjadi bahan pembicaraan.
Perjuangan Awan untuk membujuk ternyata tidak berhenti di
situ. Usai mengobrol di meja KF, Pak Edi mengajak para alumni untuk nongkrong
kedua kalinya, dan aku berniat tidak ikut. Ngantuk berat! Namun lagi-lagi Awan
membujukku dengan kata “Ayok... ayok...”-nya lagi. Aku sampai heran, tidak ada
alumni KF, atau anak KF yang mendorongku untuk ikut sampai segitunya. Terlebih,
siapa dia? Anak KF super lembut yang baru aku ajak ngobrol malam itu. Dan
baiklah, aku mengalah. Akhirnya aku ikut nongkrong untuk kedua kalinya. Ujung-ujungnya,
aku tetap tidak mampu menyampaikan perasaanku pada Pak Edi—perasaan tentang
naskah maksudnya. Meski di belakangku lagi-lagi Awan bilang “Ayok... ayok...”
agar aku mengutarakan hasrat naskahku, tetap saja, bibir ini rasanya
beraaaaattt sekali. Mungkin jika hanya ada Pak Edi, aku, dan Awan, aku bisa
menyampaikannya. Namun jika di forum besar seperti itu? Aku cuma bisa
geleng-geleng. Belum siap. Aku hanya penulis awam.
Namun, malam itu tidak ada penyesalan yang terbit karena
ikut nongkrong. Sebaliknya, justru menjadi malam yang penuh tawa. Aku mulai
merasakan kehangatan yang menjalar. Selain itu, aku juga jadi tahu, ternyata Mas
Ipul memiliki kenyataan yang aku tak tahu sanggup menanggungnya atau tidak jika
ada di posisinya. Begitu pula Fakhri, ternyata ada masa dari hidupnya yang
lebih sulit dari hidupku. Sekali lagi, aku ingin berterimakasih pada Awan yang sudah
memaksaku.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku tidak tahu harus
bagaimana. Mungkin aku belum menemukan klimaksnya. Jadi, cerita ini harus terus
berlanjut...
Bantul, 2-12-16
(di saat yang lain melakukan aksi damai, tangan ini
melakukan aksi menulis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar