2 Desember 2016

Ketika WEREWOLF Menjadi Pembeda

Aku pulang, karena tiga alasan. Pertama, acara nikahan teman. Oke, kumohon jangan ajukan pertanyaan seputar ini padaku meski umurku sudah matang. Kedua, acara Kampus Fiksi 18. Ketiga, duitku habis. Ketiga alasan itu berhasil berkolaborasi mendorong hasratku untuk kembali ke Kota Istimewa.

Perlu kuakui, untuk alasan kedua, dari lubuk hati terdalam kupasangkan niat untuk membantu sie dokumentasi, cc : Bang Reza. Ya, gara-gara tulisan sedih Bang Reza pasca KF 17 di blognya, terlebih di bagian yang intinya seperti lirik lagu Geisha “aku benci sendiri”, dan bagian ketika namaku disebut sebagai orang yang berjanji akan membantu mendokumentasikan acara di KF 18 dengan handycame-ku, akhirnya aku merasa terpanggil untuk membantu *halah. Perlu diakui, ini dia fakta tulisan yang bisa memengaruhi orang lain. Aku adalah bukti nyata dari orang yang terpengaruh oleh tulisan Mas Reza.

Dari Pare, Kediri, aku berangkat di pertengahan siang pada hari Jumat. Tiba di Jogja, hari sudah malam. Aku tidak langsung ke gedung KF. Kurasa berkumpul dengan keluarga setelah satu bulan tidak bertatap muka akan lebih baik. Akhirnya kuputuskan datang ke gedung KF pada Sabtu, pagi harinya.
***


Sabtu pagi, ketika membuka pintu pertama di lantai dua gedung KF, kembali wajah ini menjadi sorotan para peserta untuk beberapa detik. Ya, aku serasa artis sesaat. Adegan ini mengingatkanku pada KF 16. Persis. Ketika aku sebagai peserta datang terlambat dan harus menjadi santapan mata peserta lain. Dan kali ini, wajah pertama kali yang kulihat adalah Pak Edi, rektor kece Kampus Fiksi, yang ketika itu sedang menyampaikan materi namun sempat terhenti karena melihat sosok tamu tak diundang. Wajah yang selanjutnya kulihat adalah Miko, Mas Wahyu, dan wajah perempuan fenomenal di KF yang ternyata dia juga alumni UIN Jogja, Mbak Ve. *sungkem sama Mbak Ve.

Baiklah, langsung to the point saja. Perbedaan KF 18 dengan KF sebelumnya secara teknis adalah...

sama saja.

Yang menjadikan perbedaan bukan bagian teknisnya, melainkan bagian kenangan yang tercipta di antara kita *eaaa.
Jika KF 16 aku sebagai peserta, KF 17 aku sebagai alumni, yang mana kenangan paling diingat adalah ketika tengah malam, kami—para alumni—masih pada gaduh gitaran. Tapi itu yang bikin seru. Karena aku suka musik. Dan aku selalu bahagia ketika dimainkan alat musik. Lalu bedanya KF 18 apa?

Ini dia. Perbedaannya terletak pada :

Permainan Werewolf.



Oke, kuakui. Aku cupu. Aku baru tahu tentang permainan ini di KF 18. Dan kurasa aku bersedia mengangkat keempat jempolku untuk menilai keseruan permainan yang berasal dari telegram ini (kalau tidak salah). Eh, bukan cuma keseruan, tapi juga fungsi dan sisi positif permainan Werewolf dalam kehidupan sosial.
Jadi, fungsi Werewolf di kalangan anak-anak KF adalah :

Pertama, mendekatkan yang jauh. Ini jelas, karena dari semula tidak kenal, menjadi kenal. Perlu diketahui, tidak semua anak KF mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, permainan ini bisa menjadi media untuk saling mengenal, seperti Hermione, Harry, dan Ron yang saling kenal karena dipertemukan dalam gerbong kereta menuju Hogwart. Jadi begini, di permainan Werewolf, para pemain dituntut untuk mengetahui lawan mainnya. Meskipun sebelumnya tidak tahu siapa nama orang di sebelahnya, namun perlahan ia akan menjadi tahu karena pemain lain biasanya akan menunjuk nama si A, B, atau C, ketika sedang mencari pembunuh warga atau korban lain. Penyebutan nama ini otomatis menjadi ajang perkenalan secara tidak langsung, bukan? Ini menguntungkan, terlebih untuk tipe orang yang sulit mengawali pembicaraan atau perkenalan. Karena tidak semua anak KF itu bisa dengan mudah membuka sebuah obrolan layaknya Mas Saypullan. Namun dengan permainan ini, mau tidak mau mereka harus bersuara. Setidaknya untuk membela diri sendiri saat dituduh sebagai pembunuh, atau ketika menjadi VILLAGER sehingga harus memberi vote siapa yang akan digantung, atau ketika menjadi SEER sehingga harus membeberkan hasil terawangannya pada pemain lain, dan seterusnya. Intinya, di permainan ini semua pasti bersuara, kecuali Awan. Hmm... ya... Awan hanya tersenyum, dan meringis. Bahkan saat dituding sebagai SERIAL KILLER pun dia tetap tersenyum dan kalem-kalem saja, berbanding terbalik dengan Mbak Put dan Mas Saypul yang super ekspresif. Tapi begitulah, secara umum Werewolf ini baik untuk ajang perkenalan dan pendekatan. Mungkin panitia MOS bisa mencoba permainan ini untuk mengospek adik kelasnya.

Kedua, melatih kemampuan akting. Memang tidak semua anak Kampus Fiksi pandai berakting layaknya Miko saat menjadi SERIAL KILLER. Bagiku pribadi, rasanya seperti ada tekanan batin ketika kita menjadi WEREWOLF atau SERIAL KILLER, namun harus berakting layaknya VILLAGER, atau berpura-pura menjadi orang tak berdosa. Apalagi ketika kita dituding sebagai pembunuh, galau antara meng-iya-kan atau membela diri. Jika meng-iya-kan, itu berarti kita cupu dan permainan langsung berakhir. Namun jika membela diri, itu berarti kita harus bohong habis-habisan kalau bukan kita pembunuhnya—padahal aslinya iya. Semoga Allah mengampuni kebohongan-kebohongan yang terjadi di permainan ini, aamiin.

Ketiga, mengisi kekosongan waktu para alumni. Secara, alumni KF banyak yang gabut daripada yang bekerja. Tugas alumni pun tidak lain hanya untuk meramaikan. Terlebih ketika pemateri sedang mengisi acara, kami para alumni sudah pernah atau mungkin berulang-ulang mendengar materi yang sama. Tidak dipungkiri kebosanan pasti ada. Untuk itu, Werewolf ini benar-benar menjadi penyelamat anak-anak alumni KF dari kegabutan. Terimakasih Werewolf *eh.

Begitulah, tiga fungsi permainan Werewolf dari sudut pandang Eki Paradisi. Semoga para alumni setuju dengan teori ini.

Baiklah, agar tidak seperti komedi putar yang suka berputar-putar, aku akan kembali pada momen KF 18. Menurutku, selain karena Werewolf, KF 18 berkesan karena banyak alumni yang datang. Dari kacamata pribadi, aku jadi lebih banyak kenal anak-anak KF angkatan lama (baca: tua). Seperti Mbak Devy, Mbak Lia, Mas Saypul, Mbak Putri, Serli, yang biasanya nama-nama mereka hanya bisa aku baca di grup WA.

Di KF ini pula, pertama kalinya aku ikut ngobrol bersama Pak Edi. Oke, ini memang sedikit lebay. Dan oh, baiklah, aku memang tidak ikut ngobrol. Aku hanya menjadi gadis pendiam yang lebih banyak mendengar sambil menyeruput susu putih anget daripada terlibat obrolan. Hanya sesekali nimbrung ketika membahas soal jin dan kesurupan. Entah, aku selalu tergelitik tentang hal itu. Tapi ngomong-omong, aku ingin berterimakasih pada Awan.

Meski kalem, ternyata dia seorang motivator yang handal. Dia yang berhasil membujukku untuk ikut nimbrung pembicaraan Fakhri, Intan, dan Pak Edi di meja KF pada saat malam perpisahan. Padahal sebenarnya aku malu, atau lebih tepatnya sungkan, untuk berbicara dengan Pak Edi. Entah apa yang membuatku sungkan. Apa karena Pak Edi CEO Diva Press? Atau karena Pak Edi cerdas sehingga aku takut terlihat dungu di hadapannya? Atau takut salah ngomong? Entahlah. Padahal setiap liputan dan bertemu dengan orang baru aku selalu pede untuk mengajak ngobrol, tapi entah dengan Pak Edi, nyaliku jadi ciut. Mungkin harus ada alasan-alasan tertentu untuk memaksaku mengobrol dengan Pak Edi. Wawancara untuk liputan tentang Diva Press misalnya? *eh.

Kembali pada Awan. Sebenarnya malam itu Awan memotivasiku untuk konsultasi pada Pak Edi tentang naskah. Jadi ceritanya, aku sudah berkali-kali mengirim naskah ke segala penerbit tapi selalu mengalami penolakan—well, aku angkat tangan kenapa kisah naskah dan asmaraku bisa senasib. Dan kali ini ingin mengirimkan naskah novel yang bercerita tentang perantauan seseorang di Kampung Inggris, namun aku bingung membuat klimaks ceritanya. Untuk itu Awan menyuruhku konsul pada Pak Edi. Awalnya aku nggak mau. Malu. Sungkan. Tapi karena dibujuk dengan kata-kata “Ayok... ayok...” yang berulang-ulang dan dengan gaya yang polos, akhirnya aku mau. Meskipun niat untuk konsul itu ujung-ujungnya tidak tersampaikan. Karena semakin banyak orang yang berkumpul dan aku tidak siap untuk menjadi bahan pembicaraan.

Perjuangan Awan untuk membujuk ternyata tidak berhenti di situ. Usai mengobrol di meja KF, Pak Edi mengajak para alumni untuk nongkrong kedua kalinya, dan aku berniat tidak ikut. Ngantuk berat! Namun lagi-lagi Awan membujukku dengan kata “Ayok... ayok...”-nya lagi. Aku sampai heran, tidak ada alumni KF, atau anak KF yang mendorongku untuk ikut sampai segitunya. Terlebih, siapa dia? Anak KF super lembut yang baru aku ajak ngobrol malam itu. Dan baiklah, aku mengalah. Akhirnya aku ikut nongkrong untuk kedua kalinya. Ujung-ujungnya, aku tetap tidak mampu menyampaikan perasaanku pada Pak Edi—perasaan tentang naskah maksudnya. Meski di belakangku lagi-lagi Awan bilang “Ayok... ayok...” agar aku mengutarakan hasrat naskahku, tetap saja, bibir ini rasanya beraaaaattt sekali. Mungkin jika hanya ada Pak Edi, aku, dan Awan, aku bisa menyampaikannya. Namun jika di forum besar seperti itu? Aku cuma bisa geleng-geleng. Belum siap. Aku hanya penulis awam.

Namun, malam itu tidak ada penyesalan yang terbit karena ikut nongkrong. Sebaliknya, justru menjadi malam yang penuh tawa. Aku mulai merasakan kehangatan yang menjalar.  Selain itu, aku juga jadi tahu, ternyata Mas Ipul memiliki kenyataan yang aku tak tahu sanggup menanggungnya atau tidak jika ada di posisinya. Begitu pula Fakhri, ternyata ada masa dari hidupnya yang lebih sulit dari hidupku. Sekali lagi, aku ingin berterimakasih pada Awan yang sudah memaksaku.

Untuk mengakhiri tulisan ini, aku tidak tahu harus bagaimana. Mungkin aku belum menemukan klimaksnya. Jadi, cerita ini harus terus berlanjut...

Bantul, 2-12-16
(di saat yang lain melakukan aksi damai, tangan ini melakukan aksi menulis).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar