Hari itu, hari Jumat 11
September, tidak menyangka akan menjadi hari yang spesial. Ternyata memang
benar, Jumat hari yang berkah, haha. Di hari itu aku mendapatkan 2 moment
spesial, yang pertama karena liputan konser Bon Jovi (walaupun hanya liputan
keramaian doang), dan yang kedua karena bertemu dengan Reza Rahardian. Spesial!
Benar-benar spesial!!!
Malam itu, malam menjelang hari
Jumat, malam menjelang tanggal 11 September, aku tak bisa tidur. Entah kenapa,
aku sendiri tidak tahu. Padahal aku tipe orang yang pelor alias ngantukan.
Cepat sekali untuk tidur. Namun entah kenapa berbeda untuk hari itu. Aku baru bisa
tidur jam 1 malam, dan terbangun jam 3 pagi. Aku terbangun mungkin karena
pertama panas, di kos memang udaranya panas banget, dan kedua karena tidurku
nggak nyaman.
Teman sekamarku tidurnya “lincah”, sampai tak sengaja aku bisa
terguling dari kasur. Dan karena sudah terlanjur tidak nyaman tidur, kuputuskan
untuk bangun saja. Aku bangun, membuka laptop, dan kembali menulis. Menulis
perjalananku selama di Jakarta, barangkali bisa menginspirasi dan bermanfaat
untuk orang lain.
Setelah satu jam menulis dan main
gadget, jam 4 pagi aku mulai mendengar suara “tengklothek” dari dapur. Mungkin
ibu yang punya warung di depan kos sudah mulai memasak. Akhirnya kuputuskan
untuk menemani ibu itu saja. Lagipula sudah beberapa hari semenjak di sini aku
memang berniat ingin mengobrol banyak dengan ibu itu. Hitung-hitung silaturahim
dengan “tetangga”. Anggaplah ia adalah tetanggaku di sini. Daripada hidup
individualis, menyendiri di kamar kos tanpa bersosialisasi dengan orang lain,
hidup akan terasa hampa dan tak berarti. Syukur-syukur kalau bisa akrab dan
menjadi saudara, bukankah akan terasa lebih indah? Bukankah itu juga yang
diajarkan Islam, untuk menjalin ukhuwah yang baik dengan sesama? Akhirnya aku
pun bergegas mendekati ibu itu dan mulai mengajak ngobrol. “Saya temani masak
ya Bu, ya... Daripada nggak bisa tidur di kamar.” kataku mengawali obrolan. Ibu
itu tersenyum ramah sambil mengangguk, dan kembali melanjutkan memasak. Aku pun
menemaninya sambil sesekali bertanya tentang perjalanan hidupnya di tanah
rantau Jakarta ini. Maklum, obrolan yang nyambung ya hanya itu, karena
sama-sama perantau dan sama-sama asli orang Jawa.
Tak lama setelah itu datang dua
orang gadis belia berumur 16 dan 18 tahun. Mereka adalah pekerja di warung ini.
Akhirnya kusapa mereka dan kuajak kenalan. Sebenarnya semenjak tiba di sini aku
sering bertukar sapa dan senyum pada mereka berdua, sekedar say “hai” dan “misi
yaa”, namun kami belum saling kenal saat itu. Dan akhirnya kini niatku untuk
berkenalan dengan mereka terkabul sudah. Ternyata mereka adalah saudara sepupu.
Yang putih cantik, namanya Iis, dia yang lebih tua. Sementara yang kecil namun
berperawakan lebih besar dari Iis, dia hitam tapi manis, namanya Ela. Kami pun
terlibat dalam obrolan yang cukup menyenangkan (bagiku) sambil “methiki” lombok
alias mengupas batang cabai (tuh kan, terkadang bahasa Jawa lebih ringkas dari
bahasa Indonesia). Dalam obrolan itu kami membicarakan tentang perjalanan
merantau juga (seakan tidak ada topik pembicaraan lain), namun menariknya
adalah mereka sudah merantau untuk bekerja di usia mereka yang masih sangat
muda. Bahkan mereka hanya lulusan SMP. Bagaimana aku bisa tidak miris
mendengarnya? Aku adalah salah satu orang yang sangat menjunjung tinggi dan
mengutamakan pendidikan, namun kini aku mendengar dan melihat di hadapanku ada
dua gadis yang hanya lulusan SMP. Saat kutanya alasan mereka putus sekolah dan
tidak melanjutkan SMA/SMK, lagi-lagi karena masalah biaya. Kudengar di daerah
mereka, Tegal, biaya SMA sangat mahal, sekitar 300-500 ribu per bulan. Sangat
berbeda dengan di Jogja yang hanya 100-300 ribu. Namun karena memang sudah
terlanjur putus sekolah, aku tak mungkin mendoktrin mereka dengan kata-kata
“betapa pentingnya pendidikan”, akhirnya aku hanya bisa memotivasi mereka
dengan kata-kata “man jadda wa jadda”, yang penting sekarang usaha dan bekerja keras,
besok pasti akan berhasil. Aku pun menceritakan kisah salah seorang teman
ayahku yang dia hanya lulusan SD (bahkan SD saja tidak lulus) namun kini bisa
menjadi orang kaya raya karena berkat usahanya.
Menjelang jam 6 pagi, setelah
melalui obrolan yang panjang dengan Iis dan Ela, aku pun berpamitan dan kembali
ke kamar kosku. Berhubung sedang tidak solat, akhirnya aku kembali tidur,
menyiapkan tenagaku untuk liputan Bon Jovi. Setelah bangun di siang harinya,
aku berniat membelikan teman sekamar kosku roti tawar dan makanan cemilan.
Hitung-hitung sodaqoh dan sebagai wujud terima kasihku padanya karena sudah
memberikan tumpangan tidur. Begitu aku pulang dari minimarket, aku teringat
pada Iis dan Ela. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan satu bungkus wafer untuk
mereka. Hanya satu bungkus itu saja, mereka bisa tersenyum cerah, meski
sebelumnya sempat menolak. Betapa indah persaudaraan ini ya Tuhan... bisa
membuat orang lain tersenyum senang, seakan menjadi kebahagiaan tersendiri. Setelah
itu aku pun bersiap-siap pergi ke kantor untuk liputan.
Setiba di kantor, ketika melewati
ruang make up, tak kusangka... aku benar-benar dikejutkan oleh satu
pemandangan. Pemandangan asing yang bisa membuat mataku terbuka lebar dan
jantungku yang mulai berdegup tak wajar. Ada Reza Rahardian di ruang make up!!!
OMG! Sekejap aku menggigit bibir gemas, rasanya ingin berteriak namun tak bisa.
Akhirnya aku berjalan cepat menuju ruanganku dan segera menceritakan yang
terjadi pada Ayuk, teman magangku. Saat itu Ayuk dengan wajah datarnya
menjawab, “Emang iya, Reza kan jadi bintang tamu di Sarah Sechan hari ini.”
“Serius?” tanyaku dengan wajah
berbinar-binar.
“Iyaa.” jawab Ayuk yang seketika
membuatku semakin bungah.
Saat itu terlintas di benakku
untuk foto bersama Reza, sosok artis yang cukup kukagumi karena kelihaiannya
dalam berakting di semua filmnya. Tapiii... yang menjadi ganjalan adalah... aku
malu. Takut juga kalau nanti ditolak. Karena sebelumnya aku pernah ditolak oleh
seorang penulis cukup terkenal saat ingin wawancara, dan itu cukup membuatku
kecewa hingga sekarang. Maka dari itu aku trauma jika harus ditolak untuk kedua
kalinya. Untuk itu, kuputuskan untuk tidak usah foto bersama. Cukup dengan
melihatnya saja di live hari ini.
Pukul 1 siang, kulangkahkan
kakiku menuju studio Sarah Sechan. Di sana sudah ada banyak penonton bayaran.
Aku pun menunggu. Begitu acara mulai dan Reza dipanggil maju oleh Sarah Sechan,
aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan sambil tersenyum kagum. Sudahlah,
tak apa tak bisa foto bersama. Setidaknya aku bisa memfotonya langsung dari
studio sebagai kenang-kenangan, batinku menghibur diri.
Siang itu akhirnya aku menonton
Sarah Sechan yang live dari studio. Untung saja aku magang, jadi lebih mudah keluar
masuk studio layaknya kru. Selama satu jam—dari jam 1-2 siang—aku hanya bisa
memandangi Reza yang sedang digombali Sarah Sechan sambil senyam-senyum. Saat
itu sedang membahas soal 10 tahun Reza berkarir di dunia akting dan perfilman.
Reza pun ditantang untuk memainkan berbagai karakter yang pernah dibintanginya.
Yang semakin membuatku terkagum adalah ia bisa dengan begitu mudah membawakan
berbagai peran dengan karakter berbeda-beda, mulai dari peran Habibi,
Cokroaminoto, Fikri, dan peran-peran yang lain.
Begitu selesai acara, Reza pun
turun dari panggung. Sebentar lagi dia menuju sini, berjalan lewat di
sampingku. Ah... senangnya! Walaupun sebenarnya itu cukup lebay. *apa bagusnya
cuma dilewatin artis? Begitu Reza lewat di sampingku, aku hanya bisa menahan
rasa bahagia dan gemuruh di dadaku. Sial! Hanya dilewatin gini aja deg-degannya
setengah mati. Gimana kalau diajak ngobrol? pikirku. Setelah lewat, aku hanya
bisa menatap punggung Reza yang tegap dengan tatapan hampa. Keinginan untuk bisa
foto sirna sudah. Biarlah tak bisa foto. Lagipula apa hebatnya foto bareng?
Hebat itu kalau bisa main film bareng sama dia jadi lawan mainnya, itu baru
keren... haha. *impian konyol seorang Eki :D
Setelah Reza berjalan beberapa
langkah melewatiku, tiba-tiba aku melihat Reza dihampiri oleh seorang mbak-mbak
yang mengajaknya berfoto. Aku pun hanya lewat dengan wajah mupeng, namun tetap
berusaha menghibur diri untuk tidak berfoto. Pasti hanya salah satu fans Reza
yang jadi penonton bayaran, pikirku. Begitu melihat ternyata mbak-mbak tadi
adalah temanku, kru NET CJ, mataku langsung melotot. “Kak Fani?” pekikku dalam
hati. Di depan kak Fani ternyata juga ada Ayuk, mas Willi (kru NET CJ), dan
mbak Eka (korlip NET). Semuanya foto bergantian satu per satu. Tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan, akhirnya aku pun sekalian ikut nebeng foto. Mumpung
ada yang fotoin juga (big thanks for mas Willi).
Sesi foto selesai. Kini aku hanya
bisa senyam-senyum memandangi foto itu di ponselku dengan bungah. Benar-benar
tidak menyangka bisa foto bersama Reza Rahardian. Padahal sebelumnya niat untuk
foto sudah pupus. “Mimpi apa kau semalam?” kata salah seorang sahabat yang
mengomentari foto DP ku bersama Reza. Saat itu aku langsung mengingat-ingat,
iya yah? Mimpi apa aku semalam? “Nggak mimpi apa-apa. Gimana mau ngimpi, orang semalam
nggak bisa tidur.” kataku pada diri sendiri. Seketika aku langsung tersadar.
Jangan-jangan... aku tidak bisa tidur semalaman adalah tanda-tanda akan
menerima kejutan spesial ini? Bisa foto dengan Reza dan liputan Bon Jovi? Haha,
bisa saja. Barangkali Allah memang sengaja ingin memberiku kejutan hari ini.
Atau mungkin juga... ini sebagai balasan dari sedekah kecil yang kuberikan pada
Iis dan Ela pagi ini? Bisa jadi. Wallahualam.
Jakarta, 22 September 2015.
eeeaaa... mbak Ekiii
BalasHapusaku juga mupenggg... wkwkwkwkkwk