Banyak hal
baru yang aku dapat selama liputan empat hari ini bersama tim daily. Liputan
pertama adalah hari Kamis, saat Idul Adha. Aku liputan bersama mas Cauzsa.
“Nama yang unik.” pikirku saat itu. Kami liputan di masjid Istiqlal Jakarta
untuk meliput penyembelihan sapi kurban pak Jokowi. Saat itu aku ditugaskan
untuk stand by jam 1 siang di P3 (parkir lantai 3) tepatnya di ruang logistik
NET. Di sana aku hanya duduk diam, kedinginan, sambil menunggu perintah dari
korlip (koordinator liputan) akan ditugaskan ke mana, karena awalnya memang
belum tau mau ke mana. Begitu sudah ada proyeksi atau gambaran dari korlip,
kami pun langsung berangkat. Kami berangkat tepatnya jam 3 sore. Setelah
muter-muter karena ada suatu hal, akhirnya baru sampai di Istiqlal jam 5 sore.
Itu adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di halaman masjid Istiqlal.
“Subhanallah, terima kasih Allah atas nikmat dan karunia-Mu. Engkau izinkan aku
untuk bisa merasakan suasana masjid terbesar dan fenomenal di Jakarta ini.”
batiknku ketika itu. Memang enak liputan. Salah satu keuntungannya kita bisa
jalan-jalan gratis dan tau banyak tempat.
Begitu sampai
di Istiqlal kami langsung menuju tempat penyembelihan sapi kurban, termasuk
sapi kurban Presiden Jokowi yang beratnya 1,3 ton. Ternyata di sana sudah ada
banyak mobil dari TV lain, seperti TV One, Kompas TV, CNN, dan Berita Satu. Di
sana mas Causza langsung bertegur sapa dengan kawan-kawan reporter dari TV
lain. Ternyata memang benar yang dikatakan mas Vandi. Antara reporter TV satu
dengan yang lain biasanya sudah saling kenal, karena sering terlibat dalam satu
liputan bersamaan. Sekalipun mereka belum kenal, biasanya mereka bisa langsung
akrab. Mereka akan berkenalan dan membicarakan kawan-kawan lain yang bekerja di
TV teman barunya itu. “Mbak Y mana? Biasanya liputan di sini? Oh, liputan
sendirian? Kemarin gue ketemu dia di bla bla bla...” Begitulah...
Liputan hari
pertama, lumayan. Hal mengesankan yang didapat adalah tentang penyembelihan
sapi. Sebelumnya aku adalah orang yang sangat anti menonton penyembelihan sapi
ataupun kambing. Dulu, di saat teman-teman sebaya berbondong-bondong ingin
melihat prosesi penyembelihan kurban saat Idul Adha, aku lebih memilih
mengurung diri di rumah. Bahkan dulu ketika aqiqah adik, aku sempat kabur dari
rumah karena tidak berani melihat penyembelihan kambing. *mungkin tepatnya
nggak tega kali ya? Tapi di sini, begitu mendapat tugas ke penyembelihan sapi
kurban Jokowi, awalnya sempat ragu. Tapi yah, namanya juga tuntutan kerja.
Harus bisa profesional. Mau tidak mau harus berani melihat proses penyembelihan
(walaupun ujung-ujungnya tetep merem juga). Kesan yang kedua adalah untuk
pertama kalinya aku memegangi microfon NET saat wawancara narasumber. Bersamaan
dengan reporter-reporter yang lain, aku menyodori mic pada dokter hewan dan
ketua panitia pelaksana yang menjadi narasumber. Walaupun hanya bertugas
menyodori mic saja, tapi rasanya itu... ah, sesuatu banget lah. Baru tahu,
ternyata megang mic itu pegel juga. Apalagi kalau narsum ngomongnya panjang
lebar dan lama. Nggak heran kalau para reporter sering menyangga lengan mereka
dengan tangan yang satunya ketika wawancara. Pegel!
Dan ternyata,
enaknya ketika liputan bersama tv-tv lain, pekerjaan kita biasanya jadi lebih
ringan. Pertanyaan yang ingin kita tanyakan pada narasumber biasanya sudah
diwakili oleh reporter lain. Jadi kita tinggal menunggu si “bapak” selesai
ngomong saja, udah dapat semua informasi, hehe. Seusai wawancara, biasanya para
wartawan langsung menanyai nama lengkap dan jabatan narsum (jangan sampai ada
salah penulisan, jadi harus dikonfirmasi lagi ke narsum, benar tulisannya
seperti ini?), dan juga memintai nomor HP, barangkali ada yang perlu ditanyakan
atau dikonfirmasi lagi.
Liputan kedua
adalah ke Kementerian Luar Negeri untuk update informasi seputar insiden di
Mina yang menewaskan ratusan orang. Lagi-lagi ke tempat baru. Untuk pertama
kalinya aku berdiri di halaman kantor Kemenlu. Kalau nggak pas liputan gini,
kapan lagi coba masuk ke kantor-kantor pemerintahan? Dan baru saat itu aku
tahu, ternyata di Kemenlu ada juga ruang transit untuk pers. Jadi di sana
disediakan makanan kecil, dan minuman seperti kopi, teh, air putih, em...
pokoknya nyaman deh. Udah suasananya sejuk, fasilitasnya juga josh! Haha
*rejeki anak soleh. Balik ke berita. Aku, mbak Melisa, dan mas Trio pun
menunggu Direktur Perlindungan WNI, narasumber kita, namanya Lalu Muhammad
Iqbal (lagi-lagi nama yang unik). Baru aku tahu, ternyata benar yang dikatakan
Indah, teman magangku yang udah senior, kalau liputan di luar itu nggak enaknya
kebanyakan nunggu. Kalau pas kebetulan dapat jatah di KPK, ya harus nunggu
orang-orang KPK selesai rapat. Atau di kementerian apa, harus menunggu “orang
penting” itu selesai urusannya baru bisa wawancara. Bahkan di Kemenlu saja, aku
dan tim liputan dari tv-tv lain menunggu lebih dari satu jam. Dan itu yang kita
cuma duduk di sofa, nguap, celingak-celinguk, kluntang-kluntung nggak jelas.
Sesekali browsing seputar insiden di Mina biar tahu banyak informasi. Karena
untuk liputan seperti ini seorang wartawan harus tahu banyak informasi. Jangan
sampai ketika sudah tiba di lokasi justru bingung apa yang mau ditanyakan dan
apa yang mau diliput? Karena memang biasanya proyeksi atau perintah dari korlip
baru ada satu jam atau beberapa menit sebelum keberangkatan.
Begitu
narasumber keluar, kami para wartawan langsung diajak ke ruangan untuk
konferensi pers (konpers). Beberapa mic diletakkan di meja menghadap narsum,
begitu juga dengan kamera yang berjajar-jajar dengan kameramen masing-masing di
belakangnya. Begitu semua sudah siap, narsum langsung memberikan pernyataan
tentang korban tewas asal Indonesia yang ada di Mina, Arab Saudi. Setelah
selesai, para wartawan dipersilakan untuk bertanya. Ada yang bertanya kritis,
ada yang biasa-biasa saja. Saat itu aku lebih memilih diam dan banyak
memperhatikan. Untuk anak magang sepertiku ini rasanya lebih baik memperhatikan
dulu. Daripada bertanya tapi pertanyaannya salah, tidak berbobot, atau
pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan, itu justru akan memalukan.
Bukan hanya memalukan wajahku, tapi juga instansi yang kubawa, NET.
Setelah ke
Kemenlu, kami langsung terbang ke Kemenag untuk memastikan jawaban dari
Direktur Perlindungan WNI. Sekaligus menggali informasi lagi terkait korban
meninggal asal Indonesia yang ada di Mina. Yang sedikit heran di sini, gedung
dua lantai saja ternyata menggunakan lift. Padahal semula aku kira kami bakal
naik pakai tangga. Tapi sekalipun pakai lift, itu lift yang lumayan lama,
serasa naik lantai 5. Padahal cuma ke lantai 2 doang -_- *udah tua kali liftnya.
Dan lagi-lagi, di Kemenag ini kami bersama wartawan lainnya menunggu
narasumber. Sambil lesehan di sudut-sudut ruangan—persis seperti orang-orang
terlantar—para wartawan itu bercakap-cakap tentang berbagai topik pembicaraan. Aku,
mbak Melisa, dan mas Trio sendiri malah ngobrol soal persamaan kisah nabi-nabi
di Islam dan Kristen. Mbak Melisa cerita tentang nabi-nabi di agama Kristen,
sedangkan aku dan mas Trio di agama Islam. Awalnya kami hanya membicarakan soal
asal-usul Idul Adha, yaitu tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, namun
akhirnya justru merembet ke kisah nabi-nabi yang lain. Jika di agama Islam
diyakini anak Ibrahim yang akan disembelih adalah Ismail, namun di Kristen
dipercayai anak yang akan disembelih adalah Ishak. Wallahualam, kembali ke kepercayaan
masing-masing.
Setelah menunggu lebih dari satu jam narsum
tidak datang-datang juga, akhirnya mbak Melisa berinisiatif menelfon. Ternyata
narsum ada di gedung yang lain, namun masih dalam satu lingkungan kantor
Kemenag. Akhirnya semua wartawan pun berbondong-bondong keluar dan pindah
gedung. Begitu bertemu dengan narsum, segera mereka bergelut dengan alat
masing-masing. Kameramen dengan kameranya, reporter dengan mic-nya. Pertanyaan
demi pertanyaan meluncur. Satu yang menjadi perbincangan kami sewaktu keluar
gedung, yaitu tentang pertanyaan salah seorang reporter perempuan dari
infotaiment TV X yang hanya mengenakan kaus ketat, bukan baju formal. Dengan
situasi di kantor seperti itu aku rasa kurang tepat jika seorang reporter hanya
menggunakan kaus biasa. Dan yang menjadi lucu adalah pertanyaannya yang menurut
mas Trio dan mbak Melisa “kurang penting”. Hal ini menjadi pelajaran tersendiri
untukku. Jangan sampai seorang reporter menanyakan “pertanyaan bodoh”. Reporter
harus cerdas, dan selektif dalam memilih pertanyaan. Karena bisa jadi nama
instansi ditangguhkan di mata tv lain.
Pengalaman
liputan hari ketiga adalah bersama mbak Dyah dan mas Bagus. Liputan saat itu di
Pasar Santa tentang penjualan buku bekas untuk membantu perkembangan
perpustakaan anak-anak di Indonesia Timur. Menurutku ini liputan yang paling
cepat. Kami berangkat jam 4 sore dan magrib sudah selesai. Namun di tengah
perjalanan pulang, tepatnya sekitar jam 7 malam, kami mendapat kabar adanya
kebakaran di daerah Tambora, Jakarta Barat. Segera kami pun meluncur ke sana. Awalnya
excited banget. Asik, liputan kebakaran! Pasti seru. Bahkan sebelum turun, mbak
Dyah sempat bilang ke mas Bagus, “Selamat bekerja mas Bagus.”. “Selamat bekerja
juga, Dyah. Ini baru namanya perang.” jawab mas Bagus, seakan mereka akan
bertempur di medan perang yang sebenarnya. Dan ternyata benar, aku baru
merasakan medan tempur itu. Lebih ekstrrim dari yang kubayangkan sebelumnya...
Aku mengikuti
langkah mereka yang berjalan super cepat di depanku. Mas Bagus berjalan cepat dengan
kamera besarnya, mbak Dyah dengan persiapan menggali data, dan aku dengan
perasaan was-was. Aku membayangkan jika aku memakai rok saat itu, pasti sudah
kepontal-pontal. Sehingga aku kini mengerti alasan reporter mengenakan pakaian
ringkas, yaitu untuk memudahkan ruang gerak mereka. Kami berjalan cepat melalui
lautan manusia yang penasaran ingin menonton. Puluhan mobil pemadam kebakaran
pun ada di sepanjang jalan yang kami lalui. Kondisi jalan yang becek akibat air
berceceran dari mobil pemadam kebakaran membuatku berpikir, jadi reporter juga
harus siap kotor. Ini baru air yang tercecer di jalanan sepanjang jalan menuju
lokasi, gimana coba kalau banjir? Harus benar-benar terjun dan basah-basahan di
dalam air banjir. Langkah mas Bagus dan mbak Dyah semakin cepat, sampai-sampai
aku sedikit kewalahan menyamai langkah mereka. Bahkan beberapa kali mbak Dyah
menengok ke belakang, memastikan aku tidak ketinggalan.
Begitu
mendekati lokasi utama, suasana mencekam semakin terasa. Dari langit nan gelap
kulihat taburan abu dan percikan api yang melayang-layang di udara layaknya
kembang api. Dari padatnya rumah warga, memang tidak terlihat kobaran api,
namun nyala merah dari kobaran itu terlihat dengan jelas. Menantang di depan
mata. Di tengah kegelapan itu juga, orang-orang berteriak panik berusaha
mencari air untuk mengguyur api yang sulit sekali dipadamkan. Ada pula yang
berteriak kesal, meminta agar orang-orang menyingkir dari jalanan. Tak jarang
juga kudengar teriakan marah karena banyaknya “manusia tak berkepentingan” yang
hanya menyaksikan di jalan, bukan justru membantu mengangkut barang-barang
ataupun menyalurkan selang dari mobil pemadam. Melihat semua kepanikan itu,
hati ini terasa miris. Bodoh sekali jika tadi aku berpikir perjalanan ini akan
seru. Nyatanya, sekarang aku justru hanyut dalam kepanikan dan kecemasan
mereka. Dalam hati hanya bisa memohon dan berdoa agar api segera padam. Karena
ini bukan kebakaran kecil, melainkan kebakaran besar yang melibatkan
berpuluh-puluh rumah. Untuk orang-orang biasa, harusnya mereka menjauhi api.
Namun untuk wartawan justru sebaliknya. Baru kupahami, inilah salah satu
pekerjaan menantang maut.
Nyala dari kobaran api terlihat semakin jelas.
Tiba-tiba mbak Dyah menyuruhku berhenti dan menunggu di pinggir saja, sementara
ia dan mas Bagus masih terus berjalan mendekati titik api. Aku hanya bisa
terdiam pasrah. Satu sisi ingin melihat prosesi mereka mengambil gambar dan
menggali data di situasi yang serba panik seperti ini, di sisi lain aku tidak
boleh merepotkan dan membuat mereka cemas. Alhasil aku hanya berdiri di pinggir
jalan, di antara lalu lalang orang-orang yang berusaha memadamkan api. Kulihat
dari tempatku berdiri, beberapa orang ada di atas atap rumah. Mereka tampak
sekuat tenaga menyiramkan air pada api yang kurasa tak sebanding ukuran api.
Tak bisa kubayangkan jika api itu merembet dan justru mengenai mereka. Sungguh
perjuangan besar. Para lelaki yang bekerja keras bahu membahu memadamkan api.
Terkadang di situlah kekagumanku pada kaum adam. Andai saja aku bisa setangguh
mereka...
Pengalaman
liputan kebakaran cukup sampai jam 10 malam. Meski 3 jam lebih api belum bisa
dipadamkan, data yang digali pun belum sepenuhnya lengkap, namun mas Bagus dan
mbak Dyah memutuskan untuk menyudahi liputan. Tim liputan malam akan bergantian
meneruskan liputan kebakaran itu. Di dalam mobil, aku langsung menghembuskan
napas panjang. Sebuah pengalaman tak terduga, dan tak terlupakan.
Liputan selanjutnya
tak kalah menarik. Hari Minggu, sekalian jalan-jalan ke Bekasi. Kami ditugaskan
untuk liputan di daerah Bekasi, mencari korban PHK perusahaan yang gulung tikar
akibat tidak stabilnya ekonomi negara beberapa bulan terakhir. Kali ini liputan
dengan mas Fahmi dan mas Enda. Semula aku kira namanya Endah, jadi di pikiranku
adalah perempuan. Ketika aku masuk mobil, ada seorang mas-mas yang bingung
melihatku. Mungkin dikiranya aku salah naik mobil. “Ini benar mobil saya kan,
Pak?” tanya mas itu pada driver. Aku pun keluar dari mobil dan memastikan mas
Fahmi tidak salah menaruh barang. Ternyata memang benar, mas Fahmi menaruh
barang di mobil itu. Itu berarti aku tidak salah mobil. Dan “mas itu” juga
tidak salah mobil. Berarti, itu yang namanya Endah? Cowok to? Begitu kenalan kami langsung bertukar senyum geli. Ternyata
memang kami satu mobil. Dan namanya Enda, bukan Endah. Akhirnya kami pun
berangkat menuju Bekasi.
Di perjalanan,
kami bertiga sempat mengobrol seru (seru bagiku sih, nggak tau bagi mereka). Mas
Fahmi, yang semula aku kira orang Jawa—karena sikapnya yang perhatian—ternyata
justru orang Medan, namun memiliki darah Jawa dari neneknya. Sementara mas Enda
asli orang Medan, dan berasal dari suku Batak. Di antara tim liputan yang lain,
entah mengapa aku merasa paling nyaman dengan mereka berdua. Serasa memiliki
kakak laki-laki. Jika dengan tim liputan sebelum-sebelumnya aku lebih banyak
dikacangi—wajarlah, aku merupakan orang baru di antara mereka—namun dengan mas
Fahmi dan mas Enda, aku merasa lebih diayomi atau istilahnya “diorangkan”. Seperti
mas Enda, ia sering mengajakku bercanda. Pernah aku dibuat girang olehnya,
karena ia yang mencoba mengajakku mengobrol dengan bahasa Jawa, padahal ia
tidak bisa bahasa Jawa. Sehingga sepanjang liputan itu aku tidak pernah merasa
sendirian.
Liputan di
Bekasi pun menjadi pengalaman tersendiri. Di mana liputan-liputan sebelumnya
sudah jelas mau ke mana dan wawancara dengan siapa. Berbeda dengan liputan satu
ini. Saat itu kami belum tahu alamat mana dan dengan siapa kami wawancara.
Beberapa jam pun hanya dihabiskan untuk muter-muter Bekasi. Tanya orang
sana-sini, barangkali punya kenalan yang baru saja di PHK. Setelah bertanya di
lebih dari 4 tempat, akhirnya menemukan juga target yang dituju. Namanya Bapak
Syahwardi. Beliau di-PHK beberapa bulan lalu dan akhirnya kini membuka warung
kelontong untuk bertahan hidup. Kami pun meminta izin untuk melakukan wawancara
sekaligus membuat profil singkat tentang kegiatan sehari-hari Pak Syahwardi. Salutnya
dari bapak dari 4 anak ini, beliau terlihat begitu sabar dan menerima kondisi
yang ada. Beliau ternyata juga mengajar anak-anak mengaji di rumahnya tiap
sore. Satu yang membuatku sedikit miris adalah kondisi anaknya yang ketiga. Anak
itu mengidap penyakit diabetes mellitus. Pankreasnya tidak bisa menghasilkan
hormon insulin. Akibatnya, setiap mau makan, anak perempuan bernama A itu harus
disuntik insulin terlebih dahulu di perutnya. Tidak jarang ia menangis. Bahkan
saat kami berkunjung ke rumah Pak Syahwardi pun A tengah menangis lirih karena
minta minum es, tapi ibunya tidak mengizinkan karena A belum makan nasi. Dan
kalau mau makan nasi harus mau disuntik dulu. Aku tidak bisa membayangkan jika
kondisi itu terjadi padaku. Disuntik setiap hari? Sehari lebih dari 1 kali? Dan
itu selamanya? Astagfirullah... betapa fenomena itu memberikan pelajaran
berharga untukku.
Selesai kami
mewawancara Pak Syahwardi, kami ditawari makan soto oleh keluarga itu. Tidak
menyangka. Seharusnya kami yang memberikan souvenir atau semacamnya pada
keluarga Pak Syahwardi, eh ini malah kita yang diberi makan oleh mereka. Nikmat
Allah yang tak terduga. Seusai makan, kami pun pamit pulang. Setelah sebelumnya
meminta alamat lengkap Pak Syahwardi untuk mengirim souvenir dari NET nantinya.
Begitulah,
cerita empat hari liputan pertama sebagai anak magang. Semoga liputan ke depan
bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak.
Jakarta, 30
September 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar