30 September 2015

Liputan Kebakaran Bersama Tim Daily NET.



Banyak hal baru yang aku dapat selama liputan empat hari ini bersama tim daily. Liputan pertama adalah hari Kamis, saat Idul Adha. Aku liputan bersama mas Cauzsa. “Nama yang unik.” pikirku saat itu. Kami liputan di masjid Istiqlal Jakarta untuk meliput penyembelihan sapi kurban pak Jokowi. Saat itu aku ditugaskan untuk stand by jam 1 siang di P3 (parkir lantai 3) tepatnya di ruang logistik NET. Di sana aku hanya duduk diam, kedinginan, sambil menunggu perintah dari korlip (koordinator liputan) akan ditugaskan ke mana, karena awalnya memang belum tau mau ke mana. Begitu sudah ada proyeksi atau gambaran dari korlip, kami pun langsung berangkat. Kami berangkat tepatnya jam 3 sore. Setelah muter-muter karena ada suatu hal, akhirnya baru sampai di Istiqlal jam 5 sore. Itu adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di halaman masjid Istiqlal. “Subhanallah, terima kasih Allah atas nikmat dan karunia-Mu. Engkau izinkan aku untuk bisa merasakan suasana masjid terbesar dan fenomenal di Jakarta ini.” batiknku ketika itu. Memang enak liputan. Salah satu keuntungannya kita bisa jalan-jalan gratis dan tau banyak tempat.

Begitu sampai di Istiqlal kami langsung menuju tempat penyembelihan sapi kurban, termasuk sapi kurban Presiden Jokowi yang beratnya 1,3 ton. Ternyata di sana sudah ada banyak mobil dari TV lain, seperti TV One, Kompas TV, CNN, dan Berita Satu. Di sana mas Causza langsung bertegur sapa dengan kawan-kawan reporter dari TV lain. Ternyata memang benar yang dikatakan mas Vandi. Antara reporter TV satu dengan yang lain biasanya sudah saling kenal, karena sering terlibat dalam satu liputan bersamaan. Sekalipun mereka belum kenal, biasanya mereka bisa langsung akrab. Mereka akan berkenalan dan membicarakan kawan-kawan lain yang bekerja di TV teman barunya itu. “Mbak Y mana? Biasanya liputan di sini? Oh, liputan sendirian? Kemarin gue ketemu dia di bla bla bla...” Begitulah...
Liputan hari pertama, lumayan. Hal mengesankan yang didapat adalah tentang penyembelihan sapi. Sebelumnya aku adalah orang yang sangat anti menonton penyembelihan sapi ataupun kambing. Dulu, di saat teman-teman sebaya berbondong-bondong ingin melihat prosesi penyembelihan kurban saat Idul Adha, aku lebih memilih mengurung diri di rumah. Bahkan dulu ketika aqiqah adik, aku sempat kabur dari rumah karena tidak berani melihat penyembelihan kambing. *mungkin tepatnya nggak tega kali ya? Tapi di sini, begitu mendapat tugas ke penyembelihan sapi kurban Jokowi, awalnya sempat ragu. Tapi yah, namanya juga tuntutan kerja. Harus bisa profesional. Mau tidak mau harus berani melihat proses penyembelihan (walaupun ujung-ujungnya tetep merem juga). Kesan yang kedua adalah untuk pertama kalinya aku memegangi microfon NET saat wawancara narasumber. Bersamaan dengan reporter-reporter yang lain, aku menyodori mic pada dokter hewan dan ketua panitia pelaksana yang menjadi narasumber. Walaupun hanya bertugas menyodori mic saja, tapi rasanya itu... ah, sesuatu banget lah. Baru tahu, ternyata megang mic itu pegel juga. Apalagi kalau narsum ngomongnya panjang lebar dan lama. Nggak heran kalau para reporter sering menyangga lengan mereka dengan tangan yang satunya ketika wawancara. Pegel!
Dan ternyata, enaknya ketika liputan bersama tv-tv lain, pekerjaan kita biasanya jadi lebih ringan. Pertanyaan yang ingin kita tanyakan pada narasumber biasanya sudah diwakili oleh reporter lain. Jadi kita tinggal menunggu si “bapak” selesai ngomong saja, udah dapat semua informasi, hehe. Seusai wawancara, biasanya para wartawan langsung menanyai nama lengkap dan jabatan narsum (jangan sampai ada salah penulisan, jadi harus dikonfirmasi lagi ke narsum, benar tulisannya seperti ini?), dan juga memintai nomor HP, barangkali ada yang perlu ditanyakan atau dikonfirmasi lagi.
Liputan kedua adalah ke Kementerian Luar Negeri untuk update informasi seputar insiden di Mina yang menewaskan ratusan orang. Lagi-lagi ke tempat baru. Untuk pertama kalinya aku berdiri di halaman kantor Kemenlu. Kalau nggak pas liputan gini, kapan lagi coba masuk ke kantor-kantor pemerintahan? Dan baru saat itu aku tahu, ternyata di Kemenlu ada juga ruang transit untuk pers. Jadi di sana disediakan makanan kecil, dan minuman seperti kopi, teh, air putih, em... pokoknya nyaman deh. Udah suasananya sejuk, fasilitasnya juga josh! Haha *rejeki anak soleh. Balik ke berita. Aku, mbak Melisa, dan mas Trio pun menunggu Direktur Perlindungan WNI, narasumber kita, namanya Lalu Muhammad Iqbal (lagi-lagi nama yang unik). Baru aku tahu, ternyata benar yang dikatakan Indah, teman magangku yang udah senior, kalau liputan di luar itu nggak enaknya kebanyakan nunggu. Kalau pas kebetulan dapat jatah di KPK, ya harus nunggu orang-orang KPK selesai rapat. Atau di kementerian apa, harus menunggu “orang penting” itu selesai urusannya baru bisa wawancara. Bahkan di Kemenlu saja, aku dan tim liputan dari tv-tv lain menunggu lebih dari satu jam. Dan itu yang kita cuma duduk di sofa, nguap, celingak-celinguk, kluntang-kluntung nggak jelas. Sesekali browsing seputar insiden di Mina biar tahu banyak informasi. Karena untuk liputan seperti ini seorang wartawan harus tahu banyak informasi. Jangan sampai ketika sudah tiba di lokasi justru bingung apa yang mau ditanyakan dan apa yang mau diliput? Karena memang biasanya proyeksi atau perintah dari korlip baru ada satu jam atau beberapa menit sebelum keberangkatan.
Begitu narasumber keluar, kami para wartawan langsung diajak ke ruangan untuk konferensi pers (konpers). Beberapa mic diletakkan di meja menghadap narsum, begitu juga dengan kamera yang berjajar-jajar dengan kameramen masing-masing di belakangnya. Begitu semua sudah siap, narsum langsung memberikan pernyataan tentang korban tewas asal Indonesia yang ada di Mina, Arab Saudi. Setelah selesai, para wartawan dipersilakan untuk bertanya. Ada yang bertanya kritis, ada yang biasa-biasa saja. Saat itu aku lebih memilih diam dan banyak memperhatikan. Untuk anak magang sepertiku ini rasanya lebih baik memperhatikan dulu. Daripada bertanya tapi pertanyaannya salah, tidak berbobot, atau pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan, itu justru akan memalukan. Bukan hanya memalukan wajahku, tapi juga instansi yang kubawa, NET.
Setelah ke Kemenlu, kami langsung terbang ke Kemenag untuk memastikan jawaban dari Direktur Perlindungan WNI. Sekaligus menggali informasi lagi terkait korban meninggal asal Indonesia yang ada di Mina. Yang sedikit heran di sini, gedung dua lantai saja ternyata menggunakan lift. Padahal semula aku kira kami bakal naik pakai tangga. Tapi sekalipun pakai lift, itu lift yang lumayan lama, serasa naik lantai 5. Padahal cuma ke lantai 2 doang -_- *udah tua kali liftnya. Dan lagi-lagi, di Kemenag ini kami bersama wartawan lainnya menunggu narasumber. Sambil lesehan di sudut-sudut ruangan—persis seperti orang-orang terlantar—para wartawan itu bercakap-cakap tentang berbagai topik pembicaraan. Aku, mbak Melisa, dan mas Trio sendiri malah ngobrol soal persamaan kisah nabi-nabi di Islam dan Kristen. Mbak Melisa cerita tentang nabi-nabi di agama Kristen, sedangkan aku dan mas Trio di agama Islam. Awalnya kami hanya membicarakan soal asal-usul Idul Adha, yaitu tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, namun akhirnya justru merembet ke kisah nabi-nabi yang lain. Jika di agama Islam diyakini anak Ibrahim yang akan disembelih adalah Ismail, namun di Kristen dipercayai anak yang akan disembelih adalah Ishak. Wallahualam, kembali ke kepercayaan masing-masing.
 Setelah menunggu lebih dari satu jam narsum tidak datang-datang juga, akhirnya mbak Melisa berinisiatif menelfon. Ternyata narsum ada di gedung yang lain, namun masih dalam satu lingkungan kantor Kemenag. Akhirnya semua wartawan pun berbondong-bondong keluar dan pindah gedung. Begitu bertemu dengan narsum, segera mereka bergelut dengan alat masing-masing. Kameramen dengan kameranya, reporter dengan mic-nya. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur. Satu yang menjadi perbincangan kami sewaktu keluar gedung, yaitu tentang pertanyaan salah seorang reporter perempuan dari infotaiment TV X yang hanya mengenakan kaus ketat, bukan baju formal. Dengan situasi di kantor seperti itu aku rasa kurang tepat jika seorang reporter hanya menggunakan kaus biasa. Dan yang menjadi lucu adalah pertanyaannya yang menurut mas Trio dan mbak Melisa “kurang penting”. Hal ini menjadi pelajaran tersendiri untukku. Jangan sampai seorang reporter menanyakan “pertanyaan bodoh”. Reporter harus cerdas, dan selektif dalam memilih pertanyaan. Karena bisa jadi nama instansi ditangguhkan di mata tv lain.


Pengalaman liputan hari ketiga adalah bersama mbak Dyah dan mas Bagus. Liputan saat itu di Pasar Santa tentang penjualan buku bekas untuk membantu perkembangan perpustakaan anak-anak di Indonesia Timur. Menurutku ini liputan yang paling cepat. Kami berangkat jam 4 sore dan magrib sudah selesai. Namun di tengah perjalanan pulang, tepatnya sekitar jam 7 malam, kami mendapat kabar adanya kebakaran di daerah Tambora, Jakarta Barat. Segera kami pun meluncur ke sana. Awalnya excited banget. Asik, liputan kebakaran! Pasti seru. Bahkan sebelum turun, mbak Dyah sempat bilang ke mas Bagus, “Selamat bekerja mas Bagus.”. “Selamat bekerja juga, Dyah. Ini baru namanya perang.” jawab mas Bagus, seakan mereka akan bertempur di medan perang yang sebenarnya. Dan ternyata benar, aku baru merasakan medan tempur itu. Lebih ekstrrim dari yang kubayangkan sebelumnya...
Aku mengikuti langkah mereka yang berjalan super cepat di depanku. Mas Bagus berjalan cepat dengan kamera besarnya, mbak Dyah dengan persiapan menggali data, dan aku dengan perasaan was-was. Aku membayangkan jika aku memakai rok saat itu, pasti sudah kepontal-pontal. Sehingga aku kini mengerti alasan reporter mengenakan pakaian ringkas, yaitu untuk memudahkan ruang gerak mereka. Kami berjalan cepat melalui lautan manusia yang penasaran ingin menonton. Puluhan mobil pemadam kebakaran pun ada di sepanjang jalan yang kami lalui. Kondisi jalan yang becek akibat air berceceran dari mobil pemadam kebakaran membuatku berpikir, jadi reporter juga harus siap kotor. Ini baru air yang tercecer di jalanan sepanjang jalan menuju lokasi, gimana coba kalau banjir? Harus benar-benar terjun dan basah-basahan di dalam air banjir. Langkah mas Bagus dan mbak Dyah semakin cepat, sampai-sampai aku sedikit kewalahan menyamai langkah mereka. Bahkan beberapa kali mbak Dyah menengok ke belakang, memastikan aku tidak ketinggalan.

Begitu mendekati lokasi utama, suasana mencekam semakin terasa. Dari langit nan gelap kulihat taburan abu dan percikan api yang melayang-layang di udara layaknya kembang api. Dari padatnya rumah warga, memang tidak terlihat kobaran api, namun nyala merah dari kobaran itu terlihat dengan jelas. Menantang di depan mata. Di tengah kegelapan itu juga, orang-orang berteriak panik berusaha mencari air untuk mengguyur api yang sulit sekali dipadamkan. Ada pula yang berteriak kesal, meminta agar orang-orang menyingkir dari jalanan. Tak jarang juga kudengar teriakan marah karena banyaknya “manusia tak berkepentingan” yang hanya menyaksikan di jalan, bukan justru membantu mengangkut barang-barang ataupun menyalurkan selang dari mobil pemadam. Melihat semua kepanikan itu, hati ini terasa miris. Bodoh sekali jika tadi aku berpikir perjalanan ini akan seru. Nyatanya, sekarang aku justru hanyut dalam kepanikan dan kecemasan mereka. Dalam hati hanya bisa memohon dan berdoa agar api segera padam. Karena ini bukan kebakaran kecil, melainkan kebakaran besar yang melibatkan berpuluh-puluh rumah. Untuk orang-orang biasa, harusnya mereka menjauhi api. Namun untuk wartawan justru sebaliknya. Baru kupahami, inilah salah satu pekerjaan menantang maut.
 Nyala dari kobaran api terlihat semakin jelas. Tiba-tiba mbak Dyah menyuruhku berhenti dan menunggu di pinggir saja, sementara ia dan mas Bagus masih terus berjalan mendekati titik api. Aku hanya bisa terdiam pasrah. Satu sisi ingin melihat prosesi mereka mengambil gambar dan menggali data di situasi yang serba panik seperti ini, di sisi lain aku tidak boleh merepotkan dan membuat mereka cemas. Alhasil aku hanya berdiri di pinggir jalan, di antara lalu lalang orang-orang yang berusaha memadamkan api. Kulihat dari tempatku berdiri, beberapa orang ada di atas atap rumah. Mereka tampak sekuat tenaga menyiramkan air pada api yang kurasa tak sebanding ukuran api. Tak bisa kubayangkan jika api itu merembet dan justru mengenai mereka. Sungguh perjuangan besar. Para lelaki yang bekerja keras bahu membahu memadamkan api. Terkadang di situlah kekagumanku pada kaum adam. Andai saja aku bisa setangguh mereka...


Pengalaman liputan kebakaran cukup sampai jam 10 malam. Meski 3 jam lebih api belum bisa dipadamkan, data yang digali pun belum sepenuhnya lengkap, namun mas Bagus dan mbak Dyah memutuskan untuk menyudahi liputan. Tim liputan malam akan bergantian meneruskan liputan kebakaran itu. Di dalam mobil, aku langsung menghembuskan napas panjang. Sebuah pengalaman tak terduga, dan tak terlupakan.
Liputan selanjutnya tak kalah menarik. Hari Minggu, sekalian jalan-jalan ke Bekasi. Kami ditugaskan untuk liputan di daerah Bekasi, mencari korban PHK perusahaan yang gulung tikar akibat tidak stabilnya ekonomi negara beberapa bulan terakhir. Kali ini liputan dengan mas Fahmi dan mas Enda. Semula aku kira namanya Endah, jadi di pikiranku adalah perempuan. Ketika aku masuk mobil, ada seorang mas-mas yang bingung melihatku. Mungkin dikiranya aku salah naik mobil. “Ini benar mobil saya kan, Pak?” tanya mas itu pada driver. Aku pun keluar dari mobil dan memastikan mas Fahmi tidak salah menaruh barang. Ternyata memang benar, mas Fahmi menaruh barang di mobil itu. Itu berarti aku tidak salah mobil. Dan “mas itu” juga tidak salah mobil. Berarti, itu yang namanya Endah? Cowok to? Begitu kenalan kami langsung bertukar senyum geli. Ternyata memang kami satu mobil. Dan namanya Enda, bukan Endah. Akhirnya kami pun berangkat menuju Bekasi.
Di perjalanan, kami bertiga sempat mengobrol seru (seru bagiku sih, nggak tau bagi mereka). Mas Fahmi, yang semula aku kira orang Jawa—karena sikapnya yang perhatian—ternyata justru orang Medan, namun memiliki darah Jawa dari neneknya. Sementara mas Enda asli orang Medan, dan berasal dari suku Batak. Di antara tim liputan yang lain, entah mengapa aku merasa paling nyaman dengan mereka berdua. Serasa memiliki kakak laki-laki. Jika dengan tim liputan sebelum-sebelumnya aku lebih banyak dikacangi—wajarlah, aku merupakan orang baru di antara mereka—namun dengan mas Fahmi dan mas Enda, aku merasa lebih diayomi atau istilahnya “diorangkan”. Seperti mas Enda, ia sering mengajakku bercanda. Pernah aku dibuat girang olehnya, karena ia yang mencoba mengajakku mengobrol dengan bahasa Jawa, padahal ia tidak bisa bahasa Jawa. Sehingga sepanjang liputan itu aku tidak pernah merasa sendirian.
Liputan di Bekasi pun menjadi pengalaman tersendiri. Di mana liputan-liputan sebelumnya sudah jelas mau ke mana dan wawancara dengan siapa. Berbeda dengan liputan satu ini. Saat itu kami belum tahu alamat mana dan dengan siapa kami wawancara. Beberapa jam pun hanya dihabiskan untuk muter-muter Bekasi. Tanya orang sana-sini, barangkali punya kenalan yang baru saja di PHK. Setelah bertanya di lebih dari 4 tempat, akhirnya menemukan juga target yang dituju. Namanya Bapak Syahwardi. Beliau di-PHK beberapa bulan lalu dan akhirnya kini membuka warung kelontong untuk bertahan hidup. Kami pun meminta izin untuk melakukan wawancara sekaligus membuat profil singkat tentang kegiatan sehari-hari Pak Syahwardi. Salutnya dari bapak dari 4 anak ini, beliau terlihat begitu sabar dan menerima kondisi yang ada. Beliau ternyata juga mengajar anak-anak mengaji di rumahnya tiap sore. Satu yang membuatku sedikit miris adalah kondisi anaknya yang ketiga. Anak itu mengidap penyakit diabetes mellitus. Pankreasnya tidak bisa menghasilkan hormon insulin. Akibatnya, setiap mau makan, anak perempuan bernama A itu harus disuntik insulin terlebih dahulu di perutnya. Tidak jarang ia menangis. Bahkan saat kami berkunjung ke rumah Pak Syahwardi pun A tengah menangis lirih karena minta minum es, tapi ibunya tidak mengizinkan karena A belum makan nasi. Dan kalau mau makan nasi harus mau disuntik dulu. Aku tidak bisa membayangkan jika kondisi itu terjadi padaku. Disuntik setiap hari? Sehari lebih dari 1 kali? Dan itu selamanya? Astagfirullah... betapa fenomena itu memberikan pelajaran berharga untukku.
Selesai kami mewawancara Pak Syahwardi, kami ditawari makan soto oleh keluarga itu. Tidak menyangka. Seharusnya kami yang memberikan souvenir atau semacamnya pada keluarga Pak Syahwardi, eh ini malah kita yang diberi makan oleh mereka. Nikmat Allah yang tak terduga. Seusai makan, kami pun pamit pulang. Setelah sebelumnya meminta alamat lengkap Pak Syahwardi untuk mengirim souvenir dari NET nantinya.
Begitulah, cerita empat hari liputan pertama sebagai anak magang. Semoga liputan ke depan bisa mendapatkan pengalaman lebih banyak.

Jakarta, 30 September 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar