25 September 2015

Ketemu Reza Rahardian!

Hari itu, hari Jumat 11 September, tidak menyangka akan menjadi hari yang spesial. Ternyata memang benar, Jumat hari yang berkah, haha. Di hari itu aku mendapatkan 2 moment spesial, yang pertama karena liputan konser Bon Jovi (walaupun hanya liputan keramaian doang), dan yang kedua karena bertemu dengan Reza Rahardian. Spesial! Benar-benar spesial!!!
Malam itu, malam menjelang hari Jumat, malam menjelang tanggal 11 September, aku tak bisa tidur. Entah kenapa, aku sendiri tidak tahu. Padahal aku tipe orang yang pelor alias ngantukan. Cepat sekali untuk tidur. Namun entah kenapa berbeda untuk hari itu. Aku baru bisa tidur jam 1 malam, dan terbangun jam 3 pagi. Aku terbangun mungkin karena pertama panas, di kos memang udaranya panas banget, dan kedua karena tidurku nggak nyaman. 

Teman sekamarku tidurnya “lincah”, sampai tak sengaja aku bisa terguling dari kasur. Dan karena sudah terlanjur tidak nyaman tidur, kuputuskan untuk bangun saja. Aku bangun, membuka laptop, dan kembali menulis. Menulis perjalananku selama di Jakarta, barangkali bisa menginspirasi dan bermanfaat untuk orang lain.
Setelah satu jam menulis dan main gadget, jam 4 pagi aku mulai mendengar suara “tengklothek” dari dapur. Mungkin ibu yang punya warung di depan kos sudah mulai memasak. Akhirnya kuputuskan untuk menemani ibu itu saja. Lagipula sudah beberapa hari semenjak di sini aku memang berniat ingin mengobrol banyak dengan ibu itu. Hitung-hitung silaturahim dengan “tetangga”. Anggaplah ia adalah tetanggaku di sini. Daripada hidup individualis, menyendiri di kamar kos tanpa bersosialisasi dengan orang lain, hidup akan terasa hampa dan tak berarti. Syukur-syukur kalau bisa akrab dan menjadi saudara, bukankah akan terasa lebih indah? Bukankah itu juga yang diajarkan Islam, untuk menjalin ukhuwah yang baik dengan sesama? Akhirnya aku pun bergegas mendekati ibu itu dan mulai mengajak ngobrol. “Saya temani masak ya Bu, ya... Daripada nggak bisa tidur di kamar.” kataku mengawali obrolan. Ibu itu tersenyum ramah sambil mengangguk, dan kembali melanjutkan memasak. Aku pun menemaninya sambil sesekali bertanya tentang perjalanan hidupnya di tanah rantau Jakarta ini. Maklum, obrolan yang nyambung ya hanya itu, karena sama-sama perantau dan sama-sama asli orang Jawa.
Tak lama setelah itu datang dua orang gadis belia berumur 16 dan 18 tahun. Mereka adalah pekerja di warung ini. Akhirnya kusapa mereka dan kuajak kenalan. Sebenarnya semenjak tiba di sini aku sering bertukar sapa dan senyum pada mereka berdua, sekedar say “hai” dan “misi yaa”, namun kami belum saling kenal saat itu. Dan akhirnya kini niatku untuk berkenalan dengan mereka terkabul sudah. Ternyata mereka adalah saudara sepupu. Yang putih cantik, namanya Iis, dia yang lebih tua. Sementara yang kecil namun berperawakan lebih besar dari Iis, dia hitam tapi manis, namanya Ela. Kami pun terlibat dalam obrolan yang cukup menyenangkan (bagiku) sambil “methiki” lombok alias mengupas batang cabai (tuh kan, terkadang bahasa Jawa lebih ringkas dari bahasa Indonesia). Dalam obrolan itu kami membicarakan tentang perjalanan merantau juga (seakan tidak ada topik pembicaraan lain), namun menariknya adalah mereka sudah merantau untuk bekerja di usia mereka yang masih sangat muda. Bahkan mereka hanya lulusan SMP. Bagaimana aku bisa tidak miris mendengarnya? Aku adalah salah satu orang yang sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan pendidikan, namun kini aku mendengar dan melihat di hadapanku ada dua gadis yang hanya lulusan SMP. Saat kutanya alasan mereka putus sekolah dan tidak melanjutkan SMA/SMK, lagi-lagi karena masalah biaya. Kudengar di daerah mereka, Tegal, biaya SMA sangat mahal, sekitar 300-500 ribu per bulan. Sangat berbeda dengan di Jogja yang hanya 100-300 ribu. Namun karena memang sudah terlanjur putus sekolah, aku tak mungkin mendoktrin mereka dengan kata-kata “betapa pentingnya pendidikan”, akhirnya aku hanya bisa memotivasi mereka dengan kata-kata “man jadda wa jadda”, yang penting sekarang usaha dan bekerja keras, besok pasti akan berhasil. Aku pun menceritakan kisah salah seorang teman ayahku yang dia hanya lulusan SD (bahkan SD saja tidak lulus) namun kini bisa menjadi orang kaya raya karena berkat usahanya.
Menjelang jam 6 pagi, setelah melalui obrolan yang panjang dengan Iis dan Ela, aku pun berpamitan dan kembali ke kamar kosku. Berhubung sedang tidak solat, akhirnya aku kembali tidur, menyiapkan tenagaku untuk liputan Bon Jovi. Setelah bangun di siang harinya, aku berniat membelikan teman sekamar kosku roti tawar dan makanan cemilan. Hitung-hitung sodaqoh dan sebagai wujud terima kasihku padanya karena sudah memberikan tumpangan tidur. Begitu aku pulang dari minimarket, aku teringat pada Iis dan Ela. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan satu bungkus wafer untuk mereka. Hanya satu bungkus itu saja, mereka bisa tersenyum cerah, meski sebelumnya sempat menolak. Betapa indah persaudaraan ini ya Tuhan... bisa membuat orang lain tersenyum senang, seakan menjadi kebahagiaan tersendiri. Setelah itu aku pun bersiap-siap pergi ke kantor untuk liputan.
Setiba di kantor, ketika melewati ruang make up, tak kusangka... aku benar-benar dikejutkan oleh satu pemandangan. Pemandangan asing yang bisa membuat mataku terbuka lebar dan jantungku yang mulai berdegup tak wajar. Ada Reza Rahardian di ruang make up!!! OMG! Sekejap aku menggigit bibir gemas, rasanya ingin berteriak namun tak bisa. Akhirnya aku berjalan cepat menuju ruanganku dan segera menceritakan yang terjadi pada Ayuk, teman magangku. Saat itu Ayuk dengan wajah datarnya menjawab, “Emang iya, Reza kan jadi bintang tamu di Sarah Sechan hari ini.”
“Serius?” tanyaku dengan wajah berbinar-binar.
“Iyaa.” jawab Ayuk yang seketika membuatku semakin bungah.
Saat itu terlintas di benakku untuk foto bersama Reza, sosok artis yang cukup kukagumi karena kelihaiannya dalam berakting di semua filmnya. Tapiii... yang menjadi ganjalan adalah... aku malu. Takut juga kalau nanti ditolak. Karena sebelumnya aku pernah ditolak oleh seorang penulis cukup terkenal saat ingin wawancara, dan itu cukup membuatku kecewa hingga sekarang. Maka dari itu aku trauma jika harus ditolak untuk kedua kalinya. Untuk itu, kuputuskan untuk tidak usah foto bersama. Cukup dengan melihatnya saja di live hari ini.
Pukul 1 siang, kulangkahkan kakiku menuju studio Sarah Sechan. Di sana sudah ada banyak penonton bayaran. Aku pun menunggu. Begitu acara mulai dan Reza dipanggil maju oleh Sarah Sechan, aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan sambil tersenyum kagum. Sudahlah, tak apa tak bisa foto bersama. Setidaknya aku bisa memfotonya langsung dari studio sebagai kenang-kenangan, batinku menghibur diri.

Siang itu akhirnya aku menonton Sarah Sechan yang live dari studio. Untung saja aku magang, jadi lebih mudah keluar masuk studio layaknya kru. Selama satu jam—dari jam 1-2 siang—aku hanya bisa memandangi Reza yang sedang digombali Sarah Sechan sambil senyam-senyum. Saat itu sedang membahas soal 10 tahun Reza berkarir di dunia akting dan perfilman. Reza pun ditantang untuk memainkan berbagai karakter yang pernah dibintanginya. Yang semakin membuatku terkagum adalah ia bisa dengan begitu mudah membawakan berbagai peran dengan karakter berbeda-beda, mulai dari peran Habibi, Cokroaminoto, Fikri, dan peran-peran yang lain.

Begitu selesai acara, Reza pun turun dari panggung. Sebentar lagi dia menuju sini, berjalan lewat di sampingku. Ah... senangnya! Walaupun sebenarnya itu cukup lebay. *apa bagusnya cuma dilewatin artis? Begitu Reza lewat di sampingku, aku hanya bisa menahan rasa bahagia dan gemuruh di dadaku. Sial! Hanya dilewatin gini aja deg-degannya setengah mati. Gimana kalau diajak ngobrol? pikirku. Setelah lewat, aku hanya bisa menatap punggung Reza yang tegap dengan tatapan hampa. Keinginan untuk bisa foto sirna sudah. Biarlah tak bisa foto. Lagipula apa hebatnya foto bareng? Hebat itu kalau bisa main film bareng sama dia jadi lawan mainnya, itu baru keren... haha. *impian konyol seorang Eki :D
Setelah Reza berjalan beberapa langkah melewatiku, tiba-tiba aku melihat Reza dihampiri oleh seorang mbak-mbak yang mengajaknya berfoto. Aku pun hanya lewat dengan wajah mupeng, namun tetap berusaha menghibur diri untuk tidak berfoto. Pasti hanya salah satu fans Reza yang jadi penonton bayaran, pikirku. Begitu melihat ternyata mbak-mbak tadi adalah temanku, kru NET CJ, mataku langsung melotot. “Kak Fani?” pekikku dalam hati. Di depan kak Fani ternyata juga ada Ayuk, mas Willi (kru NET CJ), dan mbak Eka (korlip NET). Semuanya foto bergantian satu per satu. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, akhirnya aku pun sekalian ikut nebeng foto. Mumpung ada yang fotoin juga (big thanks for mas Willi).


Sesi foto selesai. Kini aku hanya bisa senyam-senyum memandangi foto itu di ponselku dengan bungah. Benar-benar tidak menyangka bisa foto bersama Reza Rahardian. Padahal sebelumnya niat untuk foto sudah pupus. “Mimpi apa kau semalam?” kata salah seorang sahabat yang mengomentari foto DP ku bersama Reza. Saat itu aku langsung mengingat-ingat, iya yah? Mimpi apa aku semalam? “Nggak mimpi apa-apa. Gimana mau ngimpi, orang semalam nggak bisa tidur.” kataku pada diri sendiri. Seketika aku langsung tersadar. Jangan-jangan... aku tidak bisa tidur semalaman adalah tanda-tanda akan menerima kejutan spesial ini? Bisa foto dengan Reza dan liputan Bon Jovi? Haha, bisa saja. Barangkali Allah memang sengaja ingin memberiku kejutan hari ini. Atau mungkin juga... ini sebagai balasan dari sedekah kecil yang kuberikan pada Iis dan Ela pagi ini? Bisa jadi. Wallahualam.

Jakarta, 22 September 2015.

1 komentar: