4 Maret 2017

DARI BONEKA, JADI ANAK MANUSIA


“Aku yang jadi ranger merah ya! Kamu ranger apa?” ucapku.
“Aku ranger kuning.”
“Oke. Kita mulai ya. Ceritanya aku masih tidur di rumah,” akhirku sambil menutup pintu kemudian berpura-pura tidur.

Begitulah, percakapan yang sebenarnya terjadi dalam bahasa Jawa belasan tahun lalu. Aku cewek. Iya, aku tahu aku cewek. Dia juga cewek. Entah hal aneh bukan kalau kami bermain peran jadi power ranger gitu. Sepertinya aku harus berterima kasih pada Indosiar, RCTI, dan stasiun TV lainnya yang rutin menyiarkan kartun anak-anak tiap Minggu pagi, sehingga berhasil melatihku bermain peran dan drama sejak kecil. Ya, tentu saja, bersama teman masa kecilku.


Aku juga yakin kamu punya teman masa kecil. Meski entah sampai sekarang kalian masih bersama atau tidak. Karena ada beberapa orang yang memang mempunya teman masa kecil yang awet sampai dewasa layaknya Rachel dan Farel di “My Heart”. Tapi temanku ini, well, aku kehilangan kontaknya selama bertahun-tahun. Dia tinggal di Bogor, sementara aku di Jogja. Dan jaman dulu emang belum ada handphone, kan? Jadi yaa, aku sama sekali nggak bisa hubungi dia. Tapi, tepat 28 Februari 2017 kemarin, aku menemui sebuah inbox di facebook. Seorang perempuan mengirimiku pesan pribadi. Isinya, “Sudah lupakah anda dgn saya? Hingga permintaan pertemanan pun selalu diabaikan.”

Awalnya aku bingung, tidak merasa kenal dengan perempuan itu. Pun tidak merasa menolak permintaan pertemanan. Tapi begitu melihat nama depannya, dan aku perhatikan wajahnya, seketika aku terbelalak senang. Terkejut menyadari dia adalah teman lamaku. Tetangga yang setiap hari bermain denganku. Dulu. Teman yang mempunya huruf depan sama denganku. Jadi, aku punya satu geng, beranggotakan 3 orang. Itu karena nama kita berawalan huruf “E” dan memiliki tiga digit. Eki, Ev*, dan Ek*.

Permainan favorit kami bertiga adalah bermain peran. Terkadang menjadi power ranger, terkadang menjadi peri—karena waktu itu booming banget sinetron “Bidadari” yang dibintangi Marsyanda—dan weird permainan lainnya. Ya, begitulah. Masa kecil menyenangkan layaknya anak kecil lain. Tertawa, marahan, baikan. Segala barang pun bisa diimajinasikan layaknya benda lain. Tempat pensil jadi handphone, batang kayu jadi tongkat peri, kardus bekas bisa jadi sayap, lubang di tangga jadi lorong waktu, boneka jadi bayi, dan sebagainya.

Kini, kami sudah berumur. *wedeew, kayak udah jenggotan aja. Sudah waktunya... mempunyai pasangan masing-masing. Baiklah, di antara kami bertiga, SUDAH JELAS, aku sendiri yang belum punya anak. Boro-boro nimang anak, nikah aja belom. Oke, ini bisa dipahami. Kedua teman masa kecilku menghabiskan pendidikan mereka hingga jenjang SMA. Hingga tidak ada alasan lagi—mungkin—untuk mereka menolak lamaran orang. Sementara aku—berhubung masih kuliah, tapi sekarang udah enggak ding—punya alasan tertentu untuk menunda lamaran orang *alamaak kayak udah banyak aja yang ngelamar.

Tapi yang jelas, untuk kalian berdua, teman lamaku... Ev* dan Ek*. Aku tahu kehidupan kita sudah berbeda. Sudah tidak semanis dulu lagi. Hah, mana bisa kita bermain drama dan pura-pura nangis lagi? Yang ada mah nangis beneran sekarang. Kalau dulu hanya nimang boneka, sekarang nimang anak manusia. Terlebih hidup kalian, pasti lebih kompleks, ya, dengan tetek bengek rumah tangga?

Aku memang tidak merasakan bagaimana menjalani rumah tangga di bawah usia 20 tahun, tapi aku mengerti. Pasti berat ya, untuk mengontrol ego kita dengan pasangan? Tapi, hey, segala sesuatu bisa dibicarakan dengan baik. Komunikasi yang baik menurutku bisa jadi hal penting saat kita ada masalah dengan pasangan. Ya, itu setahuku. Bicara baik-baik, dengan kepala dingin, dengan kata-kata yang halus, dan diskusikan apa yang terbaik untuk rumah tangga ke depan. Dan, jika masih susah juga. Pasrahkan pada-Nya. Minta pada-Nya untuk memberi kemudahan. Dekatkan diri pada-Nya. Barangkali Allah memberi ujian karena ingin mengingatkan supaya kita mendekat pada-Nya?

So, keep smile kawan-kawan kecilku...
Tak ada teman cerita? Kalian masih punya aku :)

Pare, Kediri, 2 Maret 2017.
Eki Paradisi
(Ditulis dalam rangka Writing Challenge Ika Vihara bersama Kampus Fiksi #KF3DAYS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar