9 Februari 2017

Insomnia : Ujung Kepergian Seseorang

 
(Gambar diambil oleh : Tuti Azizah)
 
Sekarang aku mengerti apa itu firasat. Ya, mungkin kau bisa menyebut salah satu, antara firasat, atau kebetulan.

Malam tadi aku tidak bisa tidur. Benar-benar tidak bisa. Padahal kau tahu sendiri, aku orang yang pelor (nempel langsung molor). Aku bisa tidur di kursi koridor kampus, di pos ronda, di kelas—meski hanya dengan bersandar kursi, bahkan sampai terbawa mimpi. Jam tidurku pun termasuk cepat. Mungkin jam 9 atau 10 malam biasanya aku sudah menguap. Tapi tidak malam tadi.

Aku kira, mungkin karena sebotol Kopiko 78 degree yang kuminum tadi sore. Atau mungkin karena aku terlalu banyak tidur kemarin siang? Kurasa begitu. Dan karena belum merasa mengantuk sama sekali, aku memutuskan untuk bermain HP. Membuka grup WA Kampus Fiksi—yang saat itu masih ada beberapa orang aktif. Ternyata acara nyanyi-nyanyi. Jadilah aku ikut voice note bermacam-macam lagu untuk mengisi malam, dari mulai lagu Surat Cinta Untuk Starla, Tenda Biru, lagu Cinta (Vina Panduwinata), lagu Prau Layar, lagu Ummi (Sulis), sampai lagu Jawa Lir-Ilir. Aku pun ikut tertawa mendengar voice note anak-anak lain yang notabenenya sudah edan.


Sampai tengah malam, kuputuskan untuk mematikan paket data internet. Aku sempat mengutuk diri sendiri karena ingkar janji. Ya, siang harinya aku janji tidak akan tidur larut malam agar bisa bangun pagi. Agar tidak telat salat Subuh. Tapi pada kenyataannya? Aku belum tidur juga sampai detik itu. Kutukan yang kedua kutujukan pada kopi. Memang benar kata orang, kopi ternyata membuat kita terjaga. Padahal dulu aku pernah minum kopi, tapi tetap saja ngantukan.

Akhirnya aku berusaha memakai taktik tidur dengan mematikan lampu kamar. Padahal biasanya tidak aku matikan. Yaa, barangkali saja dengan suasana gelap aku bisa lebih cepat tidur. Kutangkupkan selimutku yang tebal hingga menutupi seluruh badan dan kepala. Beberapa menit terdiam, tidak juga kunjung tidur. Aku mulai berpikir, mungkin AC-nya terlalu dingin. Ya, aku tidur di tempat ber-AC. Ini rumah saudaraku di Tangerang, bukan rumahku di Jogja. Hingga kuputuskan untuk bangkit menaikkan suhu ruangan. Setelah itu aku mulai terdiam dan berkonsentrasi untuk tidur. Kucoba merapalkan surat-surat pendek dan istighfar berkali-kali. Ternyata belum manjur juga. Padahal ini biasanya menjadi cara terampuhku untuk bisa tidur.

Baiklah. Aku tak kehabisan ide. Kugunakan cara hipnotis ala Mr. Fuddin—tutor ELFAST—untuk mempengaruhi diri sendiri agar tidur lebih dalam, tidur lebih dalam, buat diri senyaman mungkin, 10 kali lebih nyaman, dan akhirnya... tidurlah! But, did you know the result? ZONK. Cara hipnotis Mr. Fuddin pun ternyata tidak manjur. Aku mulai kehilangan akal. Kata sebuah artikel, kalau kamu berbaring selama lebih dari 20 menit dan tidak kunjung tidur, maka jangan dipaksakan, carilah kegiatan yang bisa membuatmu mengantuk, membaca buku misalnya.

Oke, aku pun bangun dan langsung menyalakan laptop. Biasanya, aku akan ngantuk dan mudah tertidur ketika mendengarkan listening dari podcast British Council. Setelah bermenit-menit mendengarkan podcast, aku benar-benar heran, kenapa masih juga belum mengantuk? Halo? Ini sungguh bukan Eki yang biasanya. Oke, kali ini aku benar-benar mengutuk Kopiko 78 degree itu. Dan akhirnya... aku menyerah.

Sudah pukul 1 dini hari. Aku belum juga tidur. Kuputuskan untuk tidak tidur saja dan menunggu sampai Subuh tiba agar tidak telat salat. Aku kembali mendengarkan listening dari laptop dan belajar speaking. Well, aku akui, aku benar-benar serasa seperti orang gila malam ini. Ngomong sendiri, menatap cermin, bertanya pada cermin, dan menjawab pertanyaan orang yang ada di cermin dengan bahasa Inggris. Begitu seterusnya hingga banyak awkward activities—seperti membuka cemilan di kulkas—yang kulakukan pagi itu.

Hingga pukul setengah 3 pagi, tiba-tiba HP ku bergetar. Pesan dari Ibu.

Nok, pakdhe kardi sedo. (Nak, Pakdhe Kardi meninggal)
Aku terdiam. Kemudian beristighfar. Pakdhe Kardi adalah kakak dari Bapak. Rumahnya berdampingan dengan rumahku di Jogja. Seketika pikiranku langsung terlempar ke Bapak. Kau tahu? Sekarang Bapakku di mana? Palembang. Mengunjungi saudara. Peringatan 2 tahun meninggalnya kakak perempuannya. Dan sekarang, tepat pada waktu yang hampir bersamaan, kakak laki-lakinya—Pakdhe Kardi—meninggal.

Seketika aku langsung tersadar. Ini isyarat. Aku yakin, insomniaku malam ini bukan sebuah kebetulan, melainkan penanda. Firasat yang sama sekali tak terduga. Pikiranku masih melayang pada Bapak. Bagaimana perasaan Bapak saat ini? Sedih? Hah, pertanyaan bodoh. Adik mana yang tak sedih kakaknya meninggal? Kesedihan Bapak, kesedihanku juga.

Tapi, satu hal yang mendadak membuatku kuat. Bukankah, Bapak sudah familiar dengan kata “kematian”? Ya. Kedua orangtua Bapak sudah meninggal sejak Bapak kecil. Bahkan, beliau tidak tahu bagaimana wajah ayahnya, karena saat itu Bapak masih usia 3 tahunan. Menyedihkan, bukan? Seperti Rasulullah yang tak sempat melihat wajah Abdullah, ayahnya. Setelah itu, ketika Bapak SMA, ibunya meninggal. Lengkap sudah, Bapak jadi yatim piatu. Belum lagi beberapa tahun setelah itu kakak lelaki nomor empat meninggal karena sesuatu. Bapakku anak ke lima. Kemudian, dua tahun lalu, kakak nomor duanya meninggal. Dan tepat hari ini, kakak nomor tiganya meninggal. Kini tinggal Bapak, dan kakak perempuan pertamanya—yang sudah pikun.

Kau tahu? Apa yang ada di bayanganku saat ini? Baiklah, aku tidak akan membayangkan apapun. Pikiranku terlalu buruk untuk membayangkan suatu hal. Aku hanya berdoa, semoga semua amal ibadah Pakdhe diterima, semua dosa terampuni, dan Bapak... semoga diberi kesabaran. Ketenangan. Kelapangan jiwa. Kesehatan.

Kepergian memang tak pernah diharapkan. Tapi justru karenanya, keinginan untuk membahagiakan orang tercinta semakin mencuat. Sebelum termakan usia. Sebelum muncul kata “terlambat”.


Tangerang, 10 Februari 2017.
04.44 WIB.
Eki Arum Khasanah (Eki Paradisi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar