Kegilaan berlanjut.
Setelah “momen Titiwangsa” ternyata ada momen lain yang nggak
kalah berkesan. Hari ke empat di Kuala Lumpur, pagi itu kami diantar pakai
mobil. Ini bukan inisiatif kami, tapi memang Mbak Shofi yang nyuruh. Mungkin
Mbak Shofi kasihan melihat kami yang kemarin sangat kelelahan, karena begitu
sampai rumah langsung tepar semua. Makanya pagi itu kita diantar sama Pak Nur
pakai mobil. Sebenarnya kami ngerasa kurang nyaman karena harus merepotkan,
tapi... ya sudahlah.
Did u know kami
diturunkan di mana? Stesen Titiwangsa -_- Ini langsung mengingatkan kami pada
perjalanan kemarin. Perjalanan yang sungguh sangat melelahkan -__-
Kami diturunkan di sana dan disuruh lanjut ke Genting Highland
(salah satu destinasi wisata populer yang ada kereta gantungnya). Sebenarnya kita
sih mau-mau aja, rekreasi... terus naik kereta gantung. Tapi... uangnya? Ehm,
itu yang membuat wajah kami langsung tertunduk lesu. Pasti mahal. Sementara
kami udah berjanji buat ngirit.
Akhirnya, kami mengganti destinasi tanpa sepengetahuan Pak
Nur dan Mbak Shofi. Di stesen Titiwangsa kami sempat berdiskusi sebentar untuk
menentukan tujuan. Karena kami belum jadi mengunjungi Masjid Jamek, akhirnya
saat itu kami putuskan untuk pergi ke Masjid Jamek.
Sesampai di stesen Masjid Jamek, kami sempat terpukau dengan
keindahan arsitektur masjidnya. Kalau di gambar sih kelihatan gede, tapi
ternyata kalau dilihat langsung, nggak gede-gede banget. Gedean Masjid
Istiqlal. Tapi kalau arsitektur masjidnya, cantikan ini (menurutku loh ya).
Kebetulan pas adzan Dzuhur, jadi sekalian salat di sana.
Setelah salat kami berdiskusi. Sebenarnya mau ngliput Masjid Jamek, tapi kok
kebetulan pas lagi ada perbaikan. Jadi gambarnya pasti jelek. Plus kami juga
kebingungan mau ambil angle (sudut
pandang) apa. Belum kepikiran angle
yang menarik (walaupun liputan Masjid Jamek alhamdulillah udah tayang di NET, bisa cek di Youtube : Eki Arum Khasanah). Akhirnya kami putuskan jalan kaki ke Dataran Merdeka dulu.
Katanya ini juga jadi destinasi favorit. Lagipula jaraknya cukup dekat. Cuma
jalan kaki sekitar 15 menit sampai.
Dan ternyata, Dataran Merdeka memang jadi favorit. Begitu
kami di sana, cukup banyak turis yang datang. Padahal saat itu siang bolong dan
terik matahari cukup menyengat. Kalau nggak untuk liputan, sebenarnya agak
malas juga ke sana pas siang-siang gitu, haha. Dataran Merdeka ini kalau di
Jogja bisa disebut kayak “Alun-Alun”. Menariknya itu kita bisa melihat
keindahan arsitektur bangunan-bangunan kuno, contohnya adalah bangunan Abdul
Samad yang ada di seberang lapangan. Foto dengan background bangunan Abdul
Samad itu bener2 berasa udah di luar negeri :D
Setelah foto-foto dan ambil gambar video, aku dan Sari duduk
ngiyup di tempat yang teduh. Sambil
nyoba bikin naskah, lagi2 kita kena kendala di angle liputan. Bingung mau ambil angle apa. Kalau nyeritain Dataran Merdeka adalah bla bla bla, itu udah
biasa. Harus ada angle yang menarik
biar produser tertarik sama video kita. Tapi apa ya? Karena lama mikir, dan
belum nemu angle yang bagus juga,
kami putuskan untuk poto2 aja.
Oh ya, di Dataran Merdeka ini kami sempat wawancara sama
Chinese, usia bapak2 sih, tapi masih ganteng (alamaak :D). Kita wawancara
tentang his opinion about that place
(pertanyaan standar -_-). Oh ya, kita juga sempat minta greeting dia buat ngucapin selamat ulang tahun untuk SUKA TV yang
ke 5 dengan bahasa Indonesia, hehe, jadinya lucuu. Kapan2 lah aku upload
videonya.
Karena udah hampir Ashar, kami putuskan untuk ke Masjid
Jamek lagi buat salat Ashar. Sebelum kami pergi, tiba-tiba ada ibu2 (rombongan
Chinese juga) minta foto ke aku dan Sari. Awalnya aku kira kita suruh motoin,
ternyata malah kita yang dimintain foto. Alamaak, serasa artis ini, haha.
Mungkin ya kayak turis yang jalan di Malioboro terus tiba2 kita mintain foto
kali ya, mungkin mereka juga ngerasa seperti artis, sama kek kita. Selesai foto
aku dan Sari langsung bergegas menuju masjid. Lagi-lagi udah ditinggal jauh
sama Opik, yang jalannya kayak “nggak inget temen” -_-
Kita pun salat Ashar di Masjid Jamek. Selesai salat, hal tak
terduga datang. Hujan. Deras.
Akhirnya mau tak mau kami nunggu hujan reda untuk
melanjutkan perjalanan. Sambil nunggu hujan reda (sambil nunggu Opik yang
tertidur juga dengan posisi duduk 90 derajat), aku dan Sari iseng buat video.
Ah, jadi pengen ngedit video itu secepatnya. Akhirnya begitu hujan reda, kami
melanjutkan perjalanan. Itu posisinya udah sore, mungkin kalau di Indonesia jam
4an gitu. Kami jalan (again) menuju
Dataran Merdeka, dan dari Dataran Merdeka menuju Pasar Seni (yang jaraknya juga
lumayan dekat). Pokoknya hari itu kita bener2 jalan2 deh. Jalan kaki lebih
jelasnya.
Belum sampai Pasar Seni, kami istirahat sebentar di pusat
kota. Tempatnya ramai, cukup asik buat duduk2, serasa kayak di nol KM. Yang paling
diinget di situ adalah... Opik beli Krupuk Lekong, sementara aku dan Sari hanya
memerhatikannya sambil bergumam kecil. Kata Opik, “Masa udah di Malaysia tapi
nggak ngerasain jajanan Malaysia?” ucapnya songong sambil berlalu membeli
jajanan itu. Aku hanya memerhatikannya sambil mendecis. Nanti aja deh, Krupuk
Lekongnya minta punya Opik aja, ahak :D
Kalau di sana penjual keliling pakai mobil.
Jangan tanya asal-usul namanya disebut Krupuk Lekong, bukan
aku penciptanya. Meski namanya krupuk, tapi bentuknya enggak kayak krupuk,
malah lebih mirip semacam tempura dan otak2. Enak sih, Opik aja sampe beli lagi,
haha. Lumayan murah, 1 ringgit dapet 4 buah kalo nggak salah.
Setelah agak sore, kami pun langsung jalan ke pasar seni.
Pasar seni ini mirip Malioboronya Jogja. Banyak souvenir dan pernak-pernik
Malaysia. Opik sempat on cam di depan
pasar seni. And you know? Take berkali-kali -_-
Yang menarik
ketika di sini, waktu Sari nyoba ngambil gambar, sepertinya gerak-gerik Sari
diperhatikan sama security. Seakan
kami adalah orang asing yang patut dicurigai. Ternyata benar, begitu kami masuk
ke dalam, Sari ditegur oleh security
itu. Katanya, boleh ngambil gambar asal jangan pakai tripod (penyangga kamera).
Aku sampe heran, emang apa bedanya? Pakai tripod atau enggak kayaknya gak ada
bedanya, kan? Nggak ngeganggu juga, orang tripodnya enggak kita taruh di lantai
kok. Tapi ya sudahlah, kami hanya bisa manut. Namanya juga di negeri orang,
ngikut ajalah sama peraturan sana. Saat itu di benak kami, yang penting masih bisa
ambil gambar!
Pasar seni selesai. Tujuan selanjutnya adalah ke Jalan
Petaling atau Chinatown.
Di perjalanan, kami sempat beberapa kali salah jalan dan
akhirnya setelah bertanya pada orang-orang di pinggir jalan dengan bahasa
Melayu, kami sampai juga di Chinatown. Nggak ada yang begitu menarik menurutku.
Chinatown hampir sama kayak pasar seni, isinya barang-barang souvenir semua.
Eh, ada makanan juga ding. Cuma bedanya Chinatown dengan pasar seni, kalau di
Chinatown yang jual mayoritas orang China. Dekorasi atap pasarnya juga pakai
lampion-lampion khas China gitu, jadi serasa kayak Imlek. Tapi berhubung aku,
Sari, dan Opik bukan orang yang gila belanja, dan tujuannya ke Chinatown untuk
liputan—bukan belanja—so, ya menurutku itu bukan tempat menarik. Mungkin bagi
yang hobi belanja, pasar seni dan Chinatown jadi destinasi yang wajib
dikunjungi.
Waktu sudah semakin sore. Cahaya matahari sudah mulai
meredup. Untungnya kami tadi sudah salat Ashar di masjid. Jadi sekarang tinggal
menuju destinasi berikutnya. Rencana, kami ingin ke Jalan Alor. Berdasarkan
yang kami browsing, Jalan Alor itu adalah tempat wisata kuliner berupa gang
kecil, yang dipenuhi meja dan kursi makan pada sore dan malam hari.
Kata orang yang kami tanyai, untuk menuju Jalan Alor bisa
pakai GO-KL, bus gratis di Kuala Lumpur. Benar-benar gratis? Iya. Tapi rutenya ya
cuma tempat-tempat tertentu. Yang menarik di sini adalah... waktu kita nunggu
GO-KL di halte, kita ketemu sama orang Bangladesh yang baik banget. Namanya
Suman.
Waktu itu kita berdiri di halte kecil kayak orang ilang
karena kondisi yang lumayan capek. Sekilas aku ngeliat kursi panjang di halte.
Udah dipakai orang, tapi masih ada space.
Ketika itu lelaki berkacamata yang duduk di kursi itu sepertinya menangkap
gerak-gerikku yang sedang mencari tempat duduk. Ia pun bergeser, mengerti kalau
kami ingin duduk, hehe. Akhirnya aku pun duduk sambil mengangguk kecil. Sari
dan Opik mengikuti. Tak lama kemudian aku teringat sesuatu. Ulang Tahun SUKATV,
greeting! Sekejap aku menoleh Sari
yang duduk di sampingku. “Greeting!” ucapku pada Sari dengan mata berbinar
sambil sedikit mengedik ke orang asing di sampingku. Sari mengerti dan langsung
menyiapkan kamera.
Aku pun langsung mengajak mengobrol orang asing berwajah
India itu dgn bahasa Inggris dan memintanya untuk memberikan greeting
ulangtahun. Sebelumnya akau jelaskan padanya bahwa ini untuk kepentingan TV
komunitas di kampus. Dia setuju dan dengan senang hati mengucapkan greeting. Setelah selesai, kami pun
terlibat dalam obrolan tentang dunia broadcasting.
Dia—yang akhirnya kami tahu namanya : Suman—banyak bertanya, dan kami menjawab.
Begitu bus GO-KL datang, kami berempat (dengan Suman) langsung masuk bus. Suman
memberitahu kami bahwa arah tujuan kami sama dengan tujuannya. Dia habis pulang
kantor dan menuju apartemen, dia berjanji akan menunjukkan ke kita. Di dalam
bus yang sangat dingin dan nyaman kami sempat foto-foto.
Oh ya, karena kami liputan tentang GO-KL juga, sekalian deh
minta wawancara sama pengguna GO-KL à Suman :D (biar
kelihatan yang diwawancara orang asing :D) *hasil liputannya bisa dilihat di
youtube : Eki Arum Khasanah (udah tayang juga di NET.)
Setiba di kawasan Bukit Bintang, kita langsung turun dan
diarahkan menuju Jalan Alor oleh Suman. Begitu sampai di Jalan Alor, sempat
tercengang dengan suasana puadat yang ada di sana. Lautan meja kursi
berhamburan di jalan. Penjual makanan ada di kanan kiri. Lampu lampion
menggantung cantik di langit yang sudah berubah malam.
Karena tujuan kami sudah
sampai, Suman pun pamitan dan berharap komunikasi kita tetap jalan (sebelumnya
udah tukeran akun medsos). Rasanya agak terharu gimanaa gitu ya, baru akrab
sama orang, andang-andang dipisahkan
*halah lebay. Bahkan saking akrabnya si Opik sampe dipeluk ala-ala kawan karib
yang mau pisah lama, hahaha. Habis ditinggal Suman, kita langsung ketawa
ngakak. Soalnya dari tadi nahan ketawa, karena menyadari bahasa Inggris kita
yang masih belepotan parah. Untungnya kita masih ngerti apa yang Suman
bicarakan.
Karena waktu udah Maghrib, kami putuskan untuk cari mushola
atau surau dulu—liputannya nanti. Dan... ini yang parah. Ternyata di kawasan
Bukit Bintang ini langka banget yang namanya surau! Kita sampe kebingungan,
bolak balik jalan yang sama, cuma buat cari surau. Tanya orang sana sini, dan
nggak nemu juga. Soalnya beberapa hari di Malaysia, kita nggak pernah kesulitan
cari surau. Baru kali ini kita bingung setengah mati nyari tempat salat.
Masalahnya di tengah kota sih ya, dan kanan kiri jalan isinya toko semua. Mana
waktu Maghrib udah hampir habis lagi, dan muka udah kucel kayak orang nggak
mandi berhari-hari. Akhirnya Opik ngajak ke terminal stesen Bukit Bintang,
karena pasti di sana ada surau. Tapi, untuk menuju terminal itu, jauh euy. It’s mean, kita harus jalan kaki ke sana
gitu?
“Dan entar, balik sini lagi?” ucapku dengan nada lelah.
“Yaa, nggak usah balik.” kata Opik yang juga sudah lelah.
Mendengar kalimat itu aku langsung melongo. What?!
Nggak balik lagi, artinya nggak liputan Jalan Alor? Padahal udah sampe sini?
Omaigad, itu pilihan buruk.
Akhirnya aku keras kepala dengan pilihanku. Tanya orang!
Pokoknya tanya aja surau terdekat. Atau kalau enggak numpang salat di toko-toko
itu. Masa iya di kawasan ini sama sekali nggak ada yang muslim? Kalau negara
barat gitu aku percaya. Lah ini Malaysia loh bro, mayoritas muslim. Pasti ada
lah salah satu atau beberapa orang muslim yang tetap menjalankan salat.
Akhirnya kita balik lagi ke jalan yang tadi udah kita lalui—entah ke sekian
kali. Mungkin orang-orang yang kita lalui heran dengan wajah kita yang kayak
orang ilang, tapi bodo amat lah. Yang penting nemu surau. Sampai akhirnya
kuputuskan tanya sama penjaga sebuah restoran ala timur tengah gitu.
Restorannya aja ada tulisan Arabnya, pasti yang punya muslim, pikirku.
“Excuse me. Where is
‘surau’ around here?” tanyaku pada lelaki berwajah timur tengah itu.
Lelaki itu seperti tidak mengerti dengan bahasaku. Padahal
udah pakai bahasa Inggris. Apa kalimatku salah?
Kuulangi pertanyaanku, hingga kemudian dia sepertinya mulai
mengerti. “Mushola?” tanyanya.
“Ya ya ya! Mushola,” ucapku bersemangat. Mungkin dia
pahamnya mushola, bukan surau. Berarti emang bukan orang Melayu.
“KFC... below...”
kata lelaki itu sambil mengarahkan tangannya ke gedung KFC yang tidak begitu
jauh dari tempat itu.
Aku pun langsung mengangguk mengerti dan mengucapkan terima
kasih. Setidaknya dapat sedikit pencerahan. Begitu kami mau meninggalkan
restoran itu, tiba-tiba kami dipanggil lagi oleh lelaki itu. Aku menoleh, dan
kembali mendekati lelaki itu.
“You want to salat?”
katanya sambil berisyarat gerakan salat. “Sajadah?” Kali ini tangannya seolah
seperti tengah membentangkan sajadah.
“Ya, ya!” Aku tak mengerti kenapa spontan aku menjawab “ya”,
padahal aku nggak begitu mudeng maksud dia apa. Tapi tiba-tiba lelaki itu
mempersilakan kita masuk. Seketika wajahku langsung sumringah. Kita diajak
masuk restoran itu. Restoran kecil, tapi cukup mewah. Pernak pernik lampu, sofa
elit, dan lagu ala-ala timur tengah, serasa lagi dengerin lagunya Maher Zain
*eh. Begitu naik di lantai 2 kami langsung ketemu mas-mas pelayan yang
masyaAllah, gantengnya kayak Zayn Malik semua, wakaka *lebay. Lelaki tadi pun
langsung menggelar sajadah dan memberikan mukena padaku. Ah ya, mungkin maksud
masnya tadi, “salat di sini bisa, tapi cuma pakai sajadah, mbak”, mungkin gitu
kali, ya?
Syukur Alhamdulillah, bener-bener mu’jizat dari Allah yang
ngasih kesempatan kita buat salat Maghrib, saat waktu begitu terdesak. Di
tempat sederhana, namun bermakna. Demi menjalankan kewajiban untuk
menyembah-Nya. Ah, so sweet...
*karena Sari nggak salat, dia yang fotoin :P
Udah deh, itu drama yang paling dramatis banget selama di
KL. Yang satu pengen balik ke stesen, yang satu ngotot cari tempat terdekat.
Kalau nggak ada yang ngalah, bisa pisah sendiri-sendiri tuh, wakakaka :P Tapi
berhubung di negeri orang, nggak berani pisah. Alhasil, pelajaran yang didapat
: “Tanya orang lebih baik, daripada enggak sama sekali. Jangan membisu di
negeri orang.” Atau kalau pepatah lama mengatakan : malu bertanya sesat di
jalan.
Selesai salat kita minta izin buat foto restoran itu. Habis
itu kita ngucap “thank you” berkali-kali pada lelaki itu saking bersyukurnya
bisa salat Maghrib, haha.
Selanjutnya kita langsung ambil gambar untuk kepentingan
liputan. Aku, sempat take on cam
berkali-kali. Entah kenapa gagal fokus. Mungkin karena udah capek. Kaki pegel
jalan seharian. Begitu selesai liputan, kita nunggu jemputan di halte. Katanya
mau dijemput Pak Nur. Tapi karena lama nggak ada balasan, tiba-tiba kami punya
ide ke KLCC naik GO-KL. “Nanti suruh jemput di KLCC aja,” kata Sari.
Tanpa pikir panjang, kita sepakat dan langsung naik bus.
Santai... GRATIS kok, haha.
Sesampai di KLCC, bener-bener, kita norak abis! Soalnya
kalau dua hari yang lalu kita ke KLCC pas siang sampe sore hari, jadi nggak
liat menara Petronas yang menyala. Tapi sekarang kita bisa ngelihat itu. Uwaaaoww,
benar-benar megah! Menara itu... terlihat bersinar. Tinggi kokoh menjulang!
Tahukah yang kami lakukan di sana selain foto-foto dan nulis
ucapan layaknya anak-anak hits kekinian? Makan roti tawar sisa perjalanan
kemarin -__- maklum, kami seharian nggak makan, dan nggak jajan. Mana di
sela-sela makan roti ada tragedi anak kecil yang minta-minta, pake maksa lagi.
Sebenarnya bukan minta-minta, sih. Tapi ngejual buku Yasin kecil seharga 5 RM.
Tapi dia ngejualnya ngotot, dan maksa bangeet. Dikasih 2 RM (tapi aku nggak
beli bukunya) dia nggak mau. Mintanya tetep 5 RM dan harus beli. Aku langsung
heran. Ini anak, jualan kok maksa? Akhirnya aku nggak mau beli. Tapi karena dia
terus “nggedumel” di sampingku pake bahasa ibunya—nggak tahu bahasa apa—lama-lama
aku jadi risih. Bahkan dia masih berkali-kali nawarin sambil bilang, “Kak
kesian kak, tak makan sehari.” dengan nada ngotot, aku jadi jengkel. Aku kasih
roti, dia nggak mau (padahal katanya lapar *gimane sih -__- ) Baru pertama kali
ketemu anak jualan kayak gini. Akhirnya yaudah lah, relain 5 RM aja, biar anak
itu pergi.
Setelah tragedi anak itu (yang konon kata Mbak Shofi ternyata
itu anak2 ‘Bangla’ yang udah kena sindikat), kami pun membuat greeting untuk ulang
tahun SUKATV di bawah gemerlap sinar menara Petronas. Videonya kapan2 aku
upload di Youtube yaah :D
Karena udah malem, belum dijemput, dan kita udah lelah, kita
pun tiduran di depan menara itu. Tiba-tiba suara peluit satpam berbunyi. Bukan
karena dilarang tiduran, tapi karena udah malem, dan kawasan itu mau ditutup.
So, ceritanya diusir, nih? Alamaaak, kita bener-bener menggelandang malam itu.
Akhirnya kita pun pergi, dan memutuskan menunggu jemputan di halte depan
Petronas.
Di sana, LAGI-LAGI, kita kayak orang ilang. Menunggu
jemputan yang entah akan datang jam berapa. Jalanan udah sepi. Katanya sih
suruh nunggu aja, pasti dijemput, tapi ya Allah, lama banget *maap Mbak Shofi.
Tapi yaudah lah, kita nunggu sambil guyonan aja, biar nggak sepaneng. Kita
ngebayangin tempat itu adalah titik nol KM, di seberang lampu merah ada Bank
BNI, terus di depan kita gedung Agung, terus samping kita benteng Vredeburg,
hahaha, kayak orang gila.
Tepat pukul setengah 01.30 dini hari jam Malaysia, Mbak
Shofi dan Pak Nur datang. Ya, kita nunggu sampai dini hari, benar-benar
menggelandang. Kita pun langsung masuk mobil dan memejamkan mata sambil
bersandar kursi mobil. Pak Nur meminta maaf karena telat. Kemudian kita diajak
makan malam. Awalnya kita bilang nggak usah, karena udah malam, dan tubuh juga
udah lelah banget. Tapi karena sedikit dipaksa (nyatanya emang dipaksa, sih)
kita pun akhirnya nurut aja.
Malam itu kita duduk berhadap-hadapan di meja dan kursi di
luar ruangan, beratapkan langit dan berselimut udara dingin. Ahh, manis banget
dah... Ternyata enggak nyesel, di sana kita ditraktir makanan yang belum pernah
kita coba di Indonesia. Ada Tomyam, nasi goreng Pataya, dan nasi goreng USA
(singkatannya aku lupa :D).
Nasi Goreng Pataya, nasi yang dibalut telur.
Pokoknya thanks
a lot banget buat Pak Nur dan Mbak Shofi yang udah maksa kita, hehe, nggak
bakal lupa sama makan malam terindah saat itu. Video makan malam kita kapan2 aku upload dah *janji upload mulu :D
Yeah, that’s climax of
our trip. Sebenarnya masih ada hari selanjutnya. Tapi... ceritanya sampai
sini aja yaa. Biarkan kenangan manis hari ini menjadi penutup kisah pelancongan
di blog sederhana ini. :)
Selesai ditulis di Radio Istakalisa, 9 September 2016 pukul
09.21 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar