8 September 2016

Klimaks Pelancongan : Nggak Nemu Surau, Sampai Menggelandang Dini Hari


Kegilaan berlanjut.

Setelah “momen Titiwangsa” ternyata ada momen lain yang nggak kalah berkesan. Hari ke empat di Kuala Lumpur, pagi itu kami diantar pakai mobil. Ini bukan inisiatif kami, tapi memang Mbak Shofi yang nyuruh. Mungkin Mbak Shofi kasihan melihat kami yang kemarin sangat kelelahan, karena begitu sampai rumah langsung tepar semua. Makanya pagi itu kita diantar sama Pak Nur pakai mobil. Sebenarnya kami ngerasa kurang nyaman karena harus merepotkan, tapi... ya sudahlah.

Did u know kami diturunkan di mana? Stesen Titiwangsa -_- Ini langsung mengingatkan kami pada perjalanan kemarin. Perjalanan yang sungguh sangat melelahkan -__-

Kami diturunkan di sana dan disuruh lanjut ke Genting Highland (salah satu destinasi wisata populer yang ada kereta gantungnya). Sebenarnya kita sih mau-mau aja, rekreasi... terus naik kereta gantung. Tapi... uangnya? Ehm, itu yang membuat wajah kami langsung tertunduk lesu. Pasti mahal. Sementara kami udah berjanji buat ngirit.


Akhirnya, kami mengganti destinasi tanpa sepengetahuan Pak Nur dan Mbak Shofi. Di stesen Titiwangsa kami sempat berdiskusi sebentar untuk menentukan tujuan. Karena kami belum jadi mengunjungi Masjid Jamek, akhirnya saat itu kami putuskan untuk pergi ke Masjid Jamek.

Sesampai di stesen Masjid Jamek, kami sempat terpukau dengan keindahan arsitektur masjidnya. Kalau di gambar sih kelihatan gede, tapi ternyata kalau dilihat langsung, nggak gede-gede banget. Gedean Masjid Istiqlal. Tapi kalau arsitektur masjidnya, cantikan ini (menurutku loh ya).

Kebetulan pas adzan Dzuhur, jadi sekalian salat di sana. Setelah salat kami berdiskusi. Sebenarnya mau ngliput Masjid Jamek, tapi kok kebetulan pas lagi ada perbaikan. Jadi gambarnya pasti jelek. Plus kami juga kebingungan mau ambil angle (sudut pandang) apa. Belum kepikiran angle yang menarik (walaupun liputan Masjid Jamek alhamdulillah udah tayang di NET, bisa cek di Youtube : Eki Arum Khasanah). Akhirnya kami putuskan jalan kaki ke Dataran Merdeka dulu. Katanya ini juga jadi destinasi favorit. Lagipula jaraknya cukup dekat. Cuma jalan kaki sekitar 15 menit sampai.

Dan ternyata, Dataran Merdeka memang jadi favorit. Begitu kami di sana, cukup banyak turis yang datang. Padahal saat itu siang bolong dan terik matahari cukup menyengat. Kalau nggak untuk liputan, sebenarnya agak malas juga ke sana pas siang-siang gitu, haha. Dataran Merdeka ini kalau di Jogja bisa disebut kayak “Alun-Alun”. Menariknya itu kita bisa melihat keindahan arsitektur bangunan-bangunan kuno, contohnya adalah bangunan Abdul Samad yang ada di seberang lapangan. Foto dengan background bangunan Abdul Samad itu bener2 berasa udah di luar negeri :D

Setelah foto-foto dan ambil gambar video, aku dan Sari duduk ngiyup di tempat yang teduh. Sambil nyoba bikin naskah, lagi2 kita kena kendala di angle liputan. Bingung mau ambil angle apa. Kalau nyeritain Dataran Merdeka adalah bla bla bla, itu udah biasa. Harus ada angle yang menarik biar produser tertarik sama video kita. Tapi apa ya? Karena lama mikir, dan belum nemu angle yang bagus juga, kami putuskan untuk poto2 aja.

Oh ya, di Dataran Merdeka ini kami sempat wawancara sama Chinese, usia bapak2 sih, tapi masih ganteng (alamaak :D). Kita wawancara tentang his opinion about that place (pertanyaan standar -_-). Oh ya, kita juga sempat minta greeting dia buat ngucapin selamat ulang tahun untuk SUKA TV yang ke 5 dengan bahasa Indonesia, hehe, jadinya lucuu. Kapan2 lah aku upload videonya.

Karena udah hampir Ashar, kami putuskan untuk ke Masjid Jamek lagi buat salat Ashar. Sebelum kami pergi, tiba-tiba ada ibu2 (rombongan Chinese juga) minta foto ke aku dan Sari. Awalnya aku kira kita suruh motoin, ternyata malah kita yang dimintain foto. Alamaak, serasa artis ini, haha. Mungkin ya kayak turis yang jalan di Malioboro terus tiba2 kita mintain foto kali ya, mungkin mereka juga ngerasa seperti artis, sama kek kita. Selesai foto aku dan Sari langsung bergegas menuju masjid. Lagi-lagi udah ditinggal jauh sama Opik, yang jalannya kayak “nggak inget temen” -_-

Kita pun salat Ashar di Masjid Jamek. Selesai salat, hal tak terduga datang. Hujan. Deras.

Akhirnya mau tak mau kami nunggu hujan reda untuk melanjutkan perjalanan. Sambil nunggu hujan reda (sambil nunggu Opik yang tertidur juga dengan posisi duduk 90 derajat), aku dan Sari iseng buat video. Ah, jadi pengen ngedit video itu secepatnya. Akhirnya begitu hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Itu posisinya udah sore, mungkin kalau di Indonesia jam 4an gitu. Kami jalan (again) menuju Dataran Merdeka, dan dari Dataran Merdeka menuju Pasar Seni (yang jaraknya juga lumayan dekat). Pokoknya hari itu kita bener2 jalan2 deh. Jalan kaki lebih jelasnya.

Belum sampai Pasar Seni, kami istirahat sebentar di pusat kota. Tempatnya ramai, cukup asik buat duduk2, serasa kayak di nol KM. Yang paling diinget di situ adalah... Opik beli Krupuk Lekong, sementara aku dan Sari hanya memerhatikannya sambil bergumam kecil. Kata Opik, “Masa udah di Malaysia tapi nggak ngerasain jajanan Malaysia?” ucapnya songong sambil berlalu membeli jajanan itu. Aku hanya memerhatikannya sambil mendecis. Nanti aja deh, Krupuk Lekongnya minta punya Opik aja, ahak :D

 
Kalau di sana penjual keliling pakai mobil.
Jangan tanya asal-usul namanya disebut Krupuk Lekong, bukan aku penciptanya. Meski namanya krupuk, tapi bentuknya enggak kayak krupuk, malah lebih mirip semacam tempura dan otak2. Enak sih, Opik aja sampe beli lagi, haha. Lumayan murah, 1 ringgit dapet 4 buah kalo nggak salah.

Setelah agak sore, kami pun langsung jalan ke pasar seni. Pasar seni ini mirip Malioboronya Jogja. Banyak souvenir dan pernak-pernik Malaysia. Opik sempat on cam di depan pasar seni. And you know? Take berkali-kali -_-

 

Yang menarik ketika di sini, waktu Sari nyoba ngambil gambar, sepertinya gerak-gerik Sari diperhatikan sama security. Seakan kami adalah orang asing yang patut dicurigai. Ternyata benar, begitu kami masuk ke dalam, Sari ditegur oleh security itu. Katanya, boleh ngambil gambar asal jangan pakai tripod (penyangga kamera). Aku sampe heran, emang apa bedanya? Pakai tripod atau enggak kayaknya gak ada bedanya, kan? Nggak ngeganggu juga, orang tripodnya enggak kita taruh di lantai kok. Tapi ya sudahlah, kami hanya bisa manut. Namanya juga di negeri orang, ngikut ajalah sama peraturan sana. Saat itu di benak kami, yang penting masih bisa ambil gambar!

Pasar seni selesai. Tujuan selanjutnya adalah ke Jalan Petaling atau Chinatown.

Di perjalanan, kami sempat beberapa kali salah jalan dan akhirnya setelah bertanya pada orang-orang di pinggir jalan dengan bahasa Melayu, kami sampai juga di Chinatown. Nggak ada yang begitu menarik menurutku. Chinatown hampir sama kayak pasar seni, isinya barang-barang souvenir semua. Eh, ada makanan juga ding. Cuma bedanya Chinatown dengan pasar seni, kalau di Chinatown yang jual mayoritas orang China. Dekorasi atap pasarnya juga pakai lampion-lampion khas China gitu, jadi serasa kayak Imlek. Tapi berhubung aku, Sari, dan Opik bukan orang yang gila belanja, dan tujuannya ke Chinatown untuk liputan—bukan belanja—so, ya menurutku itu bukan tempat menarik. Mungkin bagi yang hobi belanja, pasar seni dan Chinatown jadi destinasi yang wajib dikunjungi.

Waktu sudah semakin sore. Cahaya matahari sudah mulai meredup. Untungnya kami tadi sudah salat Ashar di masjid. Jadi sekarang tinggal menuju destinasi berikutnya. Rencana, kami ingin ke Jalan Alor. Berdasarkan yang kami browsing, Jalan Alor itu adalah tempat wisata kuliner berupa gang kecil, yang dipenuhi meja dan kursi makan pada sore dan malam hari.

Kata orang yang kami tanyai, untuk menuju Jalan Alor bisa pakai GO-KL, bus gratis di Kuala Lumpur. Benar-benar gratis? Iya. Tapi rutenya ya cuma tempat-tempat tertentu. Yang menarik di sini adalah... waktu kita nunggu GO-KL di halte, kita ketemu sama orang Bangladesh yang baik banget. Namanya Suman.

Waktu itu kita berdiri di halte kecil kayak orang ilang karena kondisi yang lumayan capek. Sekilas aku ngeliat kursi panjang di halte. Udah dipakai orang, tapi masih ada space. Ketika itu lelaki berkacamata yang duduk di kursi itu sepertinya menangkap gerak-gerikku yang sedang mencari tempat duduk. Ia pun bergeser, mengerti kalau kami ingin duduk, hehe. Akhirnya aku pun duduk sambil mengangguk kecil. Sari dan Opik mengikuti. Tak lama kemudian aku teringat sesuatu. Ulang Tahun SUKATV, greeting! Sekejap aku menoleh Sari yang duduk di sampingku. “Greeting!” ucapku pada Sari dengan mata berbinar sambil sedikit mengedik ke orang asing di sampingku. Sari mengerti dan langsung menyiapkan kamera.

Aku pun langsung mengajak mengobrol orang asing berwajah India itu dgn bahasa Inggris dan memintanya untuk memberikan greeting ulangtahun. Sebelumnya akau jelaskan padanya bahwa ini untuk kepentingan TV komunitas di kampus. Dia setuju dan dengan senang hati mengucapkan greeting. Setelah selesai, kami pun terlibat dalam obrolan tentang dunia broadcasting. Dia—yang akhirnya kami tahu namanya : Suman—banyak bertanya, dan kami menjawab. Begitu bus GO-KL datang, kami berempat (dengan Suman) langsung masuk bus. Suman memberitahu kami bahwa arah tujuan kami sama dengan tujuannya. Dia habis pulang kantor dan menuju apartemen, dia berjanji akan menunjukkan ke kita. Di dalam bus yang sangat dingin dan nyaman kami sempat foto-foto.

 

Oh ya, karena kami liputan tentang GO-KL juga, sekalian deh minta wawancara sama pengguna GO-KL à Suman :D (biar kelihatan yang diwawancara orang asing :D) *hasil liputannya bisa dilihat di youtube : Eki Arum Khasanah (udah tayang juga di NET.)

Setiba di kawasan Bukit Bintang, kita langsung turun dan diarahkan menuju Jalan Alor oleh Suman. Begitu sampai di Jalan Alor, sempat tercengang dengan suasana puadat yang ada di sana. Lautan meja kursi berhamburan di jalan. Penjual makanan ada di kanan kiri. Lampu lampion menggantung cantik di langit yang sudah berubah malam.

 

Karena tujuan kami sudah sampai, Suman pun pamitan dan berharap komunikasi kita tetap jalan (sebelumnya udah tukeran akun medsos). Rasanya agak terharu gimanaa gitu ya, baru akrab sama orang, andang-andang dipisahkan *halah lebay. Bahkan saking akrabnya si Opik sampe dipeluk ala-ala kawan karib yang mau pisah lama, hahaha. Habis ditinggal Suman, kita langsung ketawa ngakak. Soalnya dari tadi nahan ketawa, karena menyadari bahasa Inggris kita yang masih belepotan parah. Untungnya kita masih ngerti apa yang Suman bicarakan.

Karena waktu udah Maghrib, kami putuskan untuk cari mushola atau surau dulu—liputannya nanti. Dan... ini yang parah. Ternyata di kawasan Bukit Bintang ini langka banget yang namanya surau! Kita sampe kebingungan, bolak balik jalan yang sama, cuma buat cari surau. Tanya orang sana sini, dan nggak nemu juga. Soalnya beberapa hari di Malaysia, kita nggak pernah kesulitan cari surau. Baru kali ini kita bingung setengah mati nyari tempat salat. Masalahnya di tengah kota sih ya, dan kanan kiri jalan isinya toko semua. Mana waktu Maghrib udah hampir habis lagi, dan muka udah kucel kayak orang nggak mandi berhari-hari. Akhirnya Opik ngajak ke terminal stesen Bukit Bintang, karena pasti di sana ada surau. Tapi, untuk menuju terminal itu, jauh euy. It’s mean, kita harus jalan kaki ke sana gitu?

“Dan entar, balik sini lagi?” ucapku dengan nada lelah.
“Yaa, nggak usah balik.” kata Opik yang juga sudah lelah. Mendengar kalimat itu aku langsung melongo. What?! Nggak balik lagi, artinya nggak liputan Jalan Alor? Padahal udah sampe sini? Omaigad, itu pilihan buruk.

Akhirnya aku keras kepala dengan pilihanku. Tanya orang! Pokoknya tanya aja surau terdekat. Atau kalau enggak numpang salat di toko-toko itu. Masa iya di kawasan ini sama sekali nggak ada yang muslim? Kalau negara barat gitu aku percaya. Lah ini Malaysia loh bro, mayoritas muslim. Pasti ada lah salah satu atau beberapa orang muslim yang tetap menjalankan salat. Akhirnya kita balik lagi ke jalan yang tadi udah kita lalui—entah ke sekian kali. Mungkin orang-orang yang kita lalui heran dengan wajah kita yang kayak orang ilang, tapi bodo amat lah. Yang penting nemu surau. Sampai akhirnya kuputuskan tanya sama penjaga sebuah restoran ala timur tengah gitu. Restorannya aja ada tulisan Arabnya, pasti yang punya muslim, pikirku.

Excuse me. Where is ‘surau’ around here?” tanyaku pada lelaki berwajah timur tengah itu.
Lelaki itu seperti tidak mengerti dengan bahasaku. Padahal udah pakai bahasa Inggris. Apa kalimatku salah?
Kuulangi pertanyaanku, hingga kemudian dia sepertinya mulai mengerti. “Mushola?” tanyanya.
“Ya ya ya! Mushola,” ucapku bersemangat. Mungkin dia pahamnya mushola, bukan surau. Berarti emang bukan orang Melayu.
“KFC... below...” kata lelaki itu sambil mengarahkan tangannya ke gedung KFC yang tidak begitu jauh dari tempat itu.
Aku pun langsung mengangguk mengerti dan mengucapkan terima kasih. Setidaknya dapat sedikit pencerahan. Begitu kami mau meninggalkan restoran itu, tiba-tiba kami dipanggil lagi oleh lelaki itu. Aku menoleh, dan kembali mendekati lelaki itu.
You want to salat?” katanya sambil berisyarat gerakan salat. “Sajadah?” Kali ini tangannya seolah seperti tengah membentangkan sajadah.
“Ya, ya!” Aku tak mengerti kenapa spontan aku menjawab “ya”, padahal aku nggak begitu mudeng maksud dia apa. Tapi tiba-tiba lelaki itu mempersilakan kita masuk. Seketika wajahku langsung sumringah. Kita diajak masuk restoran itu. Restoran kecil, tapi cukup mewah. Pernak pernik lampu, sofa elit, dan lagu ala-ala timur tengah, serasa lagi dengerin lagunya Maher Zain *eh. Begitu naik di lantai 2 kami langsung ketemu mas-mas pelayan yang masyaAllah, gantengnya kayak Zayn Malik semua, wakaka *lebay. Lelaki tadi pun langsung menggelar sajadah dan memberikan mukena padaku. Ah ya, mungkin maksud masnya tadi, “salat di sini bisa, tapi cuma pakai sajadah, mbak”, mungkin gitu kali, ya?

Syukur Alhamdulillah, bener-bener mu’jizat dari Allah yang ngasih kesempatan kita buat salat Maghrib, saat waktu begitu terdesak. Di tempat sederhana, namun bermakna. Demi menjalankan kewajiban untuk menyembah-Nya. Ah, so sweet... 

*karena Sari nggak salat, dia yang fotoin :P
Udah deh, itu drama yang paling dramatis banget selama di KL. Yang satu pengen balik ke stesen, yang satu ngotot cari tempat terdekat. Kalau nggak ada yang ngalah, bisa pisah sendiri-sendiri tuh, wakakaka :P Tapi berhubung di negeri orang, nggak berani pisah. Alhasil, pelajaran yang didapat : “Tanya orang lebih baik, daripada enggak sama sekali. Jangan membisu di negeri orang.” Atau kalau pepatah lama mengatakan : malu bertanya sesat di jalan. 

Selesai salat kita minta izin buat foto restoran itu. Habis itu kita ngucap “thank you” berkali-kali pada lelaki itu saking bersyukurnya bisa salat Maghrib, haha. 

 

Selanjutnya kita langsung ambil gambar untuk kepentingan liputan. Aku, sempat take on cam berkali-kali. Entah kenapa gagal fokus. Mungkin karena udah capek. Kaki pegel jalan seharian. Begitu selesai liputan, kita nunggu jemputan di halte. Katanya mau dijemput Pak Nur. Tapi karena lama nggak ada balasan, tiba-tiba kami punya ide ke KLCC naik GO-KL. “Nanti suruh jemput di KLCC aja,” kata Sari.

Tanpa pikir panjang, kita sepakat dan langsung naik bus. Santai... GRATIS kok, haha.

Sesampai di KLCC, bener-bener, kita norak abis! Soalnya kalau dua hari yang lalu kita ke KLCC pas siang sampe sore hari, jadi nggak liat menara Petronas yang menyala. Tapi sekarang kita bisa ngelihat itu. Uwaaaoww, benar-benar megah! Menara itu... terlihat bersinar. Tinggi kokoh menjulang!

 

Tahukah yang kami lakukan di sana selain foto-foto dan nulis ucapan layaknya anak-anak hits kekinian? Makan roti tawar sisa perjalanan kemarin -__- maklum, kami seharian nggak makan, dan nggak jajan. Mana di sela-sela makan roti ada tragedi anak kecil yang minta-minta, pake maksa lagi. Sebenarnya bukan minta-minta, sih. Tapi ngejual buku Yasin kecil seharga 5 RM. Tapi dia ngejualnya ngotot, dan maksa bangeet. Dikasih 2 RM (tapi aku nggak beli bukunya) dia nggak mau. Mintanya tetep 5 RM dan harus beli. Aku langsung heran. Ini anak, jualan kok maksa? Akhirnya aku nggak mau beli. Tapi karena dia terus “nggedumel” di sampingku pake bahasa ibunya—nggak tahu bahasa apa—lama-lama aku jadi risih. Bahkan dia masih berkali-kali nawarin sambil bilang, “Kak kesian kak, tak makan sehari.” dengan nada ngotot, aku jadi jengkel. Aku kasih roti, dia nggak mau (padahal katanya lapar *gimane sih -__- ) Baru pertama kali ketemu anak jualan kayak gini. Akhirnya yaudah lah, relain 5 RM aja, biar anak itu pergi.

Setelah tragedi anak itu (yang konon kata Mbak Shofi ternyata itu anak2 ‘Bangla’ yang udah kena sindikat), kami pun membuat greeting untuk ulang tahun SUKATV di bawah gemerlap sinar menara Petronas. Videonya kapan2 aku upload di Youtube yaah :D

Karena udah malem, belum dijemput, dan kita udah lelah, kita pun tiduran di depan menara itu. Tiba-tiba suara peluit satpam berbunyi. Bukan karena dilarang tiduran, tapi karena udah malem, dan kawasan itu mau ditutup. So, ceritanya diusir, nih? Alamaaak, kita bener-bener menggelandang malam itu. Akhirnya kita pun pergi, dan memutuskan menunggu jemputan di halte depan Petronas.

Di sana, LAGI-LAGI, kita kayak orang ilang. Menunggu jemputan yang entah akan datang jam berapa. Jalanan udah sepi. Katanya sih suruh nunggu aja, pasti dijemput, tapi ya Allah, lama banget *maap Mbak Shofi. Tapi yaudah lah, kita nunggu sambil guyonan aja, biar nggak sepaneng. Kita ngebayangin tempat itu adalah titik nol KM, di seberang lampu merah ada Bank BNI, terus di depan kita gedung Agung, terus samping kita benteng Vredeburg, hahaha, kayak orang gila.

Tepat pukul setengah 01.30 dini hari jam Malaysia, Mbak Shofi dan Pak Nur datang. Ya, kita nunggu sampai dini hari, benar-benar menggelandang. Kita pun langsung masuk mobil dan memejamkan mata sambil bersandar kursi mobil. Pak Nur meminta maaf karena telat. Kemudian kita diajak makan malam. Awalnya kita bilang nggak usah, karena udah malam, dan tubuh juga udah lelah banget. Tapi karena sedikit dipaksa (nyatanya emang dipaksa, sih) kita pun akhirnya nurut aja.

Malam itu kita duduk berhadap-hadapan di meja dan kursi di luar ruangan, beratapkan langit dan berselimut udara dingin. Ahh, manis banget dah... Ternyata enggak nyesel, di sana kita ditraktir makanan yang belum pernah kita coba di Indonesia. Ada Tomyam, nasi goreng Pataya, dan nasi goreng USA (singkatannya aku lupa :D).

 
Nasi Goreng Pataya, nasi yang dibalut telur.
Pokoknya thanks a lot banget buat Pak Nur dan Mbak Shofi yang udah maksa kita, hehe, nggak bakal lupa sama makan malam terindah saat itu. Video makan malam kita kapan2 aku upload dah *janji upload mulu :D

Yeah, that’s climax of our trip. Sebenarnya masih ada hari selanjutnya. Tapi... ceritanya sampai sini aja yaa. Biarkan kenangan manis hari ini menjadi penutup kisah pelancongan di blog sederhana ini. :)

Selesai ditulis di Radio Istakalisa, 9 September 2016 pukul 09.21 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar