6 Mei 2016

Pelancongan Pertama : Batu Caves

Hari kedua di Malaysia, kita ke Batu Caves. Itu adalah gua besar yang dianggap suci oleh umat Hindu. Nggak heran kalau di sana banyak orang India. By the way, masyarakat di Malaysia memang terdiri dari 3 etnis, yaitu Melayu—masyarakat asli Malaysia—China, dan India. Jadi jangan heran kalau di sana banyak ditemui orang-orang dengan 3 etnis itu tadi.

Sebelum bepergian, kita jalan-jalan pagi dulu sama si comel Selvi (anak Mbak Shofi). Selvi baru kelas 6 SD, tapi pemikirannya udah pinter banget, kayak orang dewasa.



Pagi itu kita jalan-jalan di sekitar apartemen. Dan kita terheran-heran banget ketika melihat di kanan kiri apartemen pemandangannya mobil semua. Seolah apartemen itu sedang dikepung gerombolan mobil. Ternyata memang di Malaysia kendaraan pribadi didominasi oleh mobil, bukan sepeda motor. Meski banyak mobil “kurang bagus” (baca: jadul), tapi sepertinya mobil jadi kendaraan yang wajar dimiliki setiap keluarga. Setelah dikasih tahu Mbak Shofi, ternyata di Malaysia mobil itu diproduksi sendiri, tidak impor. Jadi wajar, kalau produksi mobil di sana banyak. Selain mobil, yang agak beda di sekitar apartemen adalah suasananya. Tiap pagi, siang, sore, aku selalu dengar suara burung gagak. Jadi berasa kayak di Hogwart. It’s amazing :D


***

Hari pertama liputan ditemani Mbak Shofi. Awalnya kita heran, mau-maunya Mbak Shofi nemenin kita? Tapi katanya takut nanti kita tersesat, akhirnya ditemenin deh. Hari pertama ini kita diajarin naik train (kereta). Kalau di Malaysia kereta itu sebutannya train. Sedangkan kalau “kereta” sendiri artinya mobil. “Sewa kereta” artinya sewa mobil.

Untuk ke Batu Caves dari daerah Bandar Tasik Selatan bisa menggunakan KTM (Kereta Tanah Melayu). Jadi, kalau kita bepergian di Malaysia, bisa menggunakan kereta yang terdiri dari KTM, LRT, dan Monorel. KTM digunakan ketika bepergian agak jauh, seperti antar daerah atau provinsi. Harganya tergantung jauh dekat tujuan. Kalau dari Bandar Tasik Selatan ke Batu Caves sendiri sekitar 3 RM per orang (10 ribuan). Kalau yang dekat-dekat bisa pakai LRT atau monorel, tergantung jalurnya. Misal aku pengen ke tempat A, ternyata jalurnya nggak bisa pakai LRT, harus pakai monorel. Untuk jalur-jalur kereta ini, bisa dilihat di peta yang sudah tersedia di setiap stesen (stasiun). Bisa juga lihat di mesin otomatis pembelian tiket. Jadi, di sana ada mesin otomatis yang menyediakan tiket kereta (berupa koin) dengan pembayaran mandiri pakai uang koin ataupun kertas (uang kertas yang bagus, bukan yang lecek, kalau sama yang lecek nggak mau). Nanti tiket yang berupa koin itu kita gunakan untuk masuk area stesen. Pokoknya canggihlah! Untuk urusan transportasi dan petunjuk jalurnya di sana udah lengkap. Tinggal kita ngeh and mudeng enggak sama petunjuk-petunjuk itu. Dan inget, kalau nggak mudeng, jangan sungkan buat nanya :P

  
Mesin otomatis buat beli tiket

  
 Tiket berupa koin

Yang paling berkesan saat liputan di Batu Caves adalah ketika pertama kali menyadari bahwa orang-orang yang lalu lalang di sekitarku mayoritas orang India dengan pakaian sari yang lengkap. Saat itu aku serasa bukan di Malaysia, melainkan di India. Para pedagang baju dan pernak-pernik yang berwajah khas India sibuk berteriak menjual dagangannya. Ditambah lantunan lagu-lagu India di kawasan Batu Caves, benar-benar membuat orang seakan-akan ada di tanah Kuch-Kuch Hota Hai. Sekejap pikiranku langsung nostalgia ke film-film India yang dulu jaman SD selalu kutonton.

 
Foto bersama patung Dewa Murugan

Kesan kedua adalah ketika menaiki tangga menuju Batu Caves. Jadi, untuk menuju gua utama di Batu Caves, kita harus menaiki sekitar 200 lebih anak tangga. Ini serasa menaiki tangga di Makam Imogiri Bantul. Bedanya, kalau di Makam Imogiri terasa sedikit serem (karena kanan kiri makam), sedangkan di Batu Caves ramainya minta ampun. Orang yang lalu lalang tangga banyak banget. Dan itu nggak cuma orang India, tapi orang dari berbagai negara! Aku sendiri yang wawancara mereka—yaa cuma dua orang sih, hehe, satu dari Prancis, satu dari Inggris. Selain itu, aku tahunya juga karena mengamati bahasa yang mereka pakai, ada yang pakai bahasa China, Jepang, Korea, Thailand, dan banyak buanget bahasa yang nggak aku mengerti. Sampai berkali-kali aku saling tatap dengan Sari dan Opik, seakan hati kita berkata, “Ngomong opo to?” Dan selanjutnya kita hanya tersenyum geli. Kita pun terkadang menimpali mereka dengan bahasa Jawa. Jadi biar sama-sama nggak mudeng. Tapi itulah yang menjadikan perjalanan saat itu berkesan. Kita merasa berada di suatu tempat, di mana semua bangsa dan RAS berkumpul. Berada di tengah-tengah keragaman manusia yang diciptakan Tuhan.

Oh ya, untuk masuk ke Batu Caves gratis, euy! Tapi syaratnya kamu harus memakai pakaian tertutup terutama di bagian perut ke bawah. Kalau atasan mau pakai “tengtop” sih masih boleh, asal bawahannya tertutup. Karena mungkin bagi mereka—umat Hindu—tempat itu adalah tempat suci, jadi harus dihormati. Misal terlanjur memakai pakaian mini, bisa menyewa kain yang disediakan di bawah tangga. Untung saya seorang muslimah, jadi pakaian udah brukut, nggak perlu repot nyewa kain.

Naik 200 tangga capek? Enggak juga. Mungkin karena seneng kali ya, jadi nggak berasa capek. Tapi yang kasihan itu Mbak Shofi, kelihatan ngos-ngosan dan capek banget. Yaa mungkin tenaganya udah beda kali ya, ibu-ibu dibandingin anak muda yang masih jomblo *eh. Belum lagi setelah dari Batu Caves kita masih jalan ke KLCC. Itu adalah tempatnya menara Petronas bersemayam. Kita ke sana pas hari menjelang sore. Begitu sampai sana, langsung deeh, poto2 sama ikon Malaysia itu.


Setelah lelah seharian jalan, akhirnya kita pulang. Waktu sudah menunjukkan untuk salat isya’. Kita akhirnya salat Maghrib dan Isya’ dijamak karena belum sempat salat Maghrib pas nungguin RapidKL lama buaaanget. Kalau waktu sore memang bus dan kereta biasanya padat. Ramai orang balik kerja. Waktu menunggu RapidKL pun kita gunakan buat gadget-an. Theatring. Ya, jadi kebiasaan kami bertiga di sana adalah theatring-an. Kartu perdana kita kan satu untuk bertiga (kita belinya patungan), jadi ya tiap mau internetan aku harus menghidupkan menu theatring atau hospot buat dua jomblo itu. Kalau datanya tak matikan, mereka berdua tak bisa apa2, haha *kejam. Biarin. Biar kita nggak sibuk gadget-an dan bisa quality time selama 6 hari di sana. Jadi pas waktunya hapean, ya hapean. Pas waktunya liputan, ya liputan. Pas waktunya ngobrol, ya ngobrol, nggak boleh ada yang hapean :D

Satu hal yang bikin nggak enak hari itu. Begitu habis mandi, aku dikasih tahu Sari kalau ternyata sepulang liputan tadi, Mbak Shofi mendapat complain dari pelanggan, karena pesanannya belum jadi (Mbak Shofi ini punya usaha jahit di rumah). Seketika itu juga aku merasa nggak enak. Mbak Shofi sudah berbaik hati nemenin kita muter-muter, eh malah dapat complain. Akhirnya saat itu juga aku bilang pada Sari, “Yowis, besok kita liputan sendiri aja. Kasihan Mbak Shofi kayaknya kecapekan nemenin kita. Toh, kita juga malah lebih bebas kalau liputan sendiri, kan?”

Malam itu kita bertekad, esok hari, kita akan mandiri. Liputan sendiri. Kalau misal tersesat, nggak tahu jalan? Itu urusan nanti. But, santai ajalah. Kita masih punya Tuhan dan malaikat-malaikat penolong-Nya, kok. :)


Ditulis 7 Mei 2016 pukul 12.20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar