Perjalanan hari ke 3 di Kuala Lumpur jadi perjalanan tak
terlupakan. Pasalnya, hari itu kami bertiga untuk pertama kalinya berkeliling
sendirian. Kalau hari kedua kami ditemani Mbak Shofi, namun hari itu kami
sendiri. Awalnya bingung karena nggak tahu harus jalan lewat mana. Dari
apartemen Mbak Shofi ke TBS (Terminal Bersepadu Selatan) bisa ditempuh jalan
kaki 15 menit, tapi bukan melalui jalan raya yang lurus2 aja, melainkan harus melalui
jalan pintas yang cukup rumit (Mbak Shofi aja sampe bingung mau jelasin rutenya
gimana). Tapi bermodalkan nekat dan yakin, kami akhirnya jalan saja. Toh nanti
kalau nggak tau jalan tinggal tanya orang. Daripada naik teksi yang
menghabiskan 5 RM (eman2 to yaa), mending jalan kaki, hitung-hitung sambil
lihat keadaan sekitar, hehe. Perjalanan lumayan panas, tapi kami bertiga
menikmatinya. Keakraban ternyata lebih terasa ketika kami jalan kaki. Terlebih
tidak ada yang menemani, hehe, jadi merasa lebih bebas bercanda apapun.
Perjalanan menuju TBS ^_^
Kebiasaan bocah satu ini, kalau jalan suka ninggal kita gitu aja -_-
Sampai di TBS kami sempat berdebat tentang tujuan kami hari
itu. Antara ke Masjid Jamek, Chow Kit, dan Taman Titiwangsa. Akhirnya di depan
mesin penjual tiket otomatis, kami bertiga memutuskan untuk ke Chow Kit dulu.
Untuk ke Chow Kit dari Bandar Tasik Selatan kita harus transit dulu ke stesen
Hang Tuah menggunakan LRT. Tiket LRT dari Bandar Tasik Selatan ke Hang Tuah
sebesar 3 RM lebih. Ini pertama kalinya kami menggunakan kereta di KL tanpa dampingan
dari Mbak Shofi, rasanya... sesuatu banget!
And, did you know,
apa yang terjadi? Kami salah turun! Well,
sebenarnya bukan salah turun, sih, tapi kami tidak memasukkan koin pada mesin
yang tepat. Jadi begini, seharusnya dari stesen Bandar Tasik Selatan kita turun
dan transit dulu di stesen Hang Tuah, baru nanti lanjut menuju stesen Chow Kit.
Nah, di stesen Hang Tuah itu seharusnya kami memasukkan koin di mesin palang
pintu, lalu membeli tiket lagi menuju Chow Kit. Tapi apa yang terjadi? Kami
langsung nyelonong saja masuk kereta menuju Chow Kit (ini karena ketidaktahuan
kami). Alhasil? Sampai di stesen Chow Kit kami tidak bisa keluar stesen. Palang
pintu tidak bisa terbuka karena koin kami salah. Kalau orang yang curang ya,
bisa saja dia masuk ngikutin orang di depannya, atau langsung nerabas palang
pintu kayak di Indonesia. Tapi ini di Malaysia, coy! Orangnya udah
tertib-tertib. Malu atuh, kalau ketahuan, “Siapa itu yang nerabas masuk? Oh,
orang Indonesia?”
Kita yang kebingungan, akhirnya tanya sama cleaning service berbaju hijau. Dan kau
tahu? Ternyata feelingku benar. Dia orang Indonesia. Seorang ibu-ibu yang sedang
menyapu lantai kereta. Sehingga pada titik itu, kami mempunyai teori, “Jika kau
tersesat di Kuala Lumpur, carilah cleaning
service berbaju hijau. Besar kemungkinan ia adalah orang Indonesia.”
Karena ketika di Batu Caves kami juga pernah bingung soal
jalan keluar, tiba-tiba ada mas-mas cleaning
service berbaju hijau lewat, dan tiba-tiba ia menunjukkan arah yang benar pada
kami. Pas aku tanya, “Orang Indonesia ya, Mas?”, masnya cuma meringis sambil
berlalu.
Kembali ke persoalan awal, kami bertanya pada ibu cleaning service itu, dan kata ibu itu
memang kami harus balik ke Hang Tuah lagi dan beli tiket dulu untuk menuju Chow
Kit. Itu satu-satunya jalan. Akhirnya kami pun memutuskan untuk balik.
Sebelumnya kami sempat ngobrol sebentar dengan ibu itu. Dia bekerja di Kuala Lumpur
untuk menghidupi anaknya yang ada di Indonesia. Dan kami juga baru tahu,
ternyata memang para pekerja dari Indonesia yang ada di Kuala Lumpur itu
biasanya dinaungi satu agen. Jadi tidak heran kalau kebanyakan cleaning service di sana adalah orang
Indonesia—entah di bandara, stasiun, ataupun tempat umum lainnya.
Begitu naik kereta lagi ke Hang Tuah, sesampainya di sana
kami langsung keluar gerbang stesen Hang Tuah lalu membeli tiket lagi. Tapi
bukan ke Chow Kit. Pikiran kami tiba-tiba berubah. Tujuan berubah menjadi ke
Titiwangsa. Pertimbangannya apa? Jadi, jalur LRT terjauh saat itu adalah ke
Titiwangsa. Untuk ke Titiwangsa nanti juga akan melewati Chow Kit. Jadi,
rencana kami saat itu adalah ke Titiwangsa dulu, baru nanti ke Chow Kit. Deal!
Kami beli tiket dari mesin penjual otomatis dan langsung berangkat menuju
Titiwangsa.
Sesampai di stesen Titiwangsa, kami langsung tanya pada
orang-orang sekitar (cleaning service juga—tapi tidak berbaju hijau) tentang letak
danau Titiwangsa. Sepertinya mereka tidak mengenal kata “danau”, akhirnya kami mengubah
kalimat “Titiwangsa Lake” dan mereka baru mengerti. Beberapa di antara mereka tidak
tahu jalannya. Ada yang tahu, tapi tidak mengerti jalan ke sana naik apa. Kami
pun tanya supir teksi dan bapak itu menjawab dengan ramah. Intinya kami bisa
jalan kaki, tapi cukup jauh dan panas. Kami pun langsung mengangguk
berterimakasih.
Sejak awal kami sudah bikin kesepakatan bakal ngirit. Termasuk
kalau masih bisa ditempuh jalan kaki, ya kami akan jalan. Sebenarnya bisa saja
kami pesan teksi, tapi mahal euy. Bisa sampe sekitar 5 RM hanya untuk jarak
dekat. Mending uangnya disimpan deh. Akhirnya berangkatlah kami jalan kaki di bawah
panas yang terik. Kami jalan melalui jalur pedestrian. Untungnya ada jalur
pedestrian. Kalau tidak? Satu-satunya jalan ya pakai teksi atau bus.
Perjalanan menuju Titiwangsa. Lihatlah yang jalan paling depan -_-
Dan selalu ninggal aku dan Sari -_-
Tidak disangka, ternyata berjalan di saat matahari tepat ada
di atas kepala dengan terik yang menyengat itu rasanya... sesuatu bangeeet! Mending
ya kalau pagi atau sore, meski capek tapi panasnya bisa ditolerir. Lah ini?
Mateng, bro! Tapi karena sudah kesepakatan, kami tetap melanjutkan perjalanan.
Melewati lorong-lorong bawah tanah juga. Yakin, ini serasa kayak nggak ada
jalan lain. Kotor dan becek. Melewati jembatan di bawah jembatan layang, nah
loh! Trus lewat tangga di pinggir kolong jembatan juga, aduh... pokoknya
bener-bener serasa jadi pelancong beneran deh, nyusup ke mana-mana.
Setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya sampai juga
kami di Danau Titiwangsa. Weish, bisa duduk dan istirahat di sana itu rasanya...
lega banget! Leganya kayak udah ketemu jodoh deh pokoknya.
Danau Titiwangsa di siang hari.
Habis itu makan
bekal roti chanay yang dibawain Selvie *thanks to Selvie. Dan makan roti tawar
yang kami bawa dari Indonesia. Setelah itu cari tempat buat rebahan—mengingat
badan udah pegel banget. Kita tiduran di rumput, deh. Paling enak kalau sore
emang. Bukan di siang bolong kayak gini. Tapi, lelah cukup terbayar dengan
pemandangan air danau yang menenangkan. Ada air mancurnya juga, loh! Andai air
mancurnya sampai darat, yakin udah maenan air deh aku karena saking panasnya,
ahahaha. Itu yang paling berkesan di Titiwangsa. Tak akan pernah terlupa. Akan
jadi kenangan yang paling memorable.
Sehabis dari danau Titiwangsa kami balik ke stesen Titiwangsa.
Ya. Jalan lagi! Badan udah loyo. Tapi kami harus melanjutkan perjalanan ke
destinasi selanjutnya. Baiklah, tak apa. Capeknya ditahan. Btw *selingan* pas
balik ke stesen ini aku dan Sari sempat kebingungan pas naik lift. Kita norak
banget. Dikiranya terjebak di dalam lift, karena liftnya nggak ngebuka lama
banget. Kita udah semi-panik. Eh ternyata, did
u know? Pintu keluarnya ada di belakang kita, bukan di depan. Ini pertama
kalinya kami tahu lift pintu depan-belakang gitu. Begitu keluar dari lift kami
sempat tertawa ngekek mengingat kebodohan kami, haha. :D
Sesampai di Chow Kit, tidak begitu banyak hal berkesan.
Hanya saja di Chow Kit ini memang bisa ditemui warung-warung dan toko yang
menjual barang-barang Indonesia. Tapi kami tidak menelusuri banyak warung.
Hanya satu warung makan, yaitu “Warung Sidomampir” yang kita temui begitu turun
dari tangga stesen. Dan kami akhirnya liputan di situ. Warung ini menjual soto,
rawon, bakso, mie ayam, es teller, molen, tahu bakso, dan makanan khas
Indonesia lainnya. Cocok banget buat orang Indonesia yang pengen mengobati rasa
rindunya akan kuliner Indonesia. Harganya kurang lebih sekitar 3-5 RM.
Selesai liputan kami berdiskusi sejenak di stesen Chow Kit.
Opik minta liputan lagi di Pasar Seni! Aku langsung menatapnya lemas. Gila aja,
seharian kita jalan kaki, dari apartemen ke TBS, dari stesen ke Titiwangsa, dan
balik lagi ke stesen, apa itu tidak cukup? Tapi hanya di batin. Wajahku yang
lusuh dan badanku yang lemas sudah mewakili semua suara hatiku. Akhirnya Opik
mengalah. Alhamdulillahnya dia paham kondisi badanku.
Sepulang dari liputan, kita langsung tepar di apartemen.
Tapi sempat hitung-hitungan uang juga, sih, hehe. Jadi, selama di KL, kami
sepakat, dalam sehari ada yang menjadi bos (yang mengeluarkan uang), biar nggak
ribet. Nanti pas pulang, baru kita total jumlah pengeluarannya berapa. Terus
baru deh dibagi tiga.
Hari itu, benar-benar kerasa banget petualangan kita. Tapi,
ternyata Titiwangsa bukan jadi akhir petualangan. Hari setelah itu, menjadi
hari yang lebih gila! Seperti apa gilanya? Tunggu, ya. Biarkan tangan ini
istirahat dulu :D
Selesai ditulis : 16 Mei 2016 pukul 21.55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar