Sabtu 23 April 2016.
Hari pertama, keberangkatan ke KL naik pesawat Air Asia. This is my first time to fly with plane.
Rasanya kayak naik kora-kora, haha. Cuma goyangannya agak alus aja. Tapi karena
nggak biasa, cukup pusing juga naik pesawat selama 2 jam. Awalnya pas naik excited banget, serasa terbang di
angkasa dan menembus cakrawala *halah lebay. Bisa ngeliat semua ciptaan Allah
dari atas. Tapi lama-kelamaan jadi pusing dan mual, untung nggak sampe muntah
*maafkan kekatrokan saya.
Setelah dua jam terbang di udara, pesawat perlahan mulai
turun. Aku pun mulai melihat pemandangan dataran hijau yang luaaas banget dan rapi.
Sempat aku bilang ke Sari di kursi belakang, “Sar, rumput tetangga ternyata
memang lebih hijau, ya?” Tapi ternyata setelah aku tahu dari Mbak Shofi, itu
adalah perkebunan sawit. Di Malaysia memang terkenal dengan perkebunan
sawitnya. Pantesan kelihatan hijau semua dan berderet rapi.
Kita pun mendarat di bandara KLIA2. Sebelumnya aku pernah browsing di Kuala Lumpur ada dua bandara
besar, namanya KLIA 1 dan 2. Dan ternyata memang benar, bandaranya gede dan
luas banget. Bedanya bandara di KL sama di Solo terasa benar. Bandara di sana
jauh dari pemukiman. Tidak seperti di Solo, kalau kita keluar bandara bisa beli
nasi padang, ketemu masjid, ketemu angkringan, masuk warung kelontongan. Kalau
di KL? Boro-boro! Bandara di sana benar2 serasa diasingkan dari keramaian kota.
Kalau mau ke kota dan ketemu pemukiman harus naik bus atau taksi dulu
berkilo-kilometer.
Begitu kita mendarat dan turun dari pesawat, perasaan masih
berkata, “Ini yakin gue udah di Malaysia?” Rasanya masih antara percaya dan
tidak. Begitu ngeliat banyak orang asing, wajah-wajah Eropa, orang India, timur
tengah, China, macem-macem deh, baru sedikit ngeh, “Iya, ya? Kita udah di luar
negeri.”
Di bandara KLIA2, kita sempat kebingungan cari jalan keluar.
Bandaranya gede banget. Di sana, tulisan “Keluar” ternyata mengarah ke pintu
darurat semua. Kita jadi bingung, pintu normalnya yang mana? Ngeliat peta
informasi pun nggak ngerti maksudnya, setelah ini kita harus gimana dan kemana
juga nggak tau (maklum, kita bertiga, semua first
time naik pesawat), akhirnya kita pun cuma ikut-ikutan orang. Paling aman ikut
orang Indonesia yang juga turun dari pesawat.
Setelah menemukan pintu keluar, dan berhadapan dengan pihak
imigrasi sana—btw bagian imigrasinya di sana luas banget, dan tertata rapi—kita
pun keluar dari ruangan dan malah ketemu mall bandara itu. Lagi-lagi berusaha
menemukan “maha pintu keluar” untuk benar-benar keluar dari bandara *huh,
bener2 gede tu bandara. Selain bingung cari pintu keluar, di sana kita juga
bingung, kalau udah keluar nanti mau ke mana? Akhirnya kami putuskan untuk
destinasi pertama ke rumah Mbak Shofi, nanti di rumah Mbak Shofi baru kita
tanya-tanya destinasi yang bagus dan memungkinkan.
Untuk ngontak Mbak Shofi, harus ada wifi—karena paket dataku
di sana roaming. Atau kalau tidak harus beli kartu perdana Malaysia. Tapi waktu
kita tanya petugas cleaning service berbaju hijau, dia menyarankan jangan beli
kartu perdana di bandara. Mahal! “Terus di mana, dong, Mbak?” tanyaku memelas. Mbak
cleaning servis itu menyarankan beli di luar bandara. Tapi jauh. “Memang nak
kemane kakak ni?” tanyanya dengan logat Melayu. Akhirnya kita ceritakan
kronologinya. Kalau kita nggak bisa menghubungi Mbak Shofi. Seketika cleaning
service itu mengeluarkan ponselnya. “Pakai saje punya saye,” ucapnya menawarkan.
Aku melongo, sambil bilang, “Boleh, nih, Mbak?” Cleaning service itu
mengangguk. Bahkan menyuruhku untuk telfon saja, nggak usah SMS. Ya Allah, baik
banget ni orang, batinku. Akhirnya kita pun menghubungi Mbak Shofi dan Mbak
Shofi bilang kita suruh naik bus. Begitu selesai telfon aku ucapin terimakasih banyak
pada Mbak Erna—nama petugas itu—yang ternyata orang Jawa Timur! Nggak nyangka. Soalnya
dari logatnya kayak orang Malaysia, tapi wajahnya memang wajah Jawa, sih.
Pantes waktu kita kebingungan, Mbak itu langsung respon. Mungkin udah ngeh sama
wajah bingung kita, dan sesama darah Indonesia, jadi serasa ada magnet yang meng-connect-kan kita, haha.
Setelah kita tahu harus ke mana, kita langsung menuju lantai
bawah. Lantai bawah di KLIA2 adalah tempat transit berbagai macam bas (bus) dan
teksi (taxi). Pas kita tanya di counter tiket, emang agak nggak mudeng sih.
Secara mereka pakai bahasa Melayu dengan tempo cepat, ya kita cuma bisa
melongo. Balik-balik ngadep Sari dan Opik aku cuma geleng-geleng kepala sambil
bilang, “Nggak mudeng.”. Tapi meski nggak ngerti secara penuh, aku sekilas bisa
menangkap maksud penjaga counter itu. Katanya, kalau mau ke alamat Sungai Besi
(alamat Mbak Shofi) harus pakai teksi. Ya gila aja 100 RM (340 ribu) kita
habisin cuma buat naik teksi?! Akhirnya kita cuma bisa duduk kayak orang
linglung. Sambil mikir apa yang bisa kita lakukan.
Beberapa menit kemudian aku baru sadar, waktu telfon, Mbak
Shofi sempat bilang, turun di TBS aja, nanti biar dijemput. Awalnya aku nggak
mudeng apa yang dimaksud TBS? Tapi kita asal nyoba tanya sama mbak penjaga
counter lagi. Sebenarnya malu juga, soalnya pas tanya pertama kali tadi wajah
kita bener-bener serasa orang bego denger bahasa mereka. Kayak nggak mudeng apa
yang diomongin. Tapi mau gimana lagi? Malu bertanya sesat di jalan, kan? Pasang
muka tembok aja dah! Begitu kita tanya lagi, ternyata ada bus yang menuju TBS.
Namanya JetBus, seharga 10 RM (34 ribu) per orang. Lumayanlah, daripada naik
teksi, 100 RM?
Setelah hampir 1 jam menunggu, JetBus pun datang juga. Kita
naik dan alhamdulillah bisa terbebas dari bandara nan besar dan luas itu. Opik
sempat nyeletuk, “Kalau bandaranya gede gitu, besok kita bingung lagi nggak, ya,
pas mau balik Indonesia?”
Muka udah kusut karena nunggu lama di bandara.
Jalanan lengang. Kanan kiri tak ada pemukiman. Yang ada
hanya pohon-pohon sawit dan lahan yang luas. Mungkin ini yang dinamakan bandara
yang terasing dari pemukiman. Setelah 1 jam perjalanan sampailah kita di TBS.
Lagi-lagi kita bingung, cara menghubungi Mbak Shofi gimana? Sinyal wifi TBS
jelek. Satu-satunya cara adalah beli karu perdana. Di lantai dua TBS kita
menemukan counter kartu perdana, tapi
ternyata mahal. 35 RM untuk 1 GB (kalo nggak salah). Kita pun minta maaf sama
penjaganya karena nggak jadi beli. Akhirnya kita tanya-tanya orang (sambil
menahan malu karena jadi orang bego yang nggak mudeng dengan bahasa mereka) dan
muter-muter TBS, kali aja ada counter yang jual kartu murah. Dan ternyata ada! Di
kedai Bazar TBS, kita pakai kartu Hotlink seharga 18 RM, gratis akses semua
sosmed. Murah, kan? :D
Setelah itu kita menghubungi Mbak Shofi. Ya Allah, lega
banget bisa dapat kartu perdana, serasa ketemu jodoh *eh. Mbak Shofi pun bales chat-ku. Ternyata beliau sudah menunggu
di TBS dari tadi. Aku langsung celingak-celinguk nyari, dan akhirnya menemukan orang
yang sama-sama celingak-celinguk kayak nyari orang. Begitu aku hampiri,
ternyata memang benar Mbak Shofi. Aku langsung salaman dan mencium tangannya. Ya
Tuhan, berasa ketemu saudara dekat. Padahal sebelumnya sama sekali nggak kenal!
Mungkin begini kali ya? Rasanya bertemu dengan orang se-tanah air. Serasa
ketemu saudara di negeri orang, leganya, Masya Allah... Akhirnya kita pun dibawa
sama Mbak Shofi ke rumahnya dengan naik RapidKL (semacam bus Trans Jogja gitu),
dan kita ngobrol panjang selama di dalam bus, menceritakan kronologi kok bisa tersesat
lama di bandara.
Setiba di apartemen Mbak Shofi, kami disambut oleh keluarga
di sana. Ada Pak Nur Kholis (suami Mbak Shofi), Selvi (anak Mbak Shofi), dan
Mbak Is (asisten rumah tangga Mbak Shofi). Di sana kami benar-benar dianggap
seperti keluarga sendiri. Disuruh mandi, disuruh makan, benar-benar serasa
ketemu keluarga dekat.
Makan nasi goreng bareng Mbak Shofi (paling kiri).
Selesai makan kita ditodong pertanyaan sama Pak Nur, “Besok ada
rencana ke mana saja? Harus udah mateng lho, ya. Jangan sampai masih awang-awangen.”
Kita bertiga cuma bisa saling tatap sambil nyengir masam.
Memang belum ada persiapan matang. Harapannya keluarga Mbak Shofi bisa
mengarahkan tempat yang recommended
buat liputan. Akhirnya, selesai makan kita bertiga berdiskusi. Diskusi sambil
ngantuk. Jadi nggak fokus. Finally, kita
putuskan diskusinya besok pagi saja. Mruput.
Sekarang waktunya istirahat. Membuang lelah setelah seharian tersesat di negeri
orang.
Ditulis 4 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar