3 Mei 2016

Kunci Melancong : Jangan Malu Bertanya!

Sabtu 23 April 2016.
Hari pertama, keberangkatan ke KL naik pesawat Air Asia. This is my first time to fly with plane. Rasanya kayak naik kora-kora, haha. Cuma goyangannya agak alus aja. Tapi karena nggak biasa, cukup pusing juga naik pesawat selama 2 jam. Awalnya pas naik excited banget, serasa terbang di angkasa dan menembus cakrawala *halah lebay. Bisa ngeliat semua ciptaan Allah dari atas. Tapi lama-kelamaan jadi pusing dan mual, untung nggak sampe muntah *maafkan kekatrokan saya.

Setelah dua jam terbang di udara, pesawat perlahan mulai turun. Aku pun mulai melihat pemandangan dataran hijau yang luaaas banget dan rapi. Sempat aku bilang ke Sari di kursi belakang, “Sar, rumput tetangga ternyata memang lebih hijau, ya?” Tapi ternyata setelah aku tahu dari Mbak Shofi, itu adalah perkebunan sawit. Di Malaysia memang terkenal dengan perkebunan sawitnya. Pantesan kelihatan hijau semua dan berderet rapi.
Kita pun mendarat di bandara KLIA2. Sebelumnya aku pernah browsing di Kuala Lumpur ada dua bandara besar, namanya KLIA 1 dan 2. Dan ternyata memang benar, bandaranya gede dan luas banget. Bedanya bandara di KL sama di Solo terasa benar. Bandara di sana jauh dari pemukiman. Tidak seperti di Solo, kalau kita keluar bandara bisa beli nasi padang, ketemu masjid, ketemu angkringan, masuk warung kelontongan. Kalau di KL? Boro-boro! Bandara di sana benar2 serasa diasingkan dari keramaian kota. Kalau mau ke kota dan ketemu pemukiman harus naik bus atau taksi dulu berkilo-kilometer.

Begitu kita mendarat dan turun dari pesawat, perasaan masih berkata, “Ini yakin gue udah di Malaysia?” Rasanya masih antara percaya dan tidak. Begitu ngeliat banyak orang asing, wajah-wajah Eropa, orang India, timur tengah, China, macem-macem deh, baru sedikit ngeh, “Iya, ya? Kita udah di luar negeri.”

Di bandara KLIA2, kita sempat kebingungan cari jalan keluar. Bandaranya gede banget. Di sana, tulisan “Keluar” ternyata mengarah ke pintu darurat semua. Kita jadi bingung, pintu normalnya yang mana? Ngeliat peta informasi pun nggak ngerti maksudnya, setelah ini kita harus gimana dan kemana juga nggak tau (maklum, kita bertiga, semua first time naik pesawat), akhirnya kita pun cuma ikut-ikutan orang. Paling aman ikut orang Indonesia yang juga turun dari pesawat.

Setelah menemukan pintu keluar, dan berhadapan dengan pihak imigrasi sana—btw bagian imigrasinya di sana luas banget, dan tertata rapi—kita pun keluar dari ruangan dan malah ketemu mall bandara itu. Lagi-lagi berusaha menemukan “maha pintu keluar” untuk benar-benar keluar dari bandara *huh, bener2 gede tu bandara. Selain bingung cari pintu keluar, di sana kita juga bingung, kalau udah keluar nanti mau ke mana? Akhirnya kami putuskan untuk destinasi pertama ke rumah Mbak Shofi, nanti di rumah Mbak Shofi baru kita tanya-tanya destinasi yang bagus dan memungkinkan.

Untuk ngontak Mbak Shofi, harus ada wifi—karena paket dataku di sana roaming. Atau kalau tidak harus beli kartu perdana Malaysia. Tapi waktu kita tanya petugas cleaning service berbaju hijau, dia menyarankan jangan beli kartu perdana di bandara. Mahal! “Terus di mana, dong, Mbak?” tanyaku memelas. Mbak cleaning servis itu menyarankan beli di luar bandara. Tapi jauh. “Memang nak kemane kakak ni?” tanyanya dengan logat Melayu. Akhirnya kita ceritakan kronologinya. Kalau kita nggak bisa menghubungi Mbak Shofi. Seketika cleaning service itu mengeluarkan ponselnya. “Pakai saje punya saye,” ucapnya menawarkan. Aku melongo, sambil bilang, “Boleh, nih, Mbak?” Cleaning service itu mengangguk. Bahkan menyuruhku untuk telfon saja, nggak usah SMS. Ya Allah, baik banget ni orang, batinku. Akhirnya kita pun menghubungi Mbak Shofi dan Mbak Shofi bilang kita suruh naik bus. Begitu selesai telfon aku ucapin terimakasih banyak pada Mbak Erna—nama petugas itu—yang ternyata orang Jawa Timur! Nggak nyangka. Soalnya dari logatnya kayak orang Malaysia, tapi wajahnya memang wajah Jawa, sih. Pantes waktu kita kebingungan, Mbak itu langsung respon. Mungkin udah ngeh sama wajah bingung kita, dan sesama darah Indonesia, jadi serasa ada magnet yang meng-connect-kan kita, haha.

Setelah kita tahu harus ke mana, kita langsung menuju lantai bawah. Lantai bawah di KLIA2 adalah tempat transit berbagai macam bas (bus) dan teksi (taxi). Pas kita tanya di counter tiket, emang agak nggak mudeng sih. Secara mereka pakai bahasa Melayu dengan tempo cepat, ya kita cuma bisa melongo. Balik-balik ngadep Sari dan Opik aku cuma geleng-geleng kepala sambil bilang, “Nggak mudeng.”. Tapi meski nggak ngerti secara penuh, aku sekilas bisa menangkap maksud penjaga counter itu. Katanya, kalau mau ke alamat Sungai Besi (alamat Mbak Shofi) harus pakai teksi. Ya gila aja 100 RM (340 ribu) kita habisin cuma buat naik teksi?! Akhirnya kita cuma bisa duduk kayak orang linglung. Sambil mikir apa yang bisa kita lakukan.

Beberapa menit kemudian aku baru sadar, waktu telfon, Mbak Shofi sempat bilang, turun di TBS aja, nanti biar dijemput. Awalnya aku nggak mudeng apa yang dimaksud TBS? Tapi kita asal nyoba tanya sama mbak penjaga counter lagi. Sebenarnya malu juga, soalnya pas tanya pertama kali tadi wajah kita bener-bener serasa orang bego denger bahasa mereka. Kayak nggak mudeng apa yang diomongin. Tapi mau gimana lagi? Malu bertanya sesat di jalan, kan? Pasang muka tembok aja dah! Begitu kita tanya lagi, ternyata ada bus yang menuju TBS. Namanya JetBus, seharga 10 RM (34 ribu) per orang. Lumayanlah, daripada naik teksi, 100 RM?

Setelah hampir 1 jam menunggu, JetBus pun datang juga. Kita naik dan alhamdulillah bisa terbebas dari bandara nan besar dan luas itu. Opik sempat nyeletuk, “Kalau bandaranya gede gitu, besok kita bingung lagi nggak, ya, pas mau balik Indonesia?”

Muka udah kusut karena nunggu lama di bandara.

Jalanan lengang. Kanan kiri tak ada pemukiman. Yang ada hanya pohon-pohon sawit dan lahan yang luas. Mungkin ini yang dinamakan bandara yang terasing dari pemukiman. Setelah 1 jam perjalanan sampailah kita di TBS. Lagi-lagi kita bingung, cara menghubungi Mbak Shofi gimana? Sinyal wifi TBS jelek. Satu-satunya cara adalah beli karu perdana. Di lantai dua TBS kita menemukan counter kartu perdana, tapi ternyata mahal. 35 RM untuk 1 GB (kalo nggak salah). Kita pun minta maaf sama penjaganya karena nggak jadi beli. Akhirnya kita tanya-tanya orang (sambil menahan malu karena jadi orang bego yang nggak mudeng dengan bahasa mereka) dan muter-muter TBS, kali aja ada counter yang jual kartu murah. Dan ternyata ada! Di kedai Bazar TBS, kita pakai kartu Hotlink seharga 18 RM, gratis akses semua sosmed. Murah, kan? :D


 

Setelah itu kita menghubungi Mbak Shofi. Ya Allah, lega banget bisa dapat kartu perdana, serasa ketemu jodoh *eh. Mbak Shofi pun bales chat-ku. Ternyata beliau sudah menunggu di TBS dari tadi. Aku langsung celingak-celinguk nyari, dan akhirnya menemukan orang yang sama-sama celingak-celinguk kayak nyari orang. Begitu aku hampiri, ternyata memang benar Mbak Shofi. Aku langsung salaman dan mencium tangannya. Ya Tuhan, berasa ketemu saudara dekat. Padahal sebelumnya sama sekali nggak kenal! Mungkin begini kali ya? Rasanya bertemu dengan orang se-tanah air. Serasa ketemu saudara di negeri orang, leganya, Masya Allah... Akhirnya kita pun dibawa sama Mbak Shofi ke rumahnya dengan naik RapidKL (semacam bus Trans Jogja gitu), dan kita ngobrol panjang selama di dalam bus, menceritakan kronologi kok bisa tersesat lama di bandara.

Setiba di apartemen Mbak Shofi, kami disambut oleh keluarga di sana. Ada Pak Nur Kholis (suami Mbak Shofi), Selvi (anak Mbak Shofi), dan Mbak Is (asisten rumah tangga Mbak Shofi). Di sana kami benar-benar dianggap seperti keluarga sendiri. Disuruh mandi, disuruh makan, benar-benar serasa ketemu keluarga dekat.

Makan nasi goreng bareng Mbak Shofi (paling kiri).


Selesai makan kita ditodong pertanyaan sama Pak Nur, “Besok ada rencana ke mana saja? Harus udah mateng lho, ya. Jangan sampai masih awang-awangen.”

Kita bertiga cuma bisa saling tatap sambil nyengir masam. Memang belum ada persiapan matang. Harapannya keluarga Mbak Shofi bisa mengarahkan tempat yang recommended buat liputan. Akhirnya, selesai makan kita bertiga berdiskusi. Diskusi sambil ngantuk. Jadi nggak fokus. Finally, kita putuskan diskusinya besok pagi saja. Mruput. Sekarang waktunya istirahat. Membuang lelah setelah seharian tersesat di negeri orang.


Ditulis 4 Mei 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar