Magang di NET, Enak Nggak?

Banyak yang tanya, “Eki, gimana magangnya? Enak nggak?”

Sebenarnya aku bingung kalau ditanya begitu. Karena aku bukan tipe yang pintar menilai suatu hal enak atau tidak. Bagiku setiap hal pasti ada enak dan tidaknya. Tapi untuk magang ini sendiri, biar kujabarkan beberapa hal agar kau bisa mendapat gambaran enak tidaknya magang di Jakarta tepatnya di NET, terutama untuk kau yang sedang cari referensi tentang magang.

Hal enaknya adalah fasilitas di Jakarta lengkap. Ya, terutama jika kau berasal dari orang pedesaan atau orang pelosok, dan tiba-tiba bekerja di gedung mewah nan elite seperti gedung The East, bisa kebayang gimana rasanya? Tiap hari bersemayam di ruang ber-AC, dingin... tidak panas, tidak usah repot-repot naik tangga satu per satu, tinggal mencet tombol, nunggu, masuk lift berkapasitas besar, udah. Tau-tau lantai 28.

Kerjanya juga nggak begitu sulit (untuk PA news sepertiku, berbeda dengan PA produksi yang jauh lebih ribet), dan bertemu dengan orang-orang yang rapi serta sedap dipandang mata setiap hari. Bagaimana tidak krasan? Terlebih jika kau sudah menjadi karyawan tetap, gaji pun lumayan, untuk ukuran orang yang bekerja di tempat nyaman, bukan pekerja lapangan yang harus berderai keringat dan mengandalkan fisik. Oh ya, ada lagi enaknya itu saat bisa makan nasi kotak jatah produksi, hehe. Lumayan banget untuk anak magang, bisa menghemat biaya makan sehari-hari.

Terus, tidak enaknya? Tidak enaknya juga lumayan banyak. Pertama, kau harus benar-benar siap mental. Jakarta itu serba keras. Baik orang-orang di luar kantor maupun di dalam kantor. Di luar, kau harus berhati-hati dengan orang-orang yang tak kau kenal. Mungkin kalau di Jogja, kau bisa leluasa berjalan menyapa orang dengan menundukkan kepala sambil tersenyum santun. Namun di Jakarta? Jangan harap kau berlaku seperti itu. Karena kalau iya, ujung-ujungnya malah kau yang digodain laki-laki ganjen di pinggir jalan, kalau kau perempuan. Lebih baik berpenampilan sederhana dan pakai masker agar terhindar dari godaan-godaan itu. Karena bagaimanapun, hal kecil seperti ini menurutku cukup mengganggu kenyamanan tinggal di kota Jakarta. Meski ini tidak mutlak di semua tempat. Hanya berdasar yang aku rasakan saja.

Selain di luar, kau juga harus siap mental di dalam kantor. Karena bekerja di media harus tahan banting, baik dari fisik maupun psikis. Kalau orang bawaannya baper dan manja, aku jamin nggak bakal tahan bekerja di media. Bekerja di dunia ini harus terbiasa kena semprot. Terlebih jika kau orang yang lemah lembut, biasa hidup di lingkungan yang kental ramah tamah, jangan harap di sini kau bisa beramah-tamah dengan orang. Memang, tetap ada satu dua orang yang ramah pada awalnya. Namun jika sudah bekerja, mereka akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan berubah menjadi makhluk individualis.

Bekerja di dunia ini juga harus tahan berhadapan dengan orang-orang berwajah ketus (meski tidak semua orang seperti ini). Jawaban-jawaban atas pertanyaan kita sebagai orang baru terkadang “nylekit” dan rese’. Mungkin untuk orang yang sering baper, biasanya udah nggak tahan dan gampang sakit hati. Biasanya ketika ditanyai, mereka justru akan balik tanya. Misal, kau sebagai anak magang yang tanya pada atasan, “Mas, ini uang di amplopnya pas, kan?”. Kalau atasanmu bukan tipe orang yang sabar, maka akan dijawab, “Di situ ada tulisan kembaliannya nggak?” Lalu kau menjawab, “Enggak.” “Yaudah, berarti pas.”

Atau pada kejadian lain kau bertanya, “Mbak, tadi yang diingest liputan tentang apa ya?” Kalau beruntung dapat orang ramah, pertanyaanmu akan dijawab apa adanya, “Liputan tentang ini... tentang itu...” Namun jika tidak, maka akan dijawab, “Lah kamu tadi memperhatikan enggak?” Atau kalau tidak, “Coba cek sendiri.” Dan memang kebanyakan adalah jawaban-jawaban bernada ketus. Jadi bisa dikatakan, kerja di media itu memang menuntutmu untuk bersikap cerdas, aktif, dan inisiatif. Kalau kau hanya menjadi follower, tidak bisa inisiatif mengerjakan sesuatu, tidak mampu menangani sesuatu dengan cekatan, dan hanya menanyakan “pertanyaan bodoh”, aku jamin kau tidak bisa mengikuti sistim kerja di sini.

Terlebih jika kau termasuk orang yang ke mana-mana harus ditemani atau bersama orang lain, tidak mungkin bisa mengikuti kinerja orang-orang di sini. Contohnya ketika liputan, orang-orang lapangan seperti reporter dan kameramen, mereka terbiasa bekerja cepat. Di saat waktu yang mendesak dan menuntut mereka menjadi orang individualis, lari-larian mengejar moment, mereka harus fokus pada job masing-masing, sementara kau tertinggal di belakang, tidak mungkin kan kau akan berteriak pada mereka, “Mas/Mbak, tungguin aku dong...” Bekerja dengan mereka, otomatis kau harus mengikuti sistim kerja mereka. Sigap, cekatan, dan tidak manja. Bekerja di media, terlebih di televisi nasional perlahan tapi pasti akan menjadikanmu sebagai seseorang yang individualis, namun juga strong.

Tidak enaknya yang kedua adalah merasa kurang dianggap, terlebih jika kau anak magang. Untuk poin ini mungkin cukup subyektif. Mungkin akan berbeda ketika posisimu adalah karyawan tetap yang baru masuk. Suasana ini sangat aku rasakan perbedaannya ketika aku masuk bersama dua orang teman magangku, dan saat itu ada juga karyawan baru. Perlakuan pada anak magang dengan karyawan baru sangat terasa berbeda. Mungkin ini karena anak magang hanya dituntut belajar, sementara karyawan baru memang benar-benar harus bekerja, sehingga perhatian untuk karyawan baru pun lebih besar. Begitu juga dalam hal pergaulan. Karyawan baru akan mudah bergaul karena mereka langsung dianggap sebagai bagian keluarga mereka. Ia akan selamanya, atau lebih lama menetap. Berbeda dengan anak magang yang hanya satu dua bulan saja dan nanti akan ganti lagi, begitu seterusnya. Sehingga terkadang anak magang hanya dianggap sebagai angin lalu, bahkan terkadang tidak diperhatikan. Namun sekali lagi ini hanya subyektifku saja. Aku bercerita berdasarkan pengalaman pribadi. Mungkin akan berbeda ketika orang lain yang bercerita. Mungkin orang lain yang bisa lebih pandai bergaul dan menyesuaikan diri, bisa jadi merasa lebih dianggap. Dan sekali lagi, tidak semua orang media seperti yang kuceritakan di atas. Tetap ada satu dua orang baik dan ramah yang tulus mengajari anak magang, meskipun tidak banyak.

Begitulah, sedikit ceritaku buat kamu-kamu yang ingin magang di Jakarta. Semoga ada gambaran. Dan semoga tidak menyesatkan, hehe.

Yogyakarta, 5 November 2015.