10 September 2015

About Jakarta


Jakarta, kota nan mahal.
Ya, memang benar Jakarta kota yang mahal, tentunya kalau dibandingkan dengan Jogja. Karena aku sudah terbiasa hidup di Jogja sejak lahir dengan segala hal murah, jadi apa-apa yang ada di sini jadi serba mahal bagiku. Terlebih ketika mendengar salah satu kakak kelasku yang juga kerja di NET, namanya Mbak Tami, mengatakan kalau biaya kosnya satu juta per bulan. Benar-benar kaget! Secara, setahuku kos rata-rata di Jogja antara 200-400 ribu kalau dihitung per bulan. Lah ini? 1 juta men! Bisa buat 5 bulan ngekos di Jogja!
Tapi yang membuat “sedikit” wajar, kos ini memang letaknya di tengah keramaian kota. Strategis banget buat dapetin segala fasilitas umum. Maklum kalau mahal. Jarak dari kos ke gedung The East, tempat NET bersarang, pun hanya 5 menit jalan kaki. Tapi harga ini tidak mutlak harga semua kos di Jakarta lho ya. Aku dengar salah seorang teman ada yang mengatakan ada kos yang 500 ribu per bulan. Tapi entah jaraknya dekat dengan kantor NET atau tidak, strategis atau tidak, fasilitasnya bagus atau tidak, wallahualam. Kalau di kos Mbak Tami, meski sangat panas dan sempit menurutku, luasnya hanya kisaran 3x3 meter, namun ada kamar mandi dalam. Yaa, walaupun kamar mandinya hanya 1x2 meter sih (bisa bayangin nggak gimana sempitnya?), tapi lumayan. Letaknya di dalam kamar.
Itu tadi untuk kos. Soal makanan, rata-rata untuk bisa sekali makan di sini setidaknya harus punya uang 10 ribu rupiah. Kemungkinan bisa dapat kethoprak, nasi telur, mie ayam, nasi goreng, bakso, ataupun siomay. Semuanya serba 10 ribu. Tapi itu tanpa minum lho yaa (kalau aku sih minum air putih aja yang gratis, haha). Emang mahal sih kalau dibanding di Jogja yang nasi telur, mie ayam, rata-rata hanya 6 ribu rupiah. Bahkan kemarin aku sempat tanya salah seorang teman kantor, harga arem-arem dan makanan kecil seperti roti-roti dan sejenisnya itu 2500 rupiah. Padahal di Jogja hanya 1500 rupiah. Yang lebih parah lagi adalah saat saudara sepupuku menungguku untuk tes masuk di NET, mereka menunggu di cafe yang ada di dalam gedung The East. Sambil menunggu, mereka memesan secangkir kopi dan roti. Daaan, setelah dibawa ke kasir, apakah Anda tahu berapa harganya? Coba tebak berapa? 100 ribu men!!! Sampe saudaraku berpesan padaku, “Besok kalau jajan jangan sampai jajan di dalam sini.” Aku tertawa mendengarnya. Yaah, begitulah. Kehidupan di Jakarta emang serba mahal. Jadi siap-siap aja buat yang mau merantau, sediakan uang Anda secukupnya. Haha.

Jakarta, kota nan macet.
Ternyata sepadan dengan yang orang-orang bilang. Jakarta itu macet. Berbondong-bondong kendaraan dari berbagai wilayah bahkan turut memadati jalanan Jakarta. Ribuan kendaraan pribadi tiap harinya melintas padat seperti semut yang merayap. Suara klakson bersahut-sahutan seakan menandakan ketidaksabaran pengendara yang ingin segera berjalan. Parahnya, aku baru mengerti di Jakarta ini, rambu-rambu lalu lintas seakan sudah tak berfungsi lagi. Kendaraan yang benar-benar padat berlomba-lomba ingin mendahului saat di traffic light (lampu merah). Tidak jarang dari pengendara yang sedang menunggu pergantian lampu, melewati batas garis marga jalan. Bahkan, lampu belum berubah hijau namun berbondong-bondong pengendara—tidak hanya satu dua—menerobos lampu merah.

Gambar pengendara melewati batas marga dan siap-siap menerobos. 

Banyak pula pengendara sepeda motor maupun mobil yang melintas jalur busway. Padahal sudah jelas-jelas tertulis di atas “Khusus Jalur Busway”. Dan itu adalah hal biasa di kawasan Jakarta yang kulalui saat pulang pergi ke Tangerang. Tapi meski begitu, semua ini hanya menurut apa yang aku amati. Bisa jadi, barangkali ada beberapa titik tempat di Jakarta yang masih taat aturan dan rambu-rambu? Siapa tahu?

Jakarta, kota seribu gedung.
Memang benar. Terlebih di kos yang kutempati. Jika di Jogja biasanya keluar rumah yang dilihat adalah pepohonan, sawah, dan Gunung Merapi, kini di Jakarta begitu keluar kos pemandangannya tergantikan dengan barisan gedung-gedung megah bertingkat. Deretan gedung itu terpampang jelas di depan mata. Seperti raksasa yang tengah menunggu makanan lezat berupa orang-orang pekerja kantoran. Ketika melihat ke langit, seakan kepala ini sudah tak sanggup lagi untuk menengadah lebih jauh melihat tingginya gedung-gendung itu.


Kebetulan, kos yang kutempati letaknya memang strategis dengan gedung-gedung megah, mall-mall besar, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, di sepanjang jalan besar, memang Jakarta adalah tempat singgahnya para gedung. Ketika melewati jalan raya di kawasan Tanah Abang dan Sudirman, terlebih jika melewati jembatan layang, semakin jelas saja pemandangan seribu gedung itu. Kanan kiri, seakan sudah menjadi lautan gedung bertingkat. Jika di Jogja gedung bertingkat rata-rata hanya 4-6 lantai, sementara di sini? 40 lantai!


Jakarta, 10 September 2015.

1 komentar:

  1. huwaahh... jadi akhirnya berapa harga kosnya mbak? wkwkwkwk
    wiihhh ga bisa bayangin begitu ramainya Jakarta mbak hhhee
    yang bener aja 100 rb ? itu klo di desa bisa buat yg macem2 mkanan. nah ini cuma 2 biji jenis makanan... uwehhh

    BalasHapus