2 April 2015

Yang Wajar-Wajar Saja



@Eki_Paradisi

 “Cintailah sesuatu sewajarnya, karena boleh jadi suatu saat nanti dia akan menjadi sesuatu yang kamu benci, dan bencilah sesuatu sewajarnya, karena boleh jadi suatu saat nanti dia akan menjadi sesuatu yang kamu cintai.” (H.R. Bukhari)

Mencintai, dan dicintai. Dua kalimat yang kerap menyapu telinga. Tak jarang mampir di beranda facebook. Sering nongkrong di PM BBM. Dan kerap jadi menu utama buku-buku dan novel.
Mencintai, dan dicintai. Sebuah perasaan yang mampu membuat kita tersenyum, bahagia, melayang. Ya. Dua unsur itu. Kalau hanya satu unsur yang ada, maka tidak akan lengkap. Mencintai tanpa dicintai akan terasa pahit. Dicintai tanpa mencintai akan terasa hambar. Bukan begitu?

Namun jika kita melihat jauh di seberang sana. Banyak cerita yang mengatasnamakan cinta. Memuja cinta dengan segala puja. Takluk. Patuh. Tersenyum bahagia seakan cinta adalah segala-galanya di muka bumi. Raja dari istana kehidupan.
Ya, memang. Tidak bisa dipungkiri, bukan? Cinta memang sesuatu yang membahagiakan. Ketika kita jatuh cinta, seakan dunia hanya dipenuhi dengan bunga-bunga. Semua yang terjadi di sekeliling kita seolah menjadi berkurang nilai kelogisannya. Saat bertemu dengan si ‘dia’ tanpa sengaja, kita mengira bahwa itu takdir. Saat kebetulan satu kelas dengannya, kita menyangka Tuhan sedang berusaha mempertemukan aku dan dia. Saat kepanjangan nama kita memiliki arti sama, itu menjadi sebuah pertanda. Saat pekerjaan orangtua kita saling berhubungan, seakan menjadi isyarat bahwa aku dan dia memang berjodoh. Oh, God... semuanya benar-benar menjadi tidak logis ketika kita kasmaran. Pernah mengalaminya? Pasti pernah, kan? Mengakulah... Aku rasa setiap orang pernah mengalami pikiran semacam itu.
Tapi ya, well... namanya juga jatuh cinta, mau gimana lagi? Cinta tidak bisa dipaksakan. Tidak bisa diatur layaknya manusia mengatur jadwal makan, jadwal pelajaran, jadwal kuliah. Cinta adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa dihindari. Datang begitu saja. Dan pergi begitu saja. Fitrah manusia merasakan cinta. Itu alamiah. Allah sendiri yang menciptakan perasaan itu, bukan?
Tapi, kalau dipikir-pikir... kita sebagai manusia juga diberi akal. Akal untuk berpikir dan mengatur setiap tindakan kita. Termasuk mengatur bagaimana kita memandang persoalan cinta. Apakah mau dipandang secara sederhana, biasa, atau berlebihan? Kita sendiri yang mengaturnya. Ketika kita ditinggal seseorang, tanpa alasan yang jelas, lalu kita merasa digantung atau istilahnya di-PHP gitulah, hingga efeknya... nggak doyan makan, bawaannya tiap hari sedih, wajah murung, susah diajak bercanda teman, mata bengkak akibat nangis, ya Tuhan...
Kalau aja kita sadari, sebenarnya yang membuat itu semua adalah kita sendiri. Kita yang terlalu berlebihan mencintai seseorang. Selalu berharap dan memimpikannya. Memikirkannya sepanjang waktu dan mejadikannya tambatan hati. Coba kalau dari awal kita menuruti apa yang diajarkan Rasulullah, mencintai orang sewajarnya saja. Tidak berlebihan. Tidak hiperbolis. Pasti jadinya juga nggak akan seperti itu, kan?
Ya. Memang. Sekali lagi cinta, adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan. Manusia boleh menikmatinya? Tentu saja boleh! Hanya saja mungkin alangkah baiknya kalau kita tidak berlebihan dalam menikmatinya. Bukankah Allah juga tidak suka segala hal yang berlebihan?
Kita cukup tersenyum ketika bisa merasakan perasaan itu. Mensyukuri karunia yang telah diberikan. “Syukurlah. Aku menyukai lawan jenis, itu tandanya masih normal.” Namun bagaimana agar bisa menjadi tidak berlebihan? Itu pandai-pandainya kita mengatur strategi dan mensiasati hati. Bagaimana taktik menjaga hati agar tidak terlalu berbunga-bunga dalam menjalin hubungan dengan yang namanya ‘cinta’. Kalau saranku sih, banyak-banyak melakukan hal bermanfaat. Sia-sia banget kalau kita punya waktu tapi hanya untuk sibuk mengurusi cinta. Lebih baik digunakan untuk berkarya, mengembangkan potensi diri, berpetualang mencari ilmu dan pengalaman. Insyaallah malah lebih berguna, kan? Toh masalah jodoh nanti juga pasti ketemu. So, santai saja bray! Lagipula kalau kita sudah terlanjur mencintai seseorang dengan ‘sepenuh hati’, namun ternyata dia bukan jodoh kita, dia ninggalin kita, apa yang akan terjadi? Sakit hati, kan? Ujung-ujungnya malah kita yang jadi benci orang itu. Nah, lo! Membenci saudara sesama muslim.
Untuk itu sobat, cintai sesuatu sewajarnya saja. Bukan hanya dalam mencintai orang, tapi juga segala hal yang ada di dunia ini. Bahkan kalau perlu, alihkan saja cintamu pada Yang Maha Kuasa. Nah, ini yang bener! Lagipula kita semua juga tahu, urutan cinta nomor satu memang seharusnya kita tujukan untuk Allah, bukan? Jangan sampai kecintaan kita pada hal lain melebihi cinta kita pada-Nya. Jika kita cinta hal dunia, dan yang kita cintai lenyap di kemudian hari, well... yang ada hanya rasa kecewa. Namun jika yang kita cintai adalah Dia Yang Abadi, dan kita mencintai hal lain juga karena-Nya, aku yakin, hidup ini akan menjadi tenang dan damai.

Bantul, 9 Januari 2015
Eki Paradisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar