@Eki_Paradisi
“Cintailah
sesuatu sewajarnya, karena boleh jadi suatu saat nanti dia akan menjadi sesuatu
yang kamu benci, dan bencilah sesuatu sewajarnya, karena boleh jadi suatu saat
nanti dia akan menjadi sesuatu yang kamu cintai.” (H.R. Bukhari)
Mencintai, dan
dicintai. Dua kalimat yang kerap menyapu telinga. Tak jarang mampir di beranda
facebook. Sering nongkrong di PM BBM. Dan kerap jadi menu utama buku-buku dan novel.
Mencintai, dan
dicintai. Sebuah perasaan yang mampu membuat kita tersenyum, bahagia, melayang.
Ya. Dua unsur itu. Kalau hanya satu unsur yang ada, maka tidak akan lengkap.
Mencintai tanpa dicintai akan terasa pahit. Dicintai tanpa mencintai akan
terasa hambar. Bukan begitu?
Namun jika kita
melihat jauh di seberang sana. Banyak cerita yang mengatasnamakan cinta. Memuja
cinta dengan segala puja. Takluk. Patuh. Tersenyum bahagia seakan cinta adalah
segala-galanya di muka bumi. Raja dari istana kehidupan.
Ya, memang.
Tidak bisa dipungkiri, bukan? Cinta memang sesuatu yang membahagiakan. Ketika
kita jatuh cinta, seakan dunia hanya dipenuhi dengan bunga-bunga. Semua yang
terjadi di sekeliling kita seolah menjadi berkurang nilai kelogisannya. Saat
bertemu dengan si ‘dia’ tanpa sengaja, kita mengira bahwa itu takdir. Saat kebetulan
satu kelas dengannya, kita menyangka Tuhan sedang berusaha mempertemukan aku
dan dia. Saat kepanjangan nama kita memiliki arti sama, itu menjadi sebuah
pertanda. Saat pekerjaan orangtua kita saling berhubungan, seakan menjadi
isyarat bahwa aku dan dia memang berjodoh. Oh, God... semuanya benar-benar
menjadi tidak logis ketika kita kasmaran. Pernah mengalaminya? Pasti pernah,
kan? Mengakulah... Aku rasa setiap orang pernah mengalami pikiran semacam itu.
Tapi ya, well... namanya juga jatuh cinta, mau
gimana lagi? Cinta tidak bisa dipaksakan. Tidak bisa diatur layaknya manusia
mengatur jadwal makan, jadwal pelajaran, jadwal kuliah. Cinta adalah anugerah
Tuhan yang tidak bisa dihindari. Datang begitu saja. Dan pergi begitu saja.
Fitrah manusia merasakan cinta. Itu alamiah. Allah sendiri yang menciptakan
perasaan itu, bukan?
Tapi, kalau
dipikir-pikir... kita sebagai manusia juga diberi akal. Akal untuk berpikir dan
mengatur setiap tindakan kita. Termasuk mengatur bagaimana kita memandang
persoalan cinta. Apakah mau dipandang secara sederhana, biasa, atau berlebihan?
Kita sendiri yang mengaturnya. Ketika kita ditinggal seseorang, tanpa alasan
yang jelas, lalu kita merasa digantung atau istilahnya di-PHP gitulah, hingga
efeknya... nggak doyan makan, bawaannya tiap hari sedih, wajah murung, susah
diajak bercanda teman, mata bengkak akibat nangis, ya Tuhan...
Kalau aja kita
sadari, sebenarnya yang membuat itu semua adalah kita sendiri. Kita yang terlalu
berlebihan mencintai seseorang. Selalu berharap dan memimpikannya.
Memikirkannya sepanjang waktu dan mejadikannya tambatan hati. Coba kalau dari
awal kita menuruti apa yang diajarkan Rasulullah, mencintai orang sewajarnya
saja. Tidak berlebihan. Tidak hiperbolis. Pasti jadinya juga nggak akan seperti
itu, kan?
Ya. Memang.
Sekali lagi cinta, adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan. Manusia boleh
menikmatinya? Tentu saja boleh! Hanya saja mungkin alangkah baiknya kalau kita
tidak berlebihan dalam menikmatinya. Bukankah Allah juga tidak suka segala hal
yang berlebihan?
Kita cukup
tersenyum ketika bisa merasakan perasaan itu. Mensyukuri karunia yang telah
diberikan. “Syukurlah. Aku menyukai lawan jenis, itu tandanya masih normal.”
Namun bagaimana agar bisa menjadi tidak berlebihan? Itu pandai-pandainya kita
mengatur strategi dan mensiasati hati. Bagaimana taktik menjaga hati agar tidak
terlalu berbunga-bunga dalam menjalin hubungan dengan yang namanya ‘cinta’.
Kalau saranku sih, banyak-banyak melakukan hal bermanfaat. Sia-sia banget kalau
kita punya waktu tapi hanya untuk sibuk mengurusi cinta. Lebih baik digunakan
untuk berkarya, mengembangkan potensi diri, berpetualang mencari ilmu dan
pengalaman. Insyaallah malah lebih berguna, kan? Toh masalah jodoh nanti juga
pasti ketemu. So, santai saja bray! Lagipula kalau kita sudah terlanjur
mencintai seseorang dengan ‘sepenuh hati’, namun ternyata dia bukan jodoh kita,
dia ninggalin kita, apa yang akan terjadi? Sakit hati, kan? Ujung-ujungnya
malah kita yang jadi benci orang itu. Nah, lo! Membenci saudara sesama muslim.
Untuk itu sobat,
cintai sesuatu sewajarnya saja. Bukan hanya dalam mencintai orang, tapi juga segala
hal yang ada di dunia ini. Bahkan kalau perlu, alihkan saja cintamu pada Yang
Maha Kuasa. Nah, ini yang bener! Lagipula kita semua juga tahu, urutan cinta
nomor satu memang seharusnya kita tujukan untuk Allah, bukan? Jangan sampai
kecintaan kita pada hal lain melebihi cinta kita pada-Nya. Jika kita cinta hal
dunia, dan yang kita cintai lenyap di kemudian hari, well... yang ada hanya rasa kecewa. Namun jika yang kita cintai
adalah Dia Yang Abadi, dan kita mencintai hal lain juga karena-Nya, aku yakin,
hidup ini akan menjadi tenang dan damai.
Bantul, 9 Januari 2015
Eki Paradisi
Bantul, 9 Januari 2015
Eki Paradisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar