
Diantara semuanya, terdengar suara dari belakangku, “Hey!”. Aku tak langsung menengoknya. Suara itu, sangat tak asing lagi bagiku. Tapi antara percaya atau tidak, kutengok pelan ke belakang. Dari sepatu dan celana panjang berwarna hitam, aku mulai yakin dengan tebakkanku. Lalu perlahan kulihat baju putihnya, dan berhentilah pandanganku pada sesosok wajah nan tampan yang ku tahu siapa dia. Sempat terkejut dan terpana aku dengan kedatangannya. Hampir ku tak percaya nyata ini. Ingin rasanya kucubit kulitku yang dingin. “Hey, Aldi!”kataku setengah percaya. Namun senyumnya menyadarkan sekaligus meyakinkanku bahwa ia memang benar sedang berdiri di hadapanku yang kini mendekat dan perlahan duduk di sampingku. Ia memandang jauh ke laut lepas, menghirup udara pantai senja itu. Aku terdiam bisu memperhatikannya, masih terbatu dengan kejutan ini. Tapi perlahan Aldi mulai mengalihkan pandangannya kepadaku. Jelas aku gugup dengan keadaan saat itu. “Kenapa sendirian? Sepi-sepi gini lagi!”katanya membubarkan semua perbincangan aneh di hatiku. “Eh..e..Aldi, sorry ini bener kamu, eh maaf, maksudku ka..kamu tadi tanya apa?”semua kata campur aduk dalam kegugupan saat itu. Ditambah lagi tawa kecil dari mulutnya setelah mendengar pertanyaanku bodohku.
“Luna..luna!Kamu itu kenapa sih?Ngelamun ya?Aku tanya, kenapa kamu sendirian di sini?”
“E..enggak! Cuma pengen sendirian aja!”
“Oh, sorry, berarti aku ganggu kamu ya?”tanyanya seraya mencoba berdiri hendak pergi. Cepat kupegang tangannya dan mencoba menetralkan kata bodohku yang kedua, “E..enggak-enggak!Maksudku, aku lagi nggak ada teman aja, cuma sendirian!”
“Oh, kirain aku ganggu kamu!”cetusnya seraya duduk kembali di sampingku. Huh, lega rasanya Aldi tak jadi pergi.
Dinginnya pasir di kakiku sedikit menenangkan pikiranku. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang sedang mengantri di benakku, tapi kucoba merangkai dan mengungkapkannya satu per satu. “Kamu ke sini sendirian Di? Bukannya seharusnya sekarang kamu Olimpiade di Banjarmasin?”pertanyaan pertamaku, lumayan, tidak terlalu kelihatan gugup. “O..lombanya ditunda besok!Ya..sekalian refresing sebelum perlombaan!Aku datang sama keluargaku, itu mereka di sana!”katanya memberi tahuku, tak lupa ia memancarkan binar indah matanya dan menggoreskan senyuman di hatiku. Semakin tertegun aku menatap matanya. Ah, apa-apaan aku ini, kucoba hilangkan semua mimpi kosongku. Hempasan angin menerpa ombak kecil di laut yang mencoba mendekatiku. Detik demi detik kami hanya terdiam memandang jauh ke ujung samudra. Indah. Begitu indah ciptaan-Mu. Sekali ku lirikkan pelan mataku ke wajahnya, takut dia tahu bahwa aku memperhatikannya. “Ya Tuhan, apakah ia akan di sampingku selamanya?”. Ah..bodoh. Luna, jangan mulai berpikir aneh, kamu itu nggak pantas buat dia. Bandingin aja, dia pintar, ganteng, baik, ramah. Sedangkan kamu, tampang pas-pasan, pinter juga sedang-sedang aja, apa istimewanya?
Tapi sebelah hatiku mengatakan, kamu itu cantik, pinter juga iya, walaupun nggak banget-banget, seharusnya kamu bersyukur dengan semua itu. Lagi pula Aldi bukan tipe yang memilih dari luar, tetapi dari dalam. Hhh. Bingung aku dengan semua itu, sebenarnya yang bener mana sih?
Aku jadi teringat kata Qwinsa, teman dekatku. Dulu, dia pernah mendengar ungkapan dari Aldi. Namun sudah cukup lama ungkapan itu.
“Kalau kamu emang nggak suka sama Sela, kenapa kamu pacaran sama dia Al?”
“Ya itu aku dalam keadaan terpaksa, ah..panjang ceritanya! Tapi sekarang aku janji, dan kamu jadi saksi, aku nggak akan pacaran lagi. Ok”
“Kamu yakin? Sampai kapan?”
“Ya, sampai..kalau sudah tiba saatnya. Lulus SMA mungkin!”
“Oke, aku pegang janjimu.”
Ya, begitulah percakapan diantara mereka. Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku.
***
Hari itu, tepat dimana 15 tahun aku menginjakkan kaki di bumi ini dan hanya bisa bergantung hidup pada kedua orang tuaku yang setiap harinya penjual singkong. Ingin rasanya membahagiakan mereka. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Prestasiku tak terlalu menonjol. Walaupun aku sudah berusaha prihatin dengan keadaanku, setiap hari aku tak pernah meminta uang jajan, tapi itu belum cukup. Aku belum bisa menghasilkan uang, aku hanya bisa menyusahkan, meminta, marah, dan menyakiti mereka. Aku memang manusia tak berguna. Tapi mengapa Tuhan masih menyayangiku? Sebuah hadiah yang tak kan pernah ku lupa.
Pulang sekolah, Aldi menemuiku. Bukan sebuah kesengajaan. Tapi bertemu dengannya, kebahagiaan tersendiri bagiku. Ia mengajakku ke sebuah gubuk di tengah sawah yang mana di samping gubuk terdapat sungai kecil. Aku tak tau mengapa dia mengajakku hari itu. Setengah hari aku menghabiskan waktu memancing bersamanya. Ya..walaupun hanya dapat 3 ekor ikan, tapi kami senang. Senyum dan tawa kecil darinya buat hatiku semakin berdesir. Senang. Tak ada yang lain. Entah mengapa, saat itu kami terasa sangat dekat. Meski aku sangat yakin, dia tidak tahu bahwa saat itu aku sedang genap berusia 15 tahun.
Pernah beberapa kali kulihat Aldi bersama Filly, teman sekelasku. Mereka berdua terlihat akrab. Aku bisa lihat dari matanya, bahwa Aldi merasa nyaman di dekat Filly. Mungkin benar, aku harus benar-benar melupakannya. Pernah kucoba, tapi gagal. Terus kucoba, namun selalu saja tak bisa kuhilangkan wajahnya. Ingin sekali kubuang jauh semua itu, ingin aku membencinya. Tapi kenapa tidak bisa? Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.
***
Ujian sekolah terlewat sudah. Tinggal menunggu pengumuman. Setelah itu, pindah sekolah. Tak ada lagi tawa girang seperti dulu, suasana ramai dan berisik teman-temanku, dan wajah seseorang yang selalu kunanti. Tapi hari itu, tak kurasa hariku seperti hari biasa.

Sepi. Kusandarkan kepalaku di pintu kelas IX B, kelasku. Dimana? Dimana senyum itu? Senyum yang biasa kulihat di depan kelasnya. Yang kutemukan hanyalah sebuah pohon yang tertunduk lesu tanpa keceriaan salah seorang kelas IX E. “Mungkin ia sedang pelatihan untuk Olimpiade.”pikirku.
Sepi. Aku masuk ke kelasku. Hampa rasanya. Bel pulang sekolah buatku bergegas keluar kelas, memastikan adanya senyum itu hari ini. Benar, memang benar tidak ada. “Aldi! Kenapa kamu nggak berangkat? Padahal ini hari terakhir sebelum liburan.”selalu saja hati bicara. “Aldi, andai saja kamu tahu bagaimana perasaanku. 3 tahun aku menunggu, waktu yang tidak singkat bagiku.”
“Luna, kamu nggak pa-pa kan?”sapaan Aldi menyadarkanku akan semua lamunanku dari tadi.
“Eh..iya Di, aku nggak pa-pa!”kataku sambil tersenyum padanya. Sebenarnya dalam benakku, aku masih sangat mengharapkanmu Aldi. “Di, aku boleh nanya sesuatu sama kamu?”tanyaku pelan. Hempasan angin sertai senyuman Aldi kepadaku. “Ya bolehlah! Mau tanya apa?”katanya ramah. Aku masih bingung dengan apa yang hendak kutanyakan. Tapi, aku melihat sesuatu di matanya. Sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk yakin pada diriku sendiri. Aku menghela nafas, dan itu sebagai awal pertanyaanku, “Di, kalau boleh aku tau, siapa orang yang bisa menempati hatimu saat ini?”. Aldi tak langsung menjawabnya. Pelan kepalanya mengarah ke wajahku. Tatapannya kali ini benar-benar buatku tak dapat berkedip. Matanya sayu seolah-olah berkata padaku, “Ada satu yang tersimpan, dan akan menjadi rahasia hatiku.”. Dia masih terdiam. Belum menjawab. “Oke Di, aku ngerti. Sorry ya, aku ikut campur masalah kamu. Sekali lagi aku minta maaf.”. Lagi-lagi hanya senyuman dan tatapan matanya padaku, ia pun mengalihkan pandangannya kembali pada laut yang mulai menelan separuh dari wajah sang surya. Dinginnya ombak kecil kali ini berhasil menyentuh jemari kakiku. Dengan pelan, ia keluarkan kata demi kata, “Kau tau Na!”kata pertama yang keluar dari mulutnya. “Ada satu,”lanjutnya. Di dalam benakku mulailah semua tebakkan konyol yang akan diucapkan oleh Aldi. Tapi diantara semua tebakkan itu, ada satu yang terasa sangat kuat. Yaitu tebakkan ketika aku melihat tatapan matanya sewaktu melihatku. Aku kembali mendengarkan.
“Ada satu yang tersimpan, dan...”
“Stop!”kataku menghentikan Aldi bicara. “Aku tau! A..Aku tau maksudmu Di!”
Aldi membalasku dengan senyum kecilnya. Seolah-olah ada sebuah teka-teki yang sedang dimainkannya. Aku makin penasaran dengan apa yang sebenarnya ia maksud.
“Nggak Na!Kamu nggak tau!Kamu akan tau, jika kamu yakin dengan dirimu sendiri.”
Kata terakhirnya yang sangat bermakna bagiku.

“Permisi mbak, boleh saya ambil sampah di bawah mbak!”. Kata tukang sampah itu menyadarkan semuanya. Semua yang sedari tadi aku anggap kenyataan. Aldi yang duduk di sampingku, senyumnya, tawa kecilnya, dan kata terakhirnya. Semuanya hilang. Hilang. Mataku mulai berlinang. Ku lihat di sampingku, hanya ada pasir pantai yang tertiup derasnya angin, yang sedari tadi menemaniku. Mana? Mana Aldi? Aku tak bisa melihat wajahnya, senyumnya, tawanya. Aku tak bisa lupakan bayangnya. Aku pun tak bisa menerima kenyataan bahwa Aldi sudah meninggal. MENINGGAL. Meninggalkan semuanya. Jauh ke dunia lain. Dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku menunggunya slama ini. Dia tak tau, tak bisa merasakan. Kuhapus air mataku yang mulai berjatuhan. Aku harus bisa tegar menerima kenyataan. Tapi kenapa? Kenapa baru hari itu? Hari terakhir dia memberi jawaban padaku. Hari dimana dia mengirim sebuah pesan singkat di HPku, “Kamulah orang itu, yang hanya ada satu yang tersimpan di hati, selamanya.”. Detik sebelum semua lenyap menjadi serpihan debu tak berarti. Sebelum laut menelan senyum seseorang dari sebuah kapal very yang menuju ke Banjarmasin. “Ya Tuhan, aku tak bisa melupakan semua ini begitu saja. Ini terlalu singkat bagiku.” Hanya sehari, bahkan tak sampai satu hari, aku bisa tersenyum menerima jawaban darinya. Meskipun hari itu, hari terakhir, di sekolah, aku tak bisa melihat binar matanya. Ya Tuhan, aku ingin melihatnya, aku ingin bertemu dengannya, walaupun itu hanya dalam sekejap mimpi.
create by Eki Arum Khasanah
mmm, kata tmnku dia pernah baca cerpen ini di majalah teen! tp aku malah gktau . .
BalasHapusmohon kritik sarannya yaaaa ^_^
bagusss =)
BalasHapusyaaa ya ya,trimakasih ^_^
BalasHapus